Chereads / An Empty World (END) / Chapter 33 - 33-Confusing Picture

Chapter 33 - 33-Confusing Picture

Suara lengkingan makhluk-makhluk di sekitar Arina terdengar mengerikan. Ini kali kedua Arina menghadapi masalah yang sama, dikejar zombie. Bedanya kali ini ia menaiki motor dan membawa pistol. Tetapi tetap saja, kecepatan lari beberapa makhluk di belakangnya hampir saja menyamai kecepatan motor Biru. Itu gila. Belum lagi makhluk yang tiba-tiba datang menghalangi jalan.

Dor!

Biru mulai menembak. Tangan kanannya menyetir, sedangkan tangan kirinya mengacungkan pistol. Menyingkirkan satu-dua makhluk yang menghalangi jalan.

Keadaan bertambah menegangkan. Biru tidak mengurangi kecepatan motornya sama sekali. Bisa-bisa makhluk itu mengepung mereka dari depan jika Biru melambatkan motornya sedikit saja. Dan Arina tidak bisa membayangkan apa jadinya ia dan Biru jika makhluk itu mencakar atau menggigit. Yang pasti buruk. Mungkin mati. Tapi yang lebih mengerikan, bagaimana jika dirinya berubah seperti mereka?

Arina menjerit tertahan. Tidak menyadari sesosok makhluk berlari cepat dalam hutan. Makhluk itu hampir meraih tubuhnya. Tetapi tangannya langsung menekan pelatuk pistol yang ia pegang. Gerakan reflek.

Dor! Tepat sasaran. Peluru menembus ke pala makhluk di sebelahnya. Membuat darah muncrat ke berbagai arah. Makhluk itu jatuh tergeletak, tertinggal jauh di belakang. Tetapi Arina belum aman. Masih banyak makhluk yang berlari mendekatinya.

Dor! Tepat sasaran lagi.

Arina menyeringai senang. Tembakan pelurunya selalu melesat tepat sasaran. Rasanya mudah. Tidak sulit seperti yang ia bayangkan. Ia hanya perlu mengarahkan pistol ke sasaran, konsentrasi, fokus, dan dor! Peluru kembali menembus kepala makhluk tak jauh darinya. Rasanya seperti tangannya pernah melakukan hal seperti itu sebelumnya. Padahal ia tidak pernah belajar menembak dan ini kali pertamanya Arina menggunakan pistol. Apalagi saat ini motor dalam keadaan melaju kencang. Aneh sekali. Bahkan tangan Arina yang awalnya tremor beringsut normal. Dia mulai terbiasa.

Tangan Arina juga lebih mudah saat ia mengacungkan pistolnya. Tidak sesulit sebelumnya yang bahkan membuatnya tidak ingin memegang pisau meskipun untuk berjaga-jaga. Mungkin kejadian saat ia menghabisi keluarganya mengubahnya sedikit demi sedikit. Arina mampu membunuh sekarang. Dia bukan lagi gadis yang tidak tegaan. Niatan untuk membunuh Arival kemarin adalah awal perubahannya terasa. Dulu dia tidak senekat itu.

Arina menoleh ke belakang, menekan pelatuk. Menembak makhluk yang hampir menggapai motor. Tepat sasaran lagi. Ia ganti melirik kanan kirinya. Menembak makhluk yang mulai dekat dengan motor Biru. Tepat di kepala.

Beberapa detik kemudian, Arina mengeluh tertahan, "Blue, pelurunya habis!"

Pistol yang Arina pakai memang hanya bisa diisi peluru sedikit. Tidak seperti senjata api seri Kalashnikov, AK-47 yang amunisi magazen boxnya bisa berisi 30 butir peluru. Apalagi AK-47 bisa memuntahkan peluru sampai 600 butir permenit.

"Pegangan yang erat, Na."

Alih-alih menanggapi ucapan Arina, Biru malah menyuruhnya berpegangan. Arina langsung mencengkaram baju Biru di depannya. Ia juga baru sadar Biru kembali memanggilnya dengan nama asli, tapi tanpa pengoreksian. Entahlah. Arina juga tidak tahu mengapa semua orang memanggilnya Arisa. Pertama, wanita yang pernah ia temui di sel bawah tanah dan mengaku ibunya. Kedua, Biru yang ia temui pertama kali di jalanan saat semua orang menghilang. Saat dunia kosong tanpa manusia.

Jalanan gelap. Hanya ada sorot cahaya yang menerangi dari motor Biru. Bulan tidak nampak di atas langit. Arina bahkan sama sekali tidak ada ide tempat macam apakah yang ia lalui. Laju motor bertambah cepat. Biru melakukan manuver, menghindari makhluk yang berdatangan.

Tiba-tiba Biru membanting setir ke kiri. Jalanan berubah terjal. Bukan lagi aspal seperti sebelumnya. Arina menguatkan cengkramannya di jaket kulit warna hitam milik Biru. Jalanan penuh kerikil dan bergeronjal. Pepohonan tambah sedikit di penglihatannya. Tetapi banyak makhluk masih terus mengejar di belakang.

Biru berbelok lagi. Motor biru kembali melintasi jalanan aspal. Arina melebarkan mata. Pemandangan di sekitarnya berubah. Di sebelah kanan jalan adalah tebing tinggi sekarang, sedangkan sebelah kirinya nampak seperti jurang kalau Arina tidak salah. Khas pemandangan perbukitan. Jalanan juga naik turun dan berkelok-kelok.

Arina menoleh ke belakang. Banyak makhluk berjatuhan ke jurang karena berdesak-desakkan. Jalan yang dilalui motor Biru memang sempit. Hanya sekitar tiga meter mungkin. Melewati jalanan perbukitan ini sangat membantu mereka karena hanya sedikit makhluk yang mengejar mereka sekarang. Sisanya jatuh. Merosot entah kemana.

Dari jalan perbukitan di atas, Arina bisa melihat hamparan kegelapan di bawah sana. Tepat di kaki perbukitan. Arina mengernyitkan dahi. Setelah dilihat lebih seksama, ia tahu ada bangunan-bangunan tinggi di sana. Hanya saja gelap. Mirip seperti kota mati. Rasanya seperti ada hal yang mengerikan menyelubungi daerah itu meskipun Arina tidak tahu apa yang terjadi. Apa kota di bawah sana sedang mati lampu? Tapi mengapa kegelapan juga melanda tempat di sekitarnya? Mengapa tidak ada cahaya sama sekali di bawah sana?

"Dunia ini lebih ngeri daripada duniamu sebelumnya,Sa. Semuanya rusak parah, berubah. Kota gelap di sana apalagi. Siang hari kayak kota mati, nggak berpenghuni. Tapi kalau kita masuk ke dalam gedung, pasti ada banyak monster. Waktu malem lebih serem lagi." Biru bercerita, menatap kegelapan di bawah sana.

Keadaan lebih santai. Tidak ada lagi makhluk yang mengejar mereka.

Arina menghela napas panjang, "Blue, jangan buat bingung. Bisa jelasin semuanya? Kita di mana? Tadi itu pasukan apa? Kenapa ada Arival? Apa maksud kota mati tadi? Siapa Arisa? Aku nggak paham."

Biru tersenyum, tidak menjawab. Di atas motor bukan tempat yang nyaman untuk bercerita.

"Nanti. Bentar lagi sampai."

Arina menghela napas untuk kesekian kalinya.

Biru melambatkan motornya. Ia mengambil sesuatu di saku jaket, menekan tombol. Tanpa Arina sadari, sebuah pintu baja di dinding tebing sebelahnya terbuka otomatis. Biru berbelok, memasuki pintu dengan ukuran 2x2 meter. Arina menatap kagum, tak percaya. Ada ruangan di balik dinding tebing?

Biru mematikan mesin motornya. Arina turun. Begitu juga Biru. Pintu tadi langsung tertutup sesaat setelah motor Biru masuk. Menyapu pandang, ternyata Arina berada di ruangan dengan luas 5x5 dengan alas dan atap tanah. Arina merinding. Bagaimana jika atap di atasnya mendadak runtuh?

Ada dua lampu yang menyala redup di sini. Sepertinya ruangan ini hanya digunakan untuk menyimpan motor alias parkiran. Biru berjalan, membuka pintu lain. Arina bisa melihat ada lorong gelap di dalamnya. Biru menekan saklar di samping pintu. Lorong panjang berdinding tanah di dalam langsung terang. Beberapa lampu menyala di dalam. Arina berdecak kagum. Tempat ini sungguh keren.

"Kita mau ke mana, Blue?" tanya Arina ketika berjalan menelusuri lorong tersebut.

"Markas kita berenam."

Arina menatap bingung, "Markas kita berenam? Siapa?"

Biru tersenyum. Tetap melangkah. "Yang pasti manusia."

Arina berdecak sebal. Biru selalu menjawab dengan candaan saat Arina bertanya serius. Astaga. Padahal Arina hampir mati penasaran sekarang.

Sampai ujung lorong, ada pintu logam. Biru membukanya. Kali ini Arina memasuki sebuah ruangan yang lebih luas. Itu ruang bawah tanah. Lebih tepatnya gudang. Keadaan remang. Hanya ada satu lampu kuning yang hidup. Kardus-kardus bertumpuk rapi. Ada beberapa furnitur tak terpakai disimpan di sini. Bersih. Sama sekali tidak ada debu. Hanya ada sedikit sarang laba-laba di sudut ruangan.

Biru melangkah ke sudut ruangan yang lain. Ada tangga kayu menuju ke atas. Arina hanya bisa mengekor di belakang. Sampai ujung tangga, ada pintu kayu. Biru memutar kenop pintu tersebut, mendorongnya. Ruangan di depan Arina gelap. Tapi Arina bisa merasakan alas ruangan yang dipijakinya terbuat dari kayu—Arina tidak memakai alas kaki sejak terbangun di ruangan mirip rumah sakit tadi.

Klek.

Biru menekan saklar lampu di sisi pintu. Keadaan yang awalnya gelap berubah terang. Arina bergumam takjub. Ia berada di sebuah rumah minimalis yang terbuat dari kayu. Ada beberapa lemari buku, sofa panjang, serta meja. Bersih dan rapi. Tampak juga beberapa pintu yang menghubungkan ruangan utama ke ruangan lain. Mungkin dapur atau kamar tidur. Di dindingnya terpajang beberapa pigura. Tapi ada juga yang diletakkan di atas meja.

Biru melepas jaket hitamnya, menyampirkannya ke gantungan. Ia berjalan ke dapur. Berniat mengambil air putih. Arina bisa lihat ada lemari pendingin di sana.

"Lima bulan yang lalu kita berenam terakhir kumpul. Setelah itu markas selalu kosong. Semua sibuk. Tapi untungnya Sarah udah bersih-bersih tempat ini dua hari yang lalu."

Arina tidak mendengarkan ucapan Biru. Ia lebih tertarik melihat beberapa pigura yang menempel di dinding di dekatnya. Dari jauh nampak foto enam orang yang berdiri saling merangkul. Kebanyakan pigura yang menempel juga berisikan foto enam orang yang sama.

Arina maju mendekat melihat foto di depannya. Ia membulatkan mata seketika. Terkejut. Ada foto dirinya di dalam sana. Juga foto Biru, Ausans, Merapi, dan Arival. Ia melototkan mata. Arival?

Apa-apaan ini? Sejak kapan ia foto bersama dengan psikopat gila itu? Dan siapa wanita yang berdiri di antara dirinya dan Biru? Tapi tunggu, rasanya Arina pernah melihat wanita di dalam foto itu. Wanita yang rasanya baru saja ia lihat beberapa waktu yang lalu.

Arina berdecak, ia ingat. Itu wanita yang ia lihat di ruangan tempat Arina pertama kali bangun. Wanita yang memakai jas putih seperti dokter. Wanita yang masuk beberapa saat setelah pria tua yang Biru sebut paman masuk. Siapa dia? Kebenaran apalagi ini?

Mengapa enam orang di dalam foto itu terlihat begitu akrab?

Tiba-tiba Biru muncul dari dapur. Ia membawa minuman. Tersenyum, "Arisa, kamu mau makan? Aku bisa buatin makanan kalau kamu laper."

Arina menggeleng tegas. Ia menunjuk foto yang menempel di dinding sebelahnya, menuntut penjelasan, "Ini apa, Blue? Jelasin sekarang juga."

Biru menoleh, menghela napas. Ia tersenyum tipis ketika menatap foto yang ditunjuk Arina. Dia berhutang banyak penjelasan dan cerita padanya. Dan itu bukan sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan, meskipun ia hanya akan mengeluarkan suara untuk bercerita.

Biru beringsut duduk, mencari posisi nyaman. "Ini bakalan sulit kamu pahami, Sa. Tapi aku bakal coba buat cerita dari awal."

Arina ikut duduk di sofa di dekatnya. Menunggu Biru melanjutkan ucapannya.

"Maaf, Sa. Aku mungkin boong selama ini," Biru diam sejenak, mengambil napas, "Mimpi. Semua yang kamu alami selama ini cuma mimpi. Bukan dunia nyata. Dunia kosong cuma mimpi. Permainan dalam pikiran."

Arina terdiam. Dugaannya benar. Mimpi. Itu hanya mimpi. Tapi bagaimana bisa hal itu terjadi Rasanya sangat nyata. Bahkan Arina masih ingat dengan jelas urutan kejadian di dalamnya. Apakah mimpi bisa senyata itu?

Arina menghela napas. Ia pastikan malam ini Biru akan menjelaskan segalanya.