Dingin. Gelap. Waktu menunjukkan lewat tengah malam.
Arina berdiri di atas genting, menatap sesuatu mirip capung yang terbang ke arahnya. Rambut sepunggungnya berkibar. Baling-baling helikopter di atasnya berputar super kencang. Tidak ada pepohonan di sekitar sini, kalaupun ada hanya sedikit dan pendek. Mungkin jika di sekitarnya ada banyak pepohonan, pepohonan itu akan ikut bergoyang. Tapi sekarang, bukan pepohonan yang ikut bergoyang, melainkan mahkluk malang di bawahnya—Arina tidak akan lagi menyebut mereka makhluk mengerikan. Hanya saja bergoyang dalam artian bergerak tak beraturan karena terkena rangsangan suara.
Helikopter itu terbang tetap beberapa meter di atas Arina, tidak bisa lagi turun lebih bawah. Mungkin karena atap kedai yang terlampau miring. Beberapa detik kemudian, gulungan tangga meluncur dari atas. Seseorang menyembul keluar dari pintu helikopter, berseru, "Cepat! Sebelum kita ditembak dengan rudal sama alien sinting itu!"
Arina menyeringai sebal. Itu suara The Rock. Dan entah mengapa, pertemuan pertama yang menyebalkan dengan pria mirip aktor film Hollywood 'Dwayney Johnson' itu berputar reflek di kepalanya, menuntut Arina untuk berekspresi tidak suka ketika mendengar suaranya. Kesan pertama memang sangat memengaruhi.
"Duluan, Na. Hati-hati." Biru memegangi tangga, menyuruh Arina menaiki tangga yang menggantung di depannya terlebih dahulu. Arina mengangguk, naik. Baru satu pijakan, ia langsung terpeleset karena kurang tepat memijak tangga. Untungnya Biru langsung reflek menahan Arina agar tidak jatuh. Jika tidak, mungkin Arina sudah meluncur turun dari atap lalu jatuh bedebum ke tanah dikerumuni banyak makhluk, mengingat atap yang ia pijaki sangat miring.
"Baru aja aku bilang hati-hati." Biru mengingatkan. Arina menyengir samar, merutuki dirinya sendiri. Fokusnya mendadak berkurang setelah mendengar kabar buruk beberapa saat yang lalu. Mata agak sembap karena sehabis menangis juga membuat pandangan Arina sedikit kabur, tidak setajam biasanya.
Arina menaiki tangga kembali, kali ini berusaha lebih fokus dan hati-hati. Sampai atas, setelah naik empat sampai lima meter, Arina langsung disuguhi pemandangan menyebalkan—muka The Rock. Tambah menyebalkannya adalah ketika ia menatap Arina sembari menyeringai sinis, lalu berkata, "Kamu lagi?" dia berdecak, "selalu aja ngerepotin."
Arina melotot, menahan sebal dalam dada. Jika The Rock bukan orang yang menyelamatkannya sekarang, Arina pasti sudah menonjok wajahnya, atau yang lebih kejam lagi, Arina akan menarik kuat-kuat tangan The Rock yang sekarang sedang terulur untuk membantunya lalu menjatuhkannya ke bawah. Tak peduli jika uluran tangannya tadi dilakukan untuk membantunya.
Arina sudah kelewat sebal. Apa The Rock tidak tahu ia baru saja bersedih? Aaah, mana ada manusia berbadan gorila seperti The Rock peduli padanya. Rasanya tidak mungkin.
"Ayo cepet naik! Alien bisa tembak misil mereka ke heli kita kapan aja," kata The Rock, entah sungguhan, atau hanya ingin menakut-nakuti saja.
Mendengar hal itu, Arina langsung menerima uluran tangan dari The Rock walaupun sebenarnya ia tidak ingin kontak apapun dengannya karena saking sebalnya. Ia duduk di kursi helikopter, melihat ke sekitar. Hanya ada dua orang di atas sini, The Rock dan pengemudi helikopter.
Beberapa detik kemudian, Biru sudah sampai atas. Ia duduk di sebelah Arina.
"Semua orang udah naik?" tanya pilot helikopter, menoleh ke belakang sekilas. Arina menahan tawa, rasanya aneh saat memikirkan sebutan pilot helikopter pada seorang pria yang duduk di kursi paling depan, kursi pengemudi. Mengapa ia tidak disebut sopir heli saja? Atau yang lebih kocaknya, penunggang heli, mungkin?
"Mereka cuma berdua, Ed." The Rock mengoreksi ucapan pilot tadi. "Dan mereka udah di heli."
"Oke, oke. Kita bergerak pulang." Pilot yang usianya terlihat mendekati kepala empat itu berucap. Ia menjalankan kemudi, menerbangkan helikopter lebih ke atas, melakukan banyak hal dengan alat kemudinya yang sama sekali tidak Arina mengerti.
"Maaf udah buat kalian repot, Pak." Biru berkata, meminta maaf. Lebih anehnya, Biru memanggil The Rock dengan sebutan 'Pak'. Kedengarannya tidak cocok sekali dengan sifat menyebalkannya. Arina sampai sekarang juga tidak tahu menahu siapa nama asli The Rock. Mana ia peduli.
"Kein problem," kata The Rock. Arina memandang sinis. Mengapa mendadak menggunakan Bahasa Jerman? Dasar, sok sekali. Arina juga bisa Bahasa Jerman. Bahkan ia sudah belajar lima bahasa secara otodidak.
"Enak kan pacaran dikelilingi zombie?" sambung The Rock. Arina dan Biru menoleh, saling tatap, lalu tersenyum simpul. Enggan menanggapi. "Dasar, anak muda," katanya.
"Rasanya kayak deket sama hari akhir..." Pilot heli bersuara. Arina, Biru, dan The Rock menoleh. Awalnya tidak paham, tapi kemudian mengangguk takzim, mengerti.
Dari pintu heli, sejauh mata memandang, Arina bisa lihat hamparan makhluk di bawahnya. Tidak sebanyak yang awal ia lihat, tapi makhluk itu selalu ada di setiap tempat, menyebar, berjarak beberapa meter antara satu dengan yang lainnya.
Teringat keluarganya, Arina tergugu. Wajahnya kuyu. Matanya merah, habis menangis. Ia menghela napas lelah, mendongak ke atas, menahan air mata agar tidak keluar. Ia lelah menangis. Ia lelah merasakan sakit. Ia lelah bersedih hati. Ia ingin berhenti, bangkit dari kesedihan. Tapi setiap ia menatap makhluk malang yang menghampar di bawahnya, Arina selalu teringat keluarganya, menuntut Arina mengulang masa-masa indah bersama orang-orang yang dicintainya. Dan sekarang, ia harus menerima kenyataan bahwa keluarganya ada diantara hamparan makhluk malang di bawahnya.
Pembalasan dendam manusia dari Mars sungguh lebih dari cukup, keterlaluan bahkan. Mereka senang melihat manusia bumi menderita. Terutama manusia seperti Arina dan orang se-basecamp yang masih hidup sampai sekarang. Tinggal menunggu waktu, mereka mungkin akan menghabisi orang yang tersisa, orang yang memiliki kelebihan sehingga tidak terinfeksi, bahkan tidak terlihat oleh mereka tanpa alat khusus. Arival biasa menyebut orang-orang itu—termasuk Arina dan Biru—dengan sebutan unseenable. Tapi Arina membenci sebutan itu sehingga baru bercerita sekarang. Ia tidak akan pernah mau menggunakannya.
Arina tahu, mereka juga menderita. Hidup di Mars bukan hal yang mudah. Pasti banyak penjahat yang berakhir mati di sana. Kelaparan, kekeringan, bahkan berbagai macam penyakit pernapasan menimpa mereka. Tapi bukannya itu setimpal dengan kejahatan yang mereka lakukan? Pembunuhan, perampokan, pelecehan, dan yang lain-lain.
Arina tak habis pikir, mengapa harus seluruh manusia? Bahkan mereka sama sekali tidak tahu perihal hukuman pada penjahat kelas kakap.
Manusia Mars benar-benar kejam dan jahat. Tidak manusiawi juga tentunya.
Arina menghela napas. Ia seharusnya ingat. Mereka adalah sekelompok penjahat level tertinggi. Tentu saja yang mereka lakukan adalah sesuatu yang jahat dan kejam, apalagi ini adalah sebuah pembalasan dendam.
Aaah, Arina mulai benci dengan kata balas dendam.
"Aku ikut berduka cita. Masing-masing dari kita pasti kehilangan orang yang dicintai di sana." Pilot heli kembali bersuara. Pandangannya ke depan, fokus mengemudi. "Walaupun belum bisa dipastikan benar, tapi ngeliat mereka sebanyak itu, aku jadi nggak berharap banyak kalau anak sama istriku selamat. Virus itu pasti udah nyebar ke setiap manusia yang mereka culik," lanjut pilot heli yang sempat The Rock panggil dengan nama 'Ed'. Arina yang mendengarnya menatap Ed dari belakang. Ed hanya tersenyum sedih, mungkin mengingat kenangan indah bersama anak dan istrinya. Hati Arina trenyuh. Ia juga merasakan hal itu.
Arina tahu, Ed termasuk manusia yang kuat, tidak seperti dirinya. Ia harus berusaha mati-matian untuk tidak menangis lagi saat teringat keluarganya. Kadang ia masih tidak bisa menerima sesuatu yang saat ini telah terjadi. MENGAPA? Itu yang selalu ia pertanyakan dalam hati.
"Mereka pasti dapet balasan, Ed." The Rock menepuk pundak Ed dari belakang, berkata ambigu. "Setiap orang pasti dapet balasan yang setimpal atas apa yang mereka lakuin. Seharusnya kita bersyukur masih diberi waktu hidup. Toh, lagipula, setiap yang hidup pasti mati. Mungkin emang takdir mereka dahuluin kita."
Arina menyeringai tipis, menarik napas, lalu menghelanya. Yang The Rock katakan benar. Semua yang hidup pasti mati pada akhirnya.
"Kalian berdua juga," ucap The Rock, menepuk Biru di sampingnya. Biru yang tadinya menunduk mengangkat kepala. Arina sendiri menoleh, menatap The Rock.
"Nggak bagus terlalu larut dalam kesedihan," katanya. Arina dan Biru tersenyum, mengangguk. Baru kali ini dirinya berdamai dengan apa yang The Rock ucapkan.
"Apa rombongan makhluk itu masih kesisa, Pak? Apa semuanya udah nyebar?" tanya Biru, menatap keadaan di bawahnya.
"Maksudnya? Rombongan mereka banyak. Ada di setiap tempat. Tapi yang ada di bawah kita sekarang, munculnya dari arah barat. Mungkin tempat mereka sembunyiin manusia yang mereka culik di daerah Banten ataupun sekitarnya. Dikirim ke tempat sekitar buat serang manusia yang belum kita selamatkan ke basecamp," jelas The Rock.
Biru mengangguk, paham dengan ucapan The Rock. "Maksudku tadi, apa rombongan Banten udah nyebar?" tanya Biru lagi. Arina sendiri hanya mendengarkan. Tidak tertarik untuk ikut bicara.
"Kalau yang kamu maksud udah berapa jauh rombongan itu lari, jawabannya, mungkin belasan kilometer dari sini. Mereka nyebar, lari ke berbagai arah, ke timur, selatan, dan utara. Jumlah mereka banyak, nggak habis meskipun udah banyak yang tercecer di tempat yang mereka lewatin." Pilot heli ikut mengobrol. Biru yang mendengarnya mengangguk takzim.
Keadaan di dalam helikopter lenggang sejenak. The Rock tidak lagi berkomentar. Hanya terdengar suara baling-baling heli yang berputar. Arina menghela napas untuk kesekian kalinya.
"Arival mungkin dieksekusi besok pagi," celetuk The Rock tiba-tiba, memecahkan keheningan beberapa saat lalu. Arina menyeringai getir, membuang muka, benci dengan nama itu.
"Tetep nggak setimpal." Biru berkomentar.
"Ya, aku ngerti. Sebenernya aku ada ide eksekusi yang lebih menarik. Kita masukin bom ke badan Arival. Jangan sampai dia tahu. Setelah itu, kita bawa dia pulang ke rombongannya. Waktu Arival sampai markasnya, lagi asyik pelukan dengan temennya, dari jauh, kita tekan detonator dan bum! Dia meledak sama alien lain. Itu lebih setimpal daripada sebelumnya, walaupun masih belum setimpal, sih."
"Lebih ke sadis." Ed di depan berujar. Biru tersenyum tipis.
"Itu kurang sadis, Ed. Seharusnya kita juga buat virus untuk ngehabisin alien sinting yang nggak kebal sama virus tersebut. Itu setimpal. Kesadisan dibalas kesadisan."
Beberapa menit ke depan percakapan didominasi oleh Ed dan The Rock. Mereka bercakap ringan, kadang berdebat, tapi diselingi candaan. Biru sekali-kali menanggapi obrolan mereka dengan senyuman. Ia lebih sering diam mendengarkan. Aaah, bahkan Arina lebih diam lagi. Tidak bersuara sama sekali sejak tadi.
"Kita udah sampai, kawan-kawan." Ed berseru senang. Tampangnya lebih cerah. Tidak ada lagi kesedihan yang menggantung di wajahnya.
Arina menengok ke bawah, mereka sudah berada di atas halaman istana negara. Anehnya, tidak ada satupun makhluk di sana.
"Jangan heran. Di sekeliling tempat ini emang ada laser pengaman. Kalau ada makhluk yang coba masuk ke dalam, saat itu juga badannya bakal kebelah karena laser." The Rock menjelaskan. Ia melempar tangga ke bawah, alat untuk turun.
"Kenapa nggak mendarat aja?" Arina bertanya, bersuara pada akhirnya.
"Mode invisible heli hilang kalau mesin mati. Otomatis, heli bakal keliatan. Dan heli nggak mungkin diparkir disini." The Rock lagi-lagi menjelaskan.
Arina tertegun. Baru tahu jika helikopter yang ia naiki punya mode invisible. Rupanya The Rock menyuruhnya cepat-cepat naik tadi hanya untuk menakut-nakutinya.
"Kenapa nggak bisa diparkir disini? " Arina masih tidak paham.
"Alien bakal tahu kalau basecamp disini, Na." Biru yang kali ini menjelaskan. "Kalau mereka tahu, kemungkinan besar mereka bakal bombardir istana negara. Bunuh manusia yang ada di basecamp," sambungnya. Arina menelan ludah, sudah paham.
Biru turun ke bawah terlebih dahulu.
"Setelah ini, laser juga dinon-aktifkan, supaya alien nggak curiga. Istana negara kuat kalau cuman nahan zombie," ujar The Rock. Arina ber-oh ria.
Biru sudah sampai bawah. Arina bergegas turun, tapi terhenti ketika mengingat sesuatu.
"Ed ginana?"
"Aku balik setelah parkirin heli di tempat. Nggak jauh dari sini. Itu gampang. Jangan khawatir." Ed menjawab. Arina tersenyum.
"Dia lulusan terbaik Akademi Angkatan Udara waktu itu. Yang penting dia pulang pakai invisible truck dan ada senjata. Ada beberapa pasukan yang ikut bantu juga di sana."
Mendengarnya, Arina kembali bergerak turun. Sampai bawah, ia langsung disambut pasukan berseragam hitam-hitam dengan senjata. Pasukan dari basecamp. Jumlahnya tidak terlalu banyak, hanya belasan. Ditugaskan untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu terjadi.
Semua sudah ada di bawah. Ed dari atas menggulung otomatis tangga dan terbang naik ke atas, menjauh dari istana negara.
"Bye, Ed! Hati-hati di jalan. Jangan nabrak angin." The Rock melambaikan tangan ke atas, sedikit berkelakar. Arina dan Biru mengikuti. Ed dari kaca depan heli nampak tertawa, sejurus kemudian memberikan jempolnya.
"Ayo cepet masuk! Bentar lagi laser pengaman bakal dinon-aktifkan," seru The Rock.
"Ed?" Biru bertanya.
"Dia punya jalan khusus buat masuk basecamp. Cuma dia yang tahu. Tenang aja."
Biru dan Arina mengangguk, segera berlari menuju pintu awal mereka keluar. Para pasukan mengikuti dari belakang.
Baru beberapa langkah, suara sesuatu meluncur terdengar. Sebelum Arina sempat melihat suara apa itu, tiba-tiba suara dentuman terdengar begitu memekakkan. Serentak semua berbalik, mendongak ke langit yang sekarang merah karena api. Wajah-wajah pias dan seruan tertahan.
"Verdammt! Mereka punya sensor tak kasatmata."