Arina berusaha mempercepat larinya. Biru di sebelahnya tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama berlari menelusuri jalan menuju basecamp. Jalanan nampak gelap tanpa lampu. Hanya ada pantulan cahaya bulan di langit. Manusia di belakang mereka—yang tidak bisa disebut manusia—mengejar begitu cepat tanpa lelah. Dan parahnya, jarak basecamp masih jauh dari mereka.
Arina memang tidak tahu mengapa makhluk itu berlari dan berteriak ke arahnya, tetapi yang pasti, sesuatu yang buruk sedang terjadi. Arina sendiri bisa membayangkan bagaimana keadaannya jika makhluk itu sampai menangkapnya. Kemungkinan ia akan mati, tapi bisa juga berubah seperti mereka, seperti film-film zombie apocalypse yang pernah ia tonton.
Biru tiba-tiba berhenti. Ia mengambil sesuatu dari sisi celananya. Ia mengacungkan pistol yang ia ambil lalu menembaknya beberapa kali. Arina sendiri baru sadar jika Biru membawa pistol di celananya sedari tadi.
"Nggak ada gunanya, Blue. Mereka banyak banget," seru Arina. Tepat setelah itu, pistol yang Biru bawa berhenti menembak. Pelurunya habis.
Biru berbalik, kembali berlari di sisi Arina. "Nggak mungkin kita sampai basecamp, Na. Lari mereka udah mirip Flash. Kita bakalan ketangkap sebelum sampai sana," kata Biru, masih berlari. Arina menengok ke belakang, makhluk itu tambah dekat. Biru benar, makhluk itu akan menangkap mereka jika mereka hanya berlari saja.
"Terus gimana?" Arina bertanya.
Biru menyapu pandang ke sisi kanan kiri jalan sebentar, lalu berkata, "Aku ada ide."
Arina mengernyitkan dahi. Belum sempat bertanya, Biru tiba-tiba menarik tangannya, menyuruhnya berlari agak cepat. Setelah beberapa meter, ia berhenti di depan sebuah kedai kecil. Biru memutar kenop pintu di depannya. Terbuka, tidak terkunci sama sekali.
Arina segera masuk, diikuti Biru di belakangnya. Biru segera mendorong slot kunci di pintu itu, menguncinya.
"Bantu aku geser lemari pendingin itu, Na," ucap Biru. Arina segera menuruti ucapannya. Ia mendorong lemari berisi soft drink itu sampai menutupi pintu masuk, berharap pintu tidak akan terbuka karena gebrakan-gebrakan mereka nanti.
Arina menghela napas. Keadaan di dalam sangat gelap. Hanya ada pantulan cahaya bulan dari genting kaca di atas. Arina duduk menyender dinding di belakangnya. Tangannya masih bergetar. Tidak menyangka akan melihat makhluk mirip zombie seperti tadi. Rasanya seperti mimpi, tapi ini kenyataan, bukan mimpi.
"Mereka itu—" Belum sempat Arina menyelesaikan ucapannya, suara lengkingan makhluk itu terdengar. Sejurus kemudian, suara mereka menghantam pintu dan dinding bangunan kedai yang Arina dan Biru tempati juga ikut terdengar. Suaranya mengerikan.
"Berdoa aja bangunan ini kokoh, walaupun dihantam lautan zombie tadi," ujar Biru. Arina berkata amin dalam hati.
"Kenapa nggak sembunyi di gedung aja? Atau tempat lain yang lebih kuat dari ini?" tanya Arina.
"Terlanjur. Aku nggak kepikiran sama sekali." Biru berkata.
Arisa yang masih ngos-ngosan memegang dada. Astaga. Ini gila. Mereka di kedai kecil dengan lautan zombie yang mengelilingi mereka.
"Bentar, Na," ucap Biru tiba-tiba, membenarkan sesuatu di telinga kirinya. Dalam keadaan gelap, Arina bisa melihat ada logam bulat di sana. Mungkin alat komunikasi.
Arina menutup telinga. Suara lengkingan di luar sana begitu mengerikan. Ditambah suara pintu kayu dan dinding yang ditabrak berkali-kali membuat Arina jadi merinding. Bagaimana jika bangunan ini runtuh karena tekanan dari makhluk di luar sana?
Arina mengedarkan pandangan. Kedai ini kecil. Sangat kecil malahan. Luasnya hanya 7x4 meter. Ada dua pintu di depan dan belakang, yaitu pintu masuk dan pintu di dekat meja kasir. Mungkin pintu belakang. Ada beberapa meja makan dan bangku untuk duduk.
Kembali menyapu pandang, Arina membelalakkan mata, sangat terkejut ketika melihat jendela kaca ukuran besar berada tak jauh darinya. Kenapa dia baru menyadarinya? Padahal ada cahaya masuk menyinari kedai.
Ini gawat.
"Blue," panggil Arina. Biru yang sedang berbicara dengan seseorang di seberang sana menoleh. Belum sempat Arina memberitahu, suara kaca pecah terdengar. Arina memekik kaget. Salah satu makhluk berhasil masuk. Padahal baru saja Arina berniat mengantisipasi hal itu, tetapi sialnya, hal itu sudah terjadi terlebih dahulu. Arina terlambat.
"Mundur, Na." Biru bergerak defensif. Tak sengaja matanya melihat sebuah pisau tersimpan di rak di dekat meja kasir. Pisau daging yang cukup besar. Tanpa basa-basi, Biru segera mengambilnya.
Ukuran jendela yang cukup besar memudahkan makhluk itu untuk masuk. Biru segera maju, menusukkan pisau yang ia bawa ke kepala makhluk tadi. Makhluk yang mirip manusia, walaupun wajah mereka mengerikan dengan darah mengering yang keluar dari mulut, hidung, serta mata mereka. Arina yang melihatnya megap-megap. Biru bisa sesadis itu ternyata.
"Blue, ada yang dateng lagi!" seru Arina. Biru bergerak ofensif, menyerang makhluk yang kembali datang.
Arina menengok ke kanan kiri, panik. Ia berusaha mencari jalan keluar. Dan satu-satunya jalan yang ia lihat hanya pintu di dekat meja kasir. Buru-buru Arina berlari ke arah pintu tersebut. Arina yakin pintu di depannya bukan pintu keluar. Buktinya tidak ada suara sesuatu apapun yang menghantamnya. Arina segera memutar kenop pintu di depannya. Terkunci.
Arina mengumpat dalam hati. Pintu di luar tidak terkunci, tapi kenapa pintu di dalam malah terkunci? Arina sungguhan panik sekarang. Pasalnya, makhluk yang masuk tambah banyak. Belum selesai Biru menghabisi satu makhluk, makhluk yang lainnya kembali bermunculan.
Melihat laci meja kasir, Arina langsung berlari ke sana, berniat mencari kunci pintu. Cukup lama ia mencari, tetapi kunci itu tidak ditemukan. Mubgkin karena cahaya yang minim. Di dalamnya hanya ada uang lembaran yang jumlahnya banyak dan juga recehan.
"Na, awas!" Biru berteriak, masih berusaha menghabisi makhluk-makhluk yang masuk dengan keadaan yang minim cahaya. Arina yang sedang sibuk mencari kunci sampai tidak menyadari makhluk mirip zombie wanita berlari ke arahnya. Mendengar teriakan Biru tadi, Arina langsung bersembunyi di bawah meja kasir. Tak lupa ia mengambil kursi kayu di dekatnya untuk membentengi dirinya dari makhluk tersebut.
Zombie wanita di depannya menggeram mengerikan. Tangannya berusaha menggapai Arina di bawah meja. Arina sendiri mendorong kursi yang ia pegang ke zombie di depannya, berharap bisa memukul mundur zombie tersebut. Beberapa saat kemudian, Biru datang. Dan dengan cara sadisnya, Biru kembali menusuk kepala zombie di depannya. Mau bagaimana lagi, mungkin itu satu-satunya cara agar makhluk tadi mati.
Arina ingin keluar dari bawah meja, tapi tiba-tiba Biru mencegah. "Kamu tetep di sana, Na."
Arina langsung merengut. Rasanya dia seperti orang lemah yang hanya bisa dilindungi saja. Sekali-kali kan dia ingin membunuh makhluk itu, seperti tokoh-tokoh heroines yang pernah ia baca dan juga tonton. Memikirkannya, Arina jadi teringat kejadian memalukan saat di Brimob. Kejadian ketika ia hanya bisa duduk mendekam di pos jaga ketakutan, menunggu orang-orang menyelamatkannya.
Ugh, Arina memang payah. Padahal ia terus berkhayal menjadi pahlawan wanita yamg keren suatu saat nanti.
"Arina." Biru tiba-tiba memanggil. Ia masih sibuk menghabisi makhluk-makhluk di depannya.
"Apa?" Arina menjawab dari bawah meja.
"Kamu tadi cari apa?"
"Kunci pintu yang ada di belakangmu," jawab Arina. Arina bisa lihat Biru sedang menoleh ke belakang, melihat pintu yang dimaksud Arina. "Kita harus ke sana, Blue. Kamu nggak mungkin lawan mereka terus," sambung Arina.
"Iya. Emang, Na. Aku udah capek," kata Biru.
"Jangan! Nanti aja capeknya, Blue. Aku cari kuncinya dulu," ucap Arina lalu menyapu pandang ke lantai di sekitarnya. Biru yang mendengarnya tersenyum geli. Ia masih membunuh makhluk yang jumlahnya tambah banyak di depannya dan Arina malah membuatnya seperti tidak sungguhan membunuh karena ia malah tersenyum terus sedari tadi. Kenapa ucapan Arina bisa menggelikan seperti itu?
"Dapet, Blue!" seru Arina. Ia mengambil sebuah kunci yang menggantung di dinding dekat meja kasir. Arina merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia baru melihatnya sekarang? Mungkin karena keadaan yang gelap dan kurang cahaya.
"Cepat buka pintunya, Na. Tanganku udah berdarah-darah," ujar Biru. Arina terkejut mendengarnya. Apa Biru tergigit? Atau pisau yang ia bawa mengenai tangannya sendiri? Memikirkan opsi kedua rasanya tidak mungkin. Konyol sekali.
"Blue, tangan kamu berdarah kenapa?" Arina akhirnya bertanya.
"Kena darahnya zombie lah, Na. Apa lagi kalau bukan karena itu," jawab Biru. Arina melongo. Biru memang menyebalkan. Padahal Arina sempat khawatir dengan keadaan Biru tadi.
"Nggak lucu, Blue," sungut Arina. Biru tertawa lucu mendengarnya.
Arina bergerak ke arah pintu, berniat membuka kunci. Keadaan yang gelap dan hanya ada pantulan cahaya bulan dari genting kaca dan jendela membuat Arina agak lama saat membukanya. Biru sendiri ada di belakang Arina, melindunginya jika ada makhluk yang mendekat.