Arina mendongak, mengerjapkan mata. Suara gembok sel yang dibuka membangunkannya. Ia masih di posisi yang sama seperti sebelum ia jatuh tertidur, meringkuk memeluk lutut.
"Cepat ikut!" teriak seorang pria. Sejurus kemudian tangannya ditarik kasar oleh pria itu. Arina mengumpat dalam hati. Jika tangannya tidak terborgol, mungkin wajah pria di depannya sudah ia beri bogem mentah sedari tadi.
"Kamu beruntung sekali. Tuan Arival sedang tidak dalam mode sadis sekarang. Dia tidak akan membunuhmu seperti psikopat," terang pria itu. Itu kabar baik, tetapi ekspresi wajah Arina tetap panik. Dia akan dieksekusi sekarang?
"Hanya saja tetap menyakitkan karena basecamp tempat tinggalmu akan diledakkan di detik yang sama saat kamu merenggang nyawa," pria di depan Arina tersenyum keji. "mungkin," sambungnya.
Arina memelototkan mata. Basecamp diledakkan? Bagaimana bisa?
"Jangan bohong, Pak. Basecamp kuat nahan serangan dari luar." Arina berucap tidak percaya.
"Tapi tidak dari dalam kan? Asal kamu tahu, Anak Bumi, Tuan Arival telah menempelkan bom di setiap sudut basecamp. Itu sudah rencana sejak awal. Tuan Arival ditangkap, dia menempelkan bom ke setiap sudut basecamp, lalu menculikmu. Aku yakin bom itu akan membunuh seluruh penghuninya seketika saat detonator ditekan. Setelah itu, tidak ada penduduk bumi yang tersisa." Pria di depan Arina tertawa terbahak-bahak.
Arina menahan napas. Matanya panas. Teringat seluruh penghuni basecamp. Biru, Merapi, Ausans, Riva, Fadilah, Nabila. Hati Arina menjerit, menggedor dan meronta. Tidak kuat membayangkan mereka terbakar hidup-hidup di dalam sana.
Air mata Arina mengalir. Kesedihan tidak pernah berhenti menghantamnya. Dan sekarang bayangan kebersamaannya dengan penghuni basecamp beberapa hari yang lalu berputar, terutama bersama Biru. Apa ini sungguhan?
Mati. Meraka akan mati. Tak terkecuali Arina.
"Kenapa kalian lakuin hal ini? Udah cukup kalian ubah manusia bumi yang lain jadi monster, jangan bunuh mereka juga! Kalian gila!" Arina berteriak. Tapi pria di depannya mana peduli. Dia bahkan tambah terbahak melihat Arina yang tampak menderita.
"Kita sampai."
Arina masuk ke sebuah ruangan. Sorakan dan seruan banyak orang seketika terdengar saat ia masuk. Ia memutar pandang, banyak orang yang berdiri di atas tribun, berteriak, dan menatap marah ke arahnya. Menyorakinya dengan beberapa kata umpatan. Kebanyakan laki-laki, tapi ada satu-dua perempuan di sana. Tempat duduk berbentuk tribun itu memutari sebuah ruangan kaca yang tidak lebar. Mungkin hanya 2x2 meter dengan atap rendah.
Arina menelan ludah susah payah. Perasaannya tidak enak.
"Tuan Arival pasti menyesal tidak melihat pertunjukkan ini. Dia ada rapat dengan petinggi manusia Mars di luar negeri. Tapi tayangan ini bisa ditonton live. Tuan Arival pasti sedang melihatnya." Pria itu menjelaskan. Arina berdecih. Rapat? Menonton live? Apa-apaan itu?
Pria di depan Arina menyeretnya ke tengah ruangan, mendekat ke ruang kaca. Orang-orang di tribun masih terus berteriak. Menyorakinya. Sampai tujuan, dinding ruang kaca otomatis terbuka, terbelah. Arina langsung didorong masuk. Dinding ruang kaca otomatis menutup kembali. Sekarang Arina terkunci sendirian di ruangan kaca. Ditatap banyak orang dari luar.
"Apa yang mau kalian lakuin?!" Arina berseru, meminta penjelasan. Ia menggedor dan menendang dinding kaca berkali-kali. Tapi pria tadi tidak menjawab. Ia malah pergi ke podium di depannya-di depan ruang kaca-dan berbicara sesuatu menggunakan mic.
"Kawan senasibku! Mari kita saksikan dan rayakan detik-detik kematian manusia Bumi!"
Sorakan senang langsung terdengar. Ramai dan membahana. Mereka terus berteriak, mengangkat tangan, seakan hal inilah yang mereka tunggu sejak lama.
Pria tadi menekan sesuatu di podium. Beberapa layar muncul di empat sudut ruangan. Satu lagi tepat di depan Arina. Layar itu menampilkan enam video CCTV di basecamp serta penghitung waktu mundur yang belum dimulai di atasnya. Arina mengeluh dalam hati. Angka yang tertera disana 00:05:00. Itu berarti hanya lima menit.
Arina menutup mata sejenak, bingung harus berbuat apa. Bagaimana jika basecamp berhasil diledakkan? Bagaimana dengan Biru? Bagaimana dengan teman-temannya yang lain? Arina bisa saja menerima kenyataan jika dirinya akan dieksekusi, tapi tidak dengan basecamp yang akan diledakkan. Rasanya ia ingin melakukan sesuatu. Telepati ke salah satu penghuni basecamp dan memberitahu hal itu misal. Tapi Arina tahu itu tidak mungkin. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia lemah. Menyelamatkan dirinya saja tidak bisa, apalagi menyelamatkan diri banyak orang.
"Kita mulai sekarang!" Pria di jauh di depan Arina menekan tombol di podium. Penghitung waktu mundur berjalan seketika. Dan yang lebih mengejutkannya, air dengan volume besar tiba-tiba turun dari lubang di atas ruangan kaca. Membuat pakaian Arina langsung basah. Ia mengusap wajah yang terkena air, bergerak minggir mendekati dinding kaca. Arina sekarang tahu apa maksudnya.
Dia ditenggelamkan hidup-hidup.
Tidak sadis memang. Tapi tentu saja membuatnya panik dan ketakutan. Nyawanya sedang di ujung tanduk sekarang. Belum lagi dengan kenyataan basecamp yang akan diledakkan. Arina sekarang benar-benar menyesal tidak membunuh Arival saat itu. Karena sekarang bukannya Arival yang dieksekusi, tetapi malah dirinya sendiri dan seluruh penghuni basecamp.
Tahu tidak ada lagi kesempatan, akhirnya Arina pasrah. Dia tetap berdiri, tenang. Membiarkan tubuhnya basah dijatuhi banyak air. Ia tidak menggedor minta diselamatkan. Menunggu kematian menjemputnya. Tapi siapa yang tahu air mata tetap mengalir di pipinya yang telah basah. Melihat penghitung waktu mundur terus berjalan dan air yang sekarang sudah sebatas pahanya benar-benar sesuatu yang mengerikan. Hidupnya berakhir menyedihkan. Membunuh keluarganya sendiri, mengetahui Biru dan seluruh kawannya juga akan mati, serta dieksekusi tanpa bisa melawan. Itu sungguh menyedihkan. Tapi Arina tahu takdir ada bukan untuk disalahkan, melainkan untuk diterima. Dan sekarang Arina berusaha menerima takdir dengan menunggu dengan tenang air menenggelamkan dirinya. Merasakan hidupnya untuk yang terakhir kalinya.
Tiga puluh detik tersisa.
Air telah mencapai leher Arina, mulut, hidung, mata. Ia berjinjit, mengambil napas untuk terakhir kalinya. Setidaknya ia sudah berusaha bertahan dengan mengambil napas terakhir.
Tiga puluh detik Arina bertahan. Penghitung waktu mundur mencapai batas akhirnya.
00:00:00.
Saat itu juga layar di depan Arina menampilkan ledakan di basecamp. Cukup dahsyat. Orang-orang di tribun yang sedari tadi menatap Arina di dalam ruangan kaca-menunggunya mati mungkin-sekarang bersorak-sorai melihat gambar yang ditampilkan di layar. Arina yang masih bertahan mengunyah kesedihan sendirian. Biru sudah tiada, begitu juga dengan Ausans, Merapi, dan seluruh temannya di basecamp. Ia menutup mata. Tubuhnya sudah seluruhnya tenggelam dalam air. Mungkin sudah saatnya ia ikut mati.
Tepat sebelum detik Arina menyerah, sebuah suara terdengar. Suara yang sangat ia kenal. Itu suara hewan. Thor. Arina yakin sekali itu Thor. Raptor itu melengking marah di luar sana, menerjang sesuatu apapun yang menghalanginya masuk.
Belum sampai Arina membuka matanya, dinding kaca tempat Arina berada pecah. Thor menghantamnya. Air segera membludak keluar. Arina mengambil napas banyak-banyak. Tapi sebelum ia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba...
"Arisa, bangun!"
Kesadaran Arina kembali. Kepalanya agak sakit. Dia membuka mata, terkejut ketika melihat Biru ada di hadapannya.
Keadaan sepenuhnya berubah.
Arina menatap bingung sekitarnya. Ia berada di tempat yang sama seperti di mimpinya. Ruangan dengan ranjang rumah sakit dan dirinya terbaring di atasnya. Bedanya ini terasa lebih nyata dan Biru ada di hadapannya.
Apa dia bermimpi lagi?
"Jangan gerak." Biru berujar memperingatkan. Ia melepas peralatan yang menempel di tubuh Arina hati-hati agar Arina tidak merasa sakit. Alat bantu napas, selang-selang, dan yang lain. Terakhir, Biru melepas lengkungan logam di atas kepala Arina. Ia segera membantu Arina turun.
Mereka berdua harus segera pergi dari tempat ini.
"Blue, ini di mana?" Arina bertanya, masih menatap bingung.
Biru tidak menjawab pertanyaannya. Ia malah menarik tangan Arina, mengajaknya pergi. "Kita harus pergi sekarang, Na."
Baru satu langkah, banyak orang bersenjata masuk ke ruangan. Mereka menodongkan senjata ke arah Arina dan Biru. Biru bergerak defensif, menarik tubuh Arina ke belakang. "Tetep di belakangku, Arisa."
Arisa?
Arina mengerutkan dahi, tambah tidak mengerti. Arisa? Siapa itu? Sebenarnya apa yang terjadi? Mimpi macam apa ini?
Sejurus kemudian seorang pria tua berjas hitam masuk. Pasukan bersenjata tersebut memberinya jalan. Ditilik dari wajahnya, mungkin usianya mendekati setengah abad. Seorang wanita masuk beberapa detik kemudian. Kali ini masih muda. Rambutnya terikat. Memakai jas putih seperti dokter yang Arina temui di mimpi-mimpinya sebelumnya, hanya saja ia baru pertama kali melihat wanita itu di mimpinya sekarang.
Eh, memangnya ini mimpi sungguhan?
"Biru, lepas Arisa sekarang!" titah pria tua tadi. Matanya menatap tajam ke arah Biru.
Biru di samping Arina menggeleng, "Nggak bakal. Kebusukan Paman udah kebongkar. Dan aku nggak bisa tinggal diam."
Paman? Apa maksudnya?
Arina masih tidak paham.