Chereads / An Empty World (END) / Chapter 37 - 37-Hexagon

Chapter 37 - 37-Hexagon

"Setelah tahu semua itu, aku langsung pergi ke lab, Arisa. Aku tahu Arival pasti lagi proses bunuh kamu di permainan pikiran. Proses itu jadi tonggak akhir permainanmu di dunia pikiran. Dan setelah itu, kemungkinan penawar bakalan langsung diambil dari tubuhmu. Makanya aku buru-buru dateng karena takut keduluan. Karena setelah antibodimu diambil, kamu mungkin nggak bakal bangun lagi."

"Aku langsung ngehubungi Arival ma Sarah dan buat rencana. Sarah tugas di dalam, Arival tugas di luar. Mungkin mereka berdua lagi mikir rencana buat bawa kabur Susan dan Elang sekarang. Kamu inget Sarah kan? Cewek pakai jas putih kayak dokter yang masuk setelah Paman masuk. Dia temen kita. Arival juga. Dia bukan psikopat gila kayak yang kamu pikirin. Walaupun dia emang mirip kayak psikopat di dunia permainan sana. Sama kayak aku, Arival juga punya tugas di sana. Tugasnya jadi psikopat yang selalu ngancem dan nekan semua orang, bikin semua orang frustrasi. Jenderal Joko, The Rock, ma Ivan juga gitu. Mereka nggak kebal, cuma tugas aja."

Arisa menghela napas. Sesuatu yang terjadi mudah ditebak mulai sekarang. Arisa bisa menduga perihal Jenderal Joko dan seluruh bawahannya seperti yang Biru ceritakan.

"Tapi siapa Sarah? Kenapa kita selalu foto bareng berenam, Blue?"

Biru mengangkat sudut bibirnya, tersenyum. Otaknya reflek memutar beberapa kenangan. Arina segera tahu foto itu memuat kenangan-kenangan menyenangkan.

"Kita sahabatan, Arisa. Sejak kecil main bareng. Aku, kamu, Arival, Elang, Sarah, ma Susan. Arival kasih nama hexagon buat geng kita. Kita dulunya anak paling bandel di benteng. Peraturan di benteng nyebutin, nggak ada yang boleh keluar dari benteng kecuali pasukan keamanan. Tapi kita ngelanggar. Umur tiga belasan, kita udah dilatih pakai senjata, teknik bertahan, bela diri, dan sebagainya. Saat itu kita ngerasa butuh medan tempur yang sesungguhnya buat asah kemampuan kita. Selain itu, kita juga pengen banget tahu gimana keadaan luar benteng sebenernya. Akhirnya, kita sepakat buat keluar malam-malam. Kita curi senjata sama motor patroli milik benteng. Benteng punya pintu keluar tersembunyi di sisi belakang. Cuma beberapa orang yang tahu. Kita pakai pintu itu buat keluar benteng tanpa diketahui orang. Elang yang pertama tahu pintu itu. Dia nguping pasukan keamanan yang lagi ngobrol waktu itu."

"Malam pertama, kita kepayahan banget. Itu pertama kalinya kita ngehadapi makhluk yang orang-orang benteng sebut infected, zombie, atau apalah. Kita kaget dan nggak terbiasa. Hampir aja mati kalau sama sekali belum dilatih sebelumnya. Tapi kita selamat. Karena sebelumnya kita tahu kalau infected peka sama suara, kita langsung matiin motor dan ngejauh dari pohon-pohon, tunggu kesempatan, terus tancap gas buat balik ke benteng. Kamu tahu, Arisa, rasanya tegang sekaligus seru waktu pertama kali kita keluar waktu itu. Nembakin senjata dan bertahan dari serangan infected. Remaja seumuran kita di benteng bahkan belum pernah ngerasain hal itu. Kita juga nggak kapok. Malam-malam berikutnya kita ngelakuin hal yang sama. Pergi tengah malam, pulang sebelum matahari terbit. Kita nggak pernah ketahuan. Pagi-pagi kita ngelakuin kegiatan yang biasa kita lakuin. Mereka nggak tahu kalau malamnya kita habis tempur gila-gilaan sama infected."

Biru kembali tersenyum. Rasanya pasti seru sekali saat itu. Menyedihkannya, Arisa tidak ingat apa-apa tentang hal itu.

"Anehnya, pasukan keamanan yang tugasnya nelusurin luar benteng buat ngecek keadaan nggak pernah sadar kalau tiba-tiba banyak infected mati bertebaran. Entahlah. Mereka nggak terlalu peduli. Dan karena benteng ada di daerah perbukitan, kita nggak bisa leluasa pergi jauh malam-malam. Selain karena keadaan jalan yang ngeri dan gelap, kita juga harus mikir gimana kalau infected tiba-tiba datang dan nyerang dari arah tak terduga. Maka dari itu, kita mulai coba keluar di siang hari. Kita keluar di jam-jam pasukan keamanan istirahat dan nggak tugas di luar benteng. Bedanya kita naik sepeda."

"Infected nggak aktif di siang hari. Mereka ngumpet di gua-gua, sembunyi. Mereka takut sinar matahari. Jadi kita bisa leluasa pergi nelusuri luar benteng di siang hari. Semenjak saat itu kita tahu dunia emang udah hancur. Dari atas tebing, kita bisa lihat gedung-gedung ambruk. Keropos dimakan usia. Mirip kota mati. Banyak tumbuhan yang merambat di puing-puing bekas kehidupan manusia sebelum infected apocalypse terjadi. Kita sempet turun ke sana, tapi di siang hari. Hawanya selalu nggak enak setiap lewat jalanan yang pinggirnya gedung-gedung ambruk. Seakan dari dinding dan jendela gedung yang bolong, ratusan infected lagi siap-siap buat nyerang kita."

"Setelah keluar benteng di siang hari beberapa kali, kita dapet ide buat markas untuk tempat hexagon kumpul. Dipilahlah tempat ini. Tanah lapang di pinggir tebing, jauh dari pepohonan—karena infected suka sembunyi di pepohonan waktu malam hari. Selain itu, di sini punya bagus pemandangannya buat liat sekita. Markas yang dulu belum sekeren sekarang. Masih rumah kayu biasa. Belum ada lemari pendingin. Belum ada lantai atas alias loteng. Belum ada garasi di dalam tebing. Markas kita simpel dulu. Cuma buat tidur, makan bareng, dan main. Tapi setelah umur delapan belas, masing-masing orang dibebani tugas sesuai keahlian. Kecuali laki-laki. Selain dibebani tugas sesuai keahlian, mereka juga harus jadi pasukan keamanan. Mereka punya jadwal jaga beberapa kali seminggu. Karena aku, Arival, ma Elang bisa keluar dari benteng tanpa sembunyi-sembunyi, kita sempurnain markas bertiga. Kita hancurin markas yang dulu, bangun markas lagi, sekaligus buat gudang bawah tanah dan tempat parkir di balik dinding tebing. Fungsinya supaya kalau kita dateng malam-malam, infected yang ngejar bakal stuck di depan pintu di dinding tebing, dan untuk kemudian di pagi harinya pergi sendiri karena cahaya matahari. Kita nggak akan ambil risiko dengan nuntun infected ke depan pintu markas. Itu bahaya."

"Setelah itu kita masih sering keluar markas tengah malam bareng-bareng. Bunuhin infected, berjuang mati-matian. Walaupun gitu, kita nggak gentar sama sekali dan rasanya masih tetep seru. Kalau udah capek, kita langsung pergi ke markas. Biasanya kita berenam cuma pergi bareng di malam hari. Masing-masing sibuk sama tugasnya di siang hari. Arival, dia spesialis komputer. Ditugasin bagian keamanan benteng. Dia bisa jadi peretas tingkat tinggi—kalau lagi mood. Kalau Elang, dia ahli buat senjata. Senjata-senjata yang dipakai pasukan keamanan sebagian besar buatan Elang. Walaupun kalau ditanya tentang hal itu sekarang, dia pasti bakalan bingung. Mungkin dia bakal bilang 'pegang pistol aja nggak pernah, apalagi buat senjata'."

Arisa tersenyum. Ucapan Biru benar juga. Elang atau Merapi pasti juga telah diganti ingatannya.

"Blue, berarti Budiman Santoso itu nama Bapak Merapi? Dia juga diganti ingatannya kan? Kayak Ausans, ah, maksudku Susan."

Biru hanya mengangguk, kemudian lanjut berbicara, "Kamu, Sarah, ma Susan sama-sama ilmuwan, Arisa. Bedanya cuman di bidang yang ditekuni. Sarah ma kamu di lab khusus tentang virus Moscow. Sama kayak Bibi Arin dulu. Berusaha cari penawar lain, obat-obatan, bahkan antivirus yang berfungsi menyeluruh untuk dunia. Bukan hanya satu orang saja. Kalau Susan, dia ahli rekayasa genetika di bidang pertanian. Bagian orang-orang yang cari alternatif supaya produksi pertanian meningkat. Misal ngerekayasa padi supaya sehari aja langsung panen walaupun nyatanya belum secepet itu."

Arisa tersenyum takjub. Tidak menyangka dirinya memiliki keahlian seperti yang Biru ceritakan di dunia nyata. Menjadi ilmuwan? Itu cita-citanya sejak SMP. Walaupun bukan ilmuwan di pusat WHO, Jenewa, Swiss.

Tapi tunggu, apa itu sungguhan cita-citanya? Bukannya memori di otaknya adalah milik Ibunya? Atau cita-cita itu sebenarnya milik Ibunya? Entahlah...

"Keahlian kamu sendiri apa, Blue?" Arisa bertanya.

"Sejak awal, aku udah masuk ke tim khusus pasukan keamanan. Selain jaga di jadwal jaga, kalau ada masalah serius di luar benteng yang nggak bisa ditangani pasukan biasa, tim kita yang bakal maju."

Arisa mengangguk takzim, mengerti.

"Setahun setelah buat markas dan kamu belum bertugas karena masih umur lima belas, berita kematian ibu Susan dateng. Susan juga masih kurang dari tujuh belas waktu itu. Kabar kematian itu muncul bersamaan sama kabar ditemuinnya obat penawar. Kita sama sekali nggak tahu kalau ternyata kematian Ibu Susan ada sangkut pautnya sama ditemuinnya penawar virus Moscow. Beberapa hari kemudian, berita Bibi Arin meninggal dateng, disusul kematian ilmuwan-ilmuwan lain. Paman bilang mereka sakit karena kesalahan proses di lab. Semua keinfeksi, tapi bukan virus Moscow, ada virus lain. Tapi nyatanya mereka meninggal bukan karena sebab itu. Mereka dibunuh."

Biru menelan ludah. Dia juga tidak menyangka jika kenyataannya begitu saat Bibi Arin menceritakannya. Arival dan Sarah bahkan sempat tidak percaya. Semua kebenaran ini datang mendadak. Bertubi-tubi. Membuat otaknya harus bergerak cepat memahami segalanya. Merangkai dari awal sesuatu yang terjadi di masa lampau sampai sekarang lalu memahaminya.

"Sampai suatu hari, Paman bawa kabar tubuh Papa Mama udah ditemuin. Paman juga kasih tugas masuk ke dunia pikiran. Paman bilang, dua temenku yang lain—Elang ma Susan juga ikut proses pemanenan penawar. Aku iyain karena nggak tahu kalau prores itu bisa bunuh kalian. Dan sekarang, kamu udah tahu gimana kelanjutannya."

Arisa terdiam. Sepertinya Biru telah menceritakan segalanya. Ia kembali mengingat sesuatu yang terjadi beberapa hari yang lalu, mengusap wajah, dan menghembuskan napas. Itu hanya mimpi.

Sekarang Arisa tahu kebenarannya. Inilah dunia sebenarnya, bukan dunia sebelumnya. Tapi tetap menyakitkan mendengar penjelasan Biru tadi. Bagaimana kabar Ibunya? Bagaimana kabar Susan dan Merapi? Bagaimana dengan Riva, Fadilah, dan temannya yang lain di basecamp? Pasti mereka juga ikut percobaan itu.

Segala perasaannya bercampur aduk. Ini sungguh keadaan yang tak terduga.