Chereads / An Empty World (END) / Chapter 32 - 32-Horrible Truth

Chapter 32 - 32-Horrible Truth

Keadaan tegang. Pasukan bersenjata masih menodongkan senjata mereka.

Pria tua yang dipanggil paman oleh Biru masih mendesaknya, meminta Biru untuk menyerahkan Arina. Tetapi Biru bersikeras menolak. Ia menggenggam tangan Arina, menyuruh Arina agar tidak bergerak, tetap di belakangnya. Arina menurut, tidak banyak bertanya karena tahu kondisi mereka sedang genting. Wanita muda berjas putih seperti dokter tadi juga masih berdiri di samping pria nyaris beruban semua itu. Wanita itu menatap Biru dan Arina di depannya, menghitung waktu, menunggu sesuatu.

Di saat Arina sibuk bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba seluruh lampu padam. Kegelapan melanda. Seruan bingung banyak orang langsung terdengar.

Biru tersenyum dalam kegelapan. Rencananya telah berjalan. Tinggal menunggu waktu suara gedebuk pasukan senjata yang jatuh akan terdengar. Dan hal itu terealisasikan lebih cepat daripada yang ia pikirkan. Biru tahu kemampuan bela diri dokter sekaligus temannya itu luar biasa hebat. Bahkan serangannya tidak terdengar. Hanya ada suara gedebuk dan lenguhan korbannya beberapa detik kemudian. Para pasukan besenjata itu pasti tidak menyangka akan ada serangan mendadak. Bahkan mungkin mereka tidak tahu seseorang yang menyerang mereka ada bersama mereka sedari tadi. Seseorang yang menunggu gelap datang, menyerang, lalu setelah terang, ia akan bersikap terkejut seperti yang lain, juga terlihat bingung mengapa semua orang tiba-tiba rebah-jimpah di lantai—padahal seseorang itu sendiri yang melakukannya.

Merasa pintu keluar ruangan sudah bersih dari pasukan bersenjata, Biru menarik tangan Arina. Beranjak pergi. Arina hanya bisa mengikuti. Lenguhan kesakitan pasukan masih terdengar. Arina yakin, ada seseorang yang menyerang tanpa ampun pasukan bersenjata itu.

Arina melangkah keluar dalam kegelapan, tidak sengaja menginjak kaki entah tangan salah satu pasukan. Salah satu pasukan itu menjerit. Mungkin sakit, padahal Arina tidak memakai alas apapun ketika menginjaknya. Buru-buru Arina melangkah mensejajari Biru yang masih menggandeng tangannya.

"Segera hidupkan gensetnya!" Suara pria tua tadi memerintah. Tidak ada yang menanggapi. Seluruh anak buahnya jatuh bergelimpangan, beberapa pingsan. Tapi satu-satunya wanita berjas putih di sana akhirnya menjawab, "Aku akan menghubungi mereka."

Biru mengeluarkan senter kecil, menghidupkannya, lalu menyoroti jalan di depannya. Arina hanya mengekor. Dia sungguh tidak tahu apa-apa. Dan Biru satu-satunya orang yang bisa ia percaya di keadaan genting dan membingungkan seperti ini.

"Blue, ini dinmana?" Arina bertanya lagi.

"Di dunia nyata." Biru menjawab singkat. Fokus berjalan sekaligus mengendap-endap.

"Serius, Blue."

"Aku serius, Arisa."

Arina mengernyitkan dahi untuk kesekian kalinya. "Siapa Arisa?"

"Manusia yang salah identitas." Di dalam kegelapan, Arina bisa melihat Biru tersenyum lucu.

"Jangan bercanda, Blue." Arina mulai sebal, tapi Biru tidak menghiraukan. Ia malah menarik tangan Arina, belok ke arah lain, mengajaknya melangkah lebih cepat.

Arina menatap bingung saat melihat pintu keluar tak jauh di depannya. Dia kenal pintu kaca itu. Pintu yang ia lihat di mimpinya beberapa hari yang lalu. Mendadak kepalanya jadi pening. Dia ada dimana? Sebenarnya apa yang terjadi? Arina menghela napas, menyimpan pertanyaan itu dalam hati. Mungkin dia akan tahu nanti.

"Tetep di belakang." Biru memperingatkan. Ia mematikan senter yang ia bawa, ganti mengeluarkan sesuatu. Untuk kedua kalinya, Arina melihat Biru membawa senjata mematikan lagi, pistol. Biru berderap pelan, membuka pintu kaca dengan cepat. Dengan gerakan efisien dan tanpa ampun, Biru menembakkan pistol yang ia bawa ke empat penjaga yang berjaga di luar gedung. Arina tersentak, menahan napas serta melebarkan mata. Terkejut. Gerakan Biru begitu cepat. Seakan telah terlatih untuk melakukan manuver seperti itu.

Arina pikir penjaga yang Biru tembak telah mati. Tapi saat melihat listrik yang muncul sekejap di badan empat penjaga tersebut, Arina segera tahu itu bukan pistol biasa. Itu electric gun. Pistol itu tidak membunuh mereka. Berguna untuk melumpuhkan musuh sementara dengan cara kerja seperti stun gun. Hanya saja bekerja lebih efektif karena bisa melumpuhkan musuh dari jarak jauh.

"Ayo naik!" Biru berseru setelah menaiki motor yang terparkir tak jauh dari pintu keluar. Arina bergerak cepat menaiki motor besar khas kepunyaan laki-laki yang telah dihidupkan oleh Biru. Dan saat itu juga Biru langsung menarik gas motor, menjalankannya dengan kecepatan di atas rata-rata menuju gerbang keluar gedung-gedung gelap dan besar yang sekarang nampak jelas di penglihatan Arina. Astaga. Dia sebenarnya di mana?

Biru menekan sesuatu di telinganya, berbicara dengan seseorang, "Kita hampir sampai. Buka gerbangnya sekarang," katanya.

"Ya. Aku bisa liat."

Arina yang berada di belakang Biru bisa mendengar jawaban seorang laki-laki di seberang sana, meski hanya terdengar pelan. Dan rasanya Arina familiar dengan suara itu. Tapi siapa?

Motor yang Arina naiki mendekati gerbang yang mulai terbuka. Biru memelankan gas, mengacungkan jempol sembari tersenyum simpul pada seseorang yang ada di pos penjaga gerbang. Arina melebarkan mata. Sangat terkejut. Tidak percaya sedang melihat sosok Arival Adijaya berdiri di dalam pos tersebut. Sosok yang sangat ia benci karena telah menghancurkan dan menghabisi penduduk Bumi—termasuk keluarga Arina. Melihat keterkejutan Arina, sosok Arival yang Arina lihat malah mengedipkan sebelah mata, tersenyum jail ke arahnya. Arina benar-benar tidak paham sekarang. Otaknya berpikir keras. Banyak pertanyaan yang menggerumul di otaknya sejak tadi.

"Blue, kenapa ada Arival disana?!" Arina bertanya, sedikit berteriak karena mesin motor yang mulai menggerung kencang.

"Nanti ceritanya." Biru menjawab singkat.

Arina menghembuskan napas, menoleh ke belakang. Sosok Arival telah hilang dari pandangannya. Ia baru sadar gedung-gedung yang gelap karena lampu padam tadi berubah terang sekarang. Pintu gerbang bergerak otomatis, kedua sisinya menyatu, sepenuhnya tertutup rapat. Motor Biru kembali melaju kencang, membelah jalan yang kanan kirinya merupakan perumahan. Tempat yang baru pertama kali Arina lihat. Lagi-lagi Arina hanya bisa menyimpan pertanyaan 'dia di mana' dalam hati.

Baru selesai menghela napas lega karena keadaan tidak lagi berbahaya, tiba-tiba suara letusan tembakan terdengar. Arina terkejut, reflek memegang kepala sembari memaki dalam hati. Dia tidak pernah terbiasa dengan suara memekakkan itu.

Suara letusan tembakan lain terdengar susul-menyusul. Arina menoleh ke belakang. Pasukan bersenjata dengan motor dan mobil yang jumlahnya cukup banyak mengekor motor Biru di belakang. Tanpa melihat, Biru segera mempercepat laju motornya. Lebih cepat dari sebelumnya. Arina hanya bisa memasang wajah takut dan ngeri. Bagaimana jika tembakan mereka mengenai dirinya?

Tapi Arina yakin Biru telah menghitung jarak dan keadaan, meskipun ia tidak melihat. Biru pasti tahu tembakan-tembakan yang terlontar itu tidak akan mengenai Arina.

Biru kembali menekan alat di telinga, berbicara lagi, "Lima menit mungkin sampai. Jangan lupa buka gerbangnya."

Kali ini seseorang di seberang sana hanya menjawab dengan deheman.

Lima menit kemudian.

Motor Biru mulai mendekati gerbang yang dimaksud. Gerbang yang lebih tinggi dan lebar tanpa ada pos penjaga di dekatnya. Sepertinya gerbang utama. Arina menatap heran, ia baru sadar daerah tempatnya berada dikelilingi tembok tebal dan menjulang tinggi puluhan meter ke atas. Mirip seperti benteng. Pintu gerbang yang dimaksud Biru tadi pastinya adalah jalan keluar dari tempat yang Arina sebut benteng ini. Arina juga baru tahu ada tempat yang dikelilingi tembok sangat tinggi seperti ini di Indonesia. Lagipula, memangnya dia masih di Indonesia sekarang? Apakah dia ada di Jogja? Atau malah di Jakarta? Entahlah.

Siapa pun, tolong jelaskan padanya apa yang sedang terjadi. Dia mendadak pening dengan semua ini. Terlebih baru saja melihat Arival yang membantu Biru melarikan diri dari kejaran orang-orang yang tidak Arina kenali.

Rombongan pasukan bersenjata semakin mendekat. Arina panik. Pasalnya gerbang dengan tinggi sepuluh sampai lima belas meter di depannya belum juga terbuka. Tidak ada penjaga sama sekali. Pastinya gerbang itu otomatis terbuka-tertutup dan dikendalikan dari pusat. Gerbang yang sepertinya terbuat dari logam terkuat yang bisa menahan apapun dari luar.

"Blue, mereka tambah deket." Arina memberitahu. Ia menutup telinga. Letusan tembakan berkali-kali membuat telinganya pekak.

Biru diam, tidak menanggapi. Arina di belakang menggerutu. Sepertinya Biru perlu fokus yang lebih untuk melewati gerbang. Padahal gerbangnya saja sama sekali belum terbuka. Dan yang lebih anehnya, Biru malah menarik gas motornya lebih kencang sekarang. Tapi Arina tahu ia pasti punya rencana.

Tepat lima meter sebelum mencapai tujuan, pintu gerbang yang tinggi di depan Arina terbelah menjadi dua. Terbuka. Membuat celah selebar satu setengah meter di sana. Biru segera melewati celah itu dengan mudah.

Arina menghela napas lega, menoleh ke belakang. Takut-takut jika pasukan bersenjata itu mengikuti. Tapi pintu gerbang segera tertutup sedetik setelah mereka lewat. Itu berarti pasukan tadi tidak akan mengejarnya. Suara tembakan juga tidak lagi terdengar.

"Pegangan, Na." Biru mulai memanggilnya dengan nama asli. Bukan Risa, Arisa, atau apalah. "Ah salah, maksudku Sa," Biru mengkoreksi. Arina langsung menekuk wajah. "Musuh di luar dinding pembatas lebih mematikan dari pasukan tadi," katanya. Arina mengernyitkan dahi bingung. Sejurus kemudian Biru memberinya sesuatu. Sebuah pistol.

"Pakai ini. Aku ada dua pistol. Yang ini buat kamu jaga-jaga di belakang. Kalau ada yang mendekat, langsung tembak."

Arina menerima dengan ragu. Pasalnya ia tidak pernah melihat barang mematikan itu dari dekat. Apalagi menyentuhnya.

Biru kembali menekan sesuatu di telinganya, "Aku sama Arisa udah di luar tembok. Kita tunggu kalian di markas. Semoga berhasil."

"Oke. Bius juga udah aku stop."

Kali ini suara wanita. Beberapa detik kemudian suara lain terdengar.

"Rencana kedua mulai berjalan. Tapi butuh waktu. Kalian tunggu aja."

Kali ini suara laki-laki. Suara yang sama seperti yang Arina dengar awal tadi. Suara yang familiar. Dan Arina mulai ingat suara itu adalah suara Arival. Arina menghela napas. Yang benar saja?

Arina menyapu pandang ke sekelilingnya. Motor Biru membelah jalanan dengan banyak pohon di samping kanan-kirinya. Pohon tinggi dengan daun lebat yang bisa Arina lihat meskipun gelap karena malam.

Hawa semakin dingin. Arina memeluk tubuhnya. Menatap pakaian yang ia kenakan. Baju hijau layaknya pasien seperti di yang ia lihat mimpinya.

"Ingat, Arisa, yang kamu alami sekarang adalah kenyataan. Jika kamu merasa bangun dari mimpi, justru alammu saat itu adalah mimpi."

Arina jadi teringat ucapan wanita yang ia temui beberapa hari yang lalu di mimpinya. Wanita yang dikurung dan di penjara di sumur pengap dan lembab di bawah tanah.

Kebenaran satu per satu muncul. Bertemu wanita yang mengaku ibunya, ia yang tiba-tiba bangun, berubah keadaan dan tempat yang awalnya berada di ruangan tempat dirinya dieksekusi Arival menjadi tempat yang sama seperti di mimpinya, Biru yang memanggilnya Arisa, pria tua yang menyuruh Biru menyerahkan Arina, Arival yang berdiri di pos penjaga, dan terakhir pasukan yang mengejarnya. Semua itu terasa ganjil. Arina mencoba merangkai semua itu menjadi satu urutan. Satu kemungkinan. Arina tahu ada yang salah. Tapi...

Arina hanya bisa menghela napas. Dia takut menyimpulkan.

"Ini," Biru di depannya memberikan sebuah jaket yang terlipat. Seperti telah disiapkan sejak awal. Arina menerimanya. Segera memakai jaket merah yang Biru berikan. Ia tersenyum. Ingatannya melayang ke beberapa hari yang lalu saat ia memakai jaket merah dengan posisi yang sama, Arina membonceng di belakang Biru. Arina ingat sekali saat itu sehabis hujan. Ia pergi menaiki motor untuk mencari penduduk bumi lain yang masih tersisa di Jogja. Dia juga habis terkejut karena melihat pesawat alien serta raptor peliharaan Biru yang muncul tiba-tiba. Ah, bagaimana kabar Brownie, Thor, Cassini, Eagle, Ndeso, dan Ndesit? Apa basecamp jadi meledak? Tapi mengapa Biru selamat? Bagaimana dengan Ausans, Merapi serta penghuni basecamp yang lain?

Lagi-lagi tambahan pertanyaan menggerumul di otaknya. Menambah sesak pikirannya.

Tiba-tiba, sesuatu yang tak Arina sangka datang. Sesuatu itu berlari kencang dari dalam hutan di kanan-kiri jalan menuju motor yang Arina tumpangi. Makhluk itu melengking keras. Mendekat ke arahnya hendak menerkam. Makhluk yang nampak seperti manusia infected dengan gerakan tidak wajar serta darah hitam mengering di seluruh wajahnya. Arina melebarkan mata. Hampir saja makhluk itu menggapainya jika Biru tidak menembakkan pistol untuk membunuh makhluk tersebut.

Makhluk lain menyusul keluar dari dalam hutan. Jumlahnya banyak. Mereka berlari ke motor Biru hendak mencari manusia yang masih segar, belum terinfeksi.

Arina menahan napas. Tidak mengerti mengapa hal ini terjadi lagi. Dikejar puluhan makhluk yang terinfeksi dan tidak bisa lagi berpikir.

Biru mempercepat motornya. Kali ini super kencang. Membuat tangan kiri Arina memegang erat Biru di depannya, sedangkan tangan kanannya tremor menggenggam pistol. Bingung kapan ia harus mulai menembak.

"Hati-hati. Musuh kita sekarang lebih berbahaya, Sa." Biru memberitahu. Tetap fokus menyetir.

Arina menelan ludah. Makhluk itu mendekat, mulai mengerumuni mereka berdua.

Kebenaran mengerikan apa lagi ini?