Arina merebahkan tubuh ke belakang, menatap langit indah dari bawah. Waktu menunjukkan pukul 11 malam di jam tangan tangannya. Arina dan Biru baru saja sampai di rooftop gedung bertingkat lima belas sekarang, setelah tadi lelah menaiki tangga gedung untuk naik ke tempat ini. Biru di sebelahnya ikut berbaring, menikmati indahnya langit.
Hening. Tidak ada yang berbicara, sibuk dengan pemikiran masing-masing. Hanya ada suara hembusan angin yang terdengar.
"Kamu tahu aja aku kangen lihat langit, Blue," kata Arina, memecahkan keheningan. Biru di sebelahnya tersenyum.
"Soalnya aku juga kangen, Na." Biru menoleh ke Arina, tersenyum. "Kangen berdua sama kamu maksudnya."
Menoleh ke Biru sekilas, Arina tertawa, alih-alih tersipu malu. Seakan ada yang lucu dengan ucapan Biru barusan.
"Bukannya aku nyebelin, ya?"
"Iya, tapi ngangenin," jawabnya. Arina menoleh ke Biru, tersenyum lebar. Antara senang dan heran karena Biru tidak pernah berbicara seperti ini padanya. "—tapi bercanda," lanjutnya, tertawa. Arina menekuk bibir. Biru kadang menyebalkan.
Hawa mulai dingin, mungkin karena Arina berada di rooftop di jam-jam yang mendekati tengah malam. Ia mengusap lengannya, mencoba mengusir rasa dingin. Arina jadi menyesal tidak membawa selimut kesini. Ia mana tahu Biru mengajaknya ke tempat ini. Jika Arina tahu, mungkin saja ia akan membawa bantal, guling, selimut, dan juga jaket, lengkap dengan cemilan dan kopi hangat.
Uhhh, memikirkan cemilan membuat perut Arina mendadak berkeriuk.
"Nih." Biru mengambil jaket yang ia jadikan bantalan kepalanya lalu memberikannya ke Arina. "Udah mulai dingin," katanya.
Arina tersenyum, menerimanya. Bukannya memakai, ia malah menyelimuti tubuhnya dengan jaket kulit milik Biru, mungkin malas bangun.
"Kamu kenal banget tempat ini ya, Blue? Tadi juga nggak terlalu bingung buat cari tangga ke atas. Kamu kayaknya udh tahu," ujar Arina.
"Lumayan. Aku emang pernah dateng kesini."
"Ini gedung apa?" Arina menoleh, menatap Biru, menunggu jawabannya. Arina memang tidak terlalu memperhatikan gedung yang ia masuki. Mungkin saja hotel atau apartemen. Itu hanya tebakannya, sih.
"Rumah sakit," kata Biru.
"Apa?!" pekik Arina. Ia melotot kaget, segera bangkit duduk, lalu mendekat ke Biru. Arina mengedarkan pandangan, mencari sosok yang kemungkinan sedang menatapnya di pojokan.
"Kenapa ngajak ke rumah sakit, sih?" tanya Arina, masih terlihat ngeri dengan sekitarnya. "Emang nggak ada tempat lain?"
"Yang kutahu cuma tempat ini, Na. Nggak perlu takut. Mungkin setan-setan juga diculik sama alien, buat spesimen mereka." Biru mencoba berkelakar, tapi Arina sama sekali tidak tertawa, masih tetap merasa ngeri.
"Kamu ngapain di rumah sakit ini?" Arina bertanya, ingin tahu. Setahu Arina, rumah Biru di Cangkringan dekat Gunung Merapi, tapi kenapa bisa sampai rumah sakit di Jakarta ini?
Biru bangkit, duduk di sebelah Arina, menghela napas. "Mama papa pernah dirawat disini," katanya. Arina tertegun, baru sadar jika selama ini Biru tidak pernah cerita sesuatu apapun tentang dirinya ataupun keluarganya.
"Gara-gara?"
"Kecelakaan mobil sewaktu pergi ke rumah nenek," katanya, santai. Arina terdiam. "Aku Ujian Nasional SMA dan nggak bisa ikut mereka waktu itu." Biru mendongak ke atas, mencoba kembali masa lalu.
"Tapi mereka nggak papa kan?"
"Mereka meninggal," jawabnya. Arina membulatkan mata, menutup mulut, tidak menyangka jika kedua orang tua Biru sudah tiada. "Mereka kritis sehari. Besok paginya, Papa meninggal. Tiga jam kemudian, mama nyusul."
Arina masih menutup mulut, berharap tidak membuka luka lama Biru.
"Blue, maaf..." lirih Arina, ikut bersedih atas apa yang menimpa Biru. "Aku nggak tahu itu."
Biru tersenyum mendengarnya, heran juga mengapa hal seperti ini selalu berujung pada permintaan maaf. "Santai, Na. Nggak perlu minta maaf. Kamu nggak salah apa-apa."
Arina menatap Biru iba, masih tidak menyangka apa yang diceritakan Biru barusan.
"Terus kamu tinggal sama siapa?" Arina bertanya.
"Rumah asli aku di Jogja kota. Setelah kematian papa dan mama, aku lumayan down. Kamu tahu, Na, aku anak tunggal. Dulu aku termasuk anak yang suka dimanja," kata Biru. Arina melongo. Biru sama sekali tidak terlihat seperti anak manja, bahkan sebaliknya, dia nampak mandiri saat Arina pertama kali bertemu dengannya.
"Otomatis setelah kejadian ini, semuanya berubah. Awalnya aku pengen tinggal sendiri di rumah lama, hidup sendiri juga, berusaha cari uang sendiri, walau berat. Aku nggak pengen nyusahin saudara, apalagi nenek di Jakarta. Tapi akhirnya, paman di Cangkringan paksa aku buat tinggal sama dia, mungkin nggak tega aku sendirian. Kerjaan paman ngeladang, tapi kadang bisa jadi penambang pasir. Di sana aku bantu-bantu, cari uang, walau susah karena udah terbiasa beli apa-apa pakai gaji papa. Di sana aku belajar hidup jadi orang susah. Dan sekarang, rasanya aku bangga karena bisa hidup mandiri dan cari uang sendiri. Walaupun agak sedih karena cita-cita kuliah harus dikubur buat sementara." Biru bercerita. Arina ikut sedih, hanyut dalam ceritanya.
Arina sendiri kagum. Seseorang yang mendadak kehilangan orang yang dicintainya, apalagi semua kebutuhannya terpenuhi sebelumnya, lalu tiba-tiba berbalik 180 derajat, biasanya berubah menjadi brutal dan tidak bisa diatur. Tapi Biru berbeda, Biru memilih bangkit, menunjukkan pada orang-orang bahwa dirinya mampu melalui segala masalah hidup.
Arina bahkan merasa hidup seseorang yang mempunyai masalah banyak lalu bangkit lebih keren dari hidup seseorang yang hanya bersenang-senang tanpa perjuangan. Hasil juga berbeda. Seseorang yang terbiasa berjuang pastinya lebih tangguh daripada seseorang yang hidupnya hanya bersenang-senang.
"Na..." Tiba-tiba Biru memanggil. Arina menoleh, bertanya lewat tatapan. "Kamu denger sesuatu?" tanyanya.
Arina terdiam. Ia mempertajam pendengarannya. Belum ada sedetik, dua jet terbang di atas mereka, melewati gedung yang mereka tempati dengan kecepatan lumayan. Biru menarik Arina, menyuruhnya bersembunyi di balik tembok pembatas yang mungkin tidak akan terlihat oleh jet tadi.
"Maksud kamu suara jet itu?" tanya Arina. Biru menggeleng. "Bukan. Suaranya masih ada dan makin keras."
Arina mengernyitkan dahi, kembali mendengarkan dengan seksama. Arina cukup terkejut ketika mendengar sebuah suara. Suara yang samar-samar dan terdengar dari jauh. Anehnya, suara itu seperti teriakan banyak orang, mirip orang berdemo.
Biru berdiri, mengintip keadaan di bawah dari balik tembok pembatas rooftop. Penasaran, Arina akhirnya berdiri, ikut mengintip dari balik tembok di sebelah Biru.
"Ada apa, Blue?" tanya Arina. Biru sedang fokus memperhatikan sesuatu di bawah.
"Sesuatu dateng."
"Sesuatu apa?" Arina kembali bertanya, menelisik sesuatu yang Biru pandangi dari bawah.
"Aku nggak yakin, tapi kayaknya itu ... manusia," jawabnya.
Arina menyipitkan mata. Keadaan di bawah gelap karena semua lampu padam. Tapi Arina masih bisa melihat sesuatu di sana. Sesuatu itu seperti manusia dan berlari ke arahnya. Mereka nampak seperti lautan semut di antara gedung-gedung tinggi dari tempat Arina berpijak.
"Blue!" Arina memekik senang. "Itu beneran manusia. Dan mereka kembali lagi!" teriaknya kegirangan. Pandangan Biru masih fokus ke bawah, nampak tidak yakin dengan ucapan Arina.
"Coba kita turun, Na," ajak Biru. Arina langsung mengangguk, menyetujui.
Biru di depannya membuka pintu masuk gedung. Gelap. Ia menyoroti tangga dengan senternya. Arina di belakang mengekor dengan semangat, lupa jika beberapa saat yang lalu ia ketakutan karena gedung yang ia pijaki ternyata adalah rumah sakit.
Sampai bawah, Arina dan Biru langsung menuju jalan besar di depan rumah sakit. Mereka berdua menunggu manusia yang berlari ke arah mereka datang. Semakin lama suara teriakan itu semakin terdengar. Bahkan mereka sudah nampak di penglihatan Arina. Hanya saja suara mereka terdengar mengerikan. Bukan teriakan manusia seperti biasa, lebih tepatnya terdengar seperti lengkingan. Dan suara itu mengerikan sekaligus aneh di telinganya. Arina jadi ragu jika mereka sungguhan manusia.
"Blue, kenapa suara mereka ngeri, ya? Mereka juga lari kayak mau nyerang gitu," ujar Arina, masih menatap barisan manusia yang belum terlalu jelas di depannya. Jumlah mereka sangat banyak. Dan yang baru Arina pertanyakan, kenapa mereka berlari?
Arina menoleh ke Biru. Dia tidak menjawab, masih fokus menatap depan.
"Mereka bukan manusia, Na," gumam Biru. Arina mengerutkan dahi, tidak paham maksud ucapannya.
"Kayaknya kita harus lari," ucapnya tiba-tiba. Arina kembali menatap depan. Mereka semakin dekat. Mungkin hanya berjarak 20 meter dari tempatnya berpijak.
Mata Arina melebar. Jantungnya berdegup tak karuan. Tangannya mendadak tremor melihat pemandangan di depannya.
Biru benar. Mereka bukan manusia. Wajah mereka mengerikan. Arina memang tidak melihat dari dekat, tapi ia tahu, darah yang menghitam keluar dari mulut, hidung, dan mata mereka. Tulang kaki dan tangan mereka seperti bengkok dan tidak terletak pada tempatnya. Cara mereka berlari aneh, tetapi sangat cepat. Mereka benar-benar mirip seperti zombie di film yang pernah Arina tonton. Dan parahnya, jumlah mereka sangat banyak. Sungguhan banyak sampai Arina mengira mereka adalah mantan manusia yang alien culik.
Tunggu-tunggu, mantan manusia? Bagaimana dengan keluarga Arina?
"Lari, Na!" seru Biru tiba-tiba. Zombie di depannya semakin dekat. Biru berlari. Arina menyusul di belakangnya. Mereka harus kembali ke basecamp sebelum makhluk yang tidak Arina ketahui identitasnya itu menyerangnya.
Arina sendiri masih kebingungan. Mengapa hal ini bisa terjadi?