Chereads / An Empty World (END) / Chapter 21 - 21-Jakarta City

Chapter 21 - 21-Jakarta City

Keadaan dapur ramai, seperti biasa. Apalagi sehabis makan malam. Ibu-ibu sibuk mencuci dan membereskan dapur sebelum tidur.

Arina tersenyum tipis, teringat ibunya, ayahnya, kakak, dan adiknya saat makan malam bersama. Bagaimana kabar mereka? Apa mereka baik-baik saja? Memikirkannya malah mengingatkan Ariva tentang ancaman Arival kemarin. Aaahh, sudahlah. Arina sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengacuhkan segala ucapan Arival. Toh, Arival itu stres dan gila.

Andaikan saja seluruh keluarganya ada di markas ini dan aman. Arina pasti tidak akan sepusing dan seresah ini dari kemarin.

"Nggak usah, Mbak Arina. Biar ibu-ibu aja yang cuci piring. Mbak Arina pasti capek habis latihan."

Arina mengerucutkan bibir. Lagi-lagi bantuannya ditolak. Tidak masalah, sih. Lagipula ia ingin mengajak Brownie bermain. Peliharaannya itu pasti bosan karena satu jam lebih Arina tinggalkan untuk menemui Arival. Pertemuan yang tidak berfaidah dan malah membangkitkan emosinya.

Saat Arina sedang berjalan menuju ruangan kandang hewan, tiba-tiba seseorang memanggil namanya. Arina menengok. Rupanya itu Ausans.

"Brownie di perpus. Lagi main sama Ndeso Ndesit plus anak-anak lain," katanya. "Aku mau ke kamar mandi dulu." Arina mengangguk, tersenyum, mengangkat jempol. Ausans sendiri langsung melangkah pergi. Pastinya ke kamar mandi.

Berhubung Brownie sudah diambil, Arina langsung berbalik, berniat melangkah menuju perpustakaan. Baru memutar badan, sosok Biru sudah ada di hadapannya.

"Mau kemana, Na? Udah makan?" tanyanya.

"Udah kok." Arina menjawab. Biru di depannya mengangguk lalu tersenyum. "Blue, ayo main," ajak Arina. Biru mengangkat sebelah alisnya. "Main kemana?"

Arina tertegun sebentar, berpikir. Karena lama, akhirnya Biru yang berucap, "Aku ada ide. Ayo ikut." Biru menarik tangan Arina, mengajaknya pergi.

"Kemana?"

"Ikut aja."

"Bentar." Arina menarik tangannya kembali. "Aku mau ambil sesuatu dulu."

"Oke. Aku tunggu di kandang Thor."

***

"Ngapain pake jaket, Blue?" tanya Arina. Ia masih mengikuti langkah Biru di belakangnya. Biru di depannya berjalan santai. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku. Arina baru saja bermain sebentar dengan Thor di kandangnya tadi, lalu Biru mengajaknya pergi ke suatu tempat, entah pergi kemana. Arina sendiri sudah menitipkan Brownie ke Fadilah dan Riva.

"Nanti di sana dingin," kata Biru. Arina mengernyitkan dahi samar. Bingung tempat dingin apa yang akan mereka datangi. Apalagi ketika Biru berbelok dari lorong utama menuju tempat latihan ke lorong sepi, sempit, dan panjang di sebelah kanan. Hanya ada beberapa lampu putih berwatt kecil yang tergantung di setiap beberapa meter. Berbeda dengan lorong sebelumnya.

"Emang kita mau kemana?"

"Nanti kamu juga tahu, Na."

Setelah cukup lama berjalan menyelusuri lorong, akhirnya Arina dan Biru sampai di ujungnya. Ada pintu logam di sana. Mirip pintu lift, tapi Arina tidak yakin.

Biru melangkah maju ke depan. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya lalu menempelkannya di depan alat pemindai sebelah kanan pintu. Mungkin itu ID card. Sejurus kemudian alat itu bersuara 'tit' dan pintu di depan Arina berdenting, terbelah menjadi dua, terbuka. Biru masuk. Arina menyusul di belakangnya. Sepertinya dugaan Arina tentang pintu tadi benar. Arina sedang di lift. Buktinya Biru menekan tombol 'UG' atau 'underground' dan pintu langsung menutup kembali. Lift yang ia masuki bergerak. Tapi rasanya aneh. Underground itu di bawah, tapi rasanya lift naik ke atas. Padahal dia tadi ada di lantai tiga jika dihitung dari atas, walau lantai yang Arina pijaki ini sudah termasuk underground alias di bawah tanah.

"Kamu mau turun lagi, Blue? Nanti lama-lama bisa sesak napas, nggak ada oksigen."

Biru terkekeh. Arina mengerutkan dahi. Apa yang lucu?

"Lift ini beda, Na. Urutannya dibalik. Kalau biasanya underground itu di paling bawah, kayak namanya, tapi kali ini beda, UG diatas, walaupun masih di bawah tanah. Bisa disebut upground juga, walaupun di bawah tanah juga, tapi tetep aja maksudnya naik. Lantai satu basecamp ini di bawah UG, lantai dua di bawah lantai satu, dan seterusnya. Lantai satu dan dua sendiri kosong, nggak ditempati. Lantai lima buat ruang interogasi dan sel, walaupun yang ada di sana cuma Arival."

Arina ber-oh ria lalu mengangguk paham. "Berarti tadi kita di lantai empat kalau UG dihitung?" tanya Arina. Biru hanya menjawab dengan anggukan.

Cukup lama lift bergerak naik ke atas, tetapi anehnya tidak berhenti juga. Arina sampai mengetuk sepatu yang ia pakai ke lantai berkali-kali, jenuh dan bosan, karena lama menunggu. Padahal baru beberapa menit.

"Kok nggak sampai-sampai sih, Blue?" kata Arina.

Biru di sampingnya tersenyum, merasa lucu. "Sabar, Na. Lima puluh meter itu panjang. Jadi emang butuh waktu lama," katanya.

"Perasaan waktu pertama kali datang, kita nggak lewat sini deh." Arina mencoba mengingat-ingat kedatangan pertamanya ke basecamp ini. Yang ia ingat, lift yang dipakai untuk turun sangat luas. Ada sepuluh orang saat itu ditambah Thor dan Cassini. Arina awal kali turun menuju lift dengan lorong luas bertangga yang ditutup dengan sesuatu serta dilapisi rumput sintetis. Jadi tersamarkan karena pintu masuk memang ada di taman kota yang berumput.

"Kita emang lewat pintu satunya yang muat banyak orang. Kalau lewat sini, sempit dan cuma muat sedikit," jawab Biru.

Tepat setelah itu lift berdenting, terbuka. Arina langsung tersenyum senang dan segera keluar. Arina sekarang berada di ruangan berdinding putih. Tak jauh di depannya ada dinding kaca dan sebuah pintu yang juga berbahan kaca.

Biru melangkah duluan. Setelah sampai di depan pintu kaca, ia menekan beberapa digit nomor di sisi pintu.

'Klik'

Kunci pintu terbuka.

"Kenapa kamu bisa tahu passwordnya? Terus, kenapa kamu bisa tahu tempat ini? Sebenernya kita mau kemana sih?" Arina mulai meluncurkan banyak pertanyaan ke Biru. Mode curious-nya aktif.

"Jenderal Joko lah. Siapa lagi?" ujar Biru lalu menarik pintu kaca tersebut hingga terbuka. Biru menyuruh Arina untuk keluar duluan, disusul Biru di belakangnya. Mereka kembali memasuki sebuah lorong. "Aku sering jalan-jalan. Apalagi punya ID card dan tahu password," lanjutnya.

"Nggak ajak-ajak." Arina menekuk bibir.

"Ini aku lagi ajak kamu," kata Biru. Arina masih menekuk bibirnya. "Sebenernya aku baru jalan sampai ruangan depan lift itu, selebihnya nggak. Ini pertama kalinya aku jalan lebih jauh, makanya ajak kamu," terang Biru.

Arina menoleh ke Biru lalu memicingkan sebelah matanya. "Beneran?"

"Kenapa aku harus bohong, Na?" Biru malah balik bertanya.

"Kalau gitu, kita mau kemana? Kan kamu belum pernah sampai sini, Blue. Kita mau keluar basecamp, ya?" ujar Arina. Mereka sudah sampai ujung lorong.

"Lihat aja nanti, Na."

Ada pintu lorong di depan mereka. Dan untuk kesekian kalinya, Biru membuka pintu tersebut. Hanya saja pintu ini tanpa password dan ID card. Arina mengernyitkan dahi bingung, ada tangga untuk naik ke atas setelah itu. Tapi anehnya, tangga itu berhenti ketika sampai di langit lorong. Tidak ada jalan keluar sama sekali.

Seperti biasa, Biru maju duluan. Dia naik dan melakukan 'sesuatu' di atap lorong. Sejurus kemudian Biru mendorong sesuatu di atasnya hingga terbuka. Ternyata ada pintu besi yang bisa dibuka di atasnya. Ah iya, Arina lupa. Pintu masuk basecamp ini memang sepermukaan dengan tanah sekitarnya, seperti pintu masuk saat awal ia datang kesini. Pintu di sini berbentuk bundar dan lumayan sempit. Diameternya mungkin kurang dari satu meter. Berbeda dengan pintu sebelumnya yanag sangat luas sampai Cassini dan Thor bisa masuk.

Gelap. Tidak ada penerangan sama sekali. Arina pikir ia akan berada di tanah lapang setelah ini. Tetapi ternyata tidak, ia berada di dalam ruangan. Entah ruangan apa. Arina sama sekali tidak bisa melihat sesuatu di sekitarnya.

Biru di belakangnya menutup pintu mirip pintu selokan tadi di bawahnya. Hanya mirip, karena berbentuk bundar seperti tutup selokan di jalanan. Biru berjalan, melangkah entah kemana.

"Ini dimana sih, Blue?" tanya Arina.

Tiba-tiba ruangan tersoroti cahaya. Arina menoleh, Biru tak jauh darinya memegang senter dan menyorotnya asal. Sejak kapan Biru membawa senter?

"Lihat aja nanti, Na," jawab Biru.

"Dapet senter dari mana?"

"Dari sini," ujar Biru, menunjuk sebuah meja berlaci di sisinya. "Emang ditaruh disini buat jaga-jaga," lanjutnya. Arina ber-oh ria.

Biru menarik pergelangan Arina, mengajaknya pergi dari ruangan. Arina masih tidak mengerti tempat apa yang ia lalui. Tapi dilihat dari sorotan cahaya senter di tangan Biru, sepertinya Arina sedang melewati lorong lebar bercat putih dengan ubin pualam mewah. Arina benar-benar tidak bisa menebak tempat ini karena hanya sedikit yang ada.

Setelah lama berjalan, mereka berbelok ke kanan. Di ujung lorong terdapat pintu kayu berukuran besar dan lumayan tinggi. Biru di depan Arina membukanya, tidak ada pengunci apapun. Arina dan Biru keluar. Kali ini mereka berada di luar ruangan.

"Keren!" seru Arina. Ia mendongak, menatap ribuan bintang yang berkilauan di atas sana. Rasanya seperti lama sekali ia tidak melihat langit, mengingat beberapa hari yang lalu Arina menetap di bawah tanah terus-menerus.

"Kamu tahu tadi bangunan apa?" tanya Biru di sampingnya. Arina membalik badan, menelisik bangunan tinggi nan besar di depannya. Arina seperti mengenalnya.

Belum sempat Arina menebak, Biru sudah berbicara. "Itu Istana Negara, Na. Dan ruangan awal tadi itu ruangan Presiden," katanya.

Mata Arina melebar, antara kagum dan kaget. "Waah, keren dong, Blue! Sayangnya nggak ada lampu, jadi nggak kelihatan," ujar Arina. Ia mengerucutkan bibir sebal. Padahal Arina ingin masuk dan melihat-lihat sesuatu di sana.

Mengucapkan kata 'tidak ada listrik', Arina langsung mengedarkan pandangan ke sekitar. Gedung Istana Negara nampak gelap. Begitu juga dengan gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Hanya ada pantulan cahaya dari rembulan.

"Kenapa sama sekali nggak ada lampu hidup? Perasaan kemarin masih ada," ujar Arina.

"Alien yang padamin listrik seluruh Indonesia. Baru sejam yang lalu."

Mendengarnya, Arina mengumpat dalam hati. Para alien memang gila dan menyebalkan. Terlebih alien yang ia temui tadi siang—Arival.

"Terus, kenapa di basecamp listriknya masih hidup?" Arina bertanya lagi.

"Ada generator dan pembangkit listrik," jawab Biru.

"Tenaga apa?'

"Entahlah, Na. Aku nggak tanya," ujar Biru. Arina mengangguk, mengerti.

"Berarti basecamp dibangun di bawah Istana Negara? Gimana bisa?" Sepertinya mode curious Arina kembali aktif.

"Nggak lah, Na. Basecamp di bangun di sekitar Istana Negara. Kamu inget lorong panjang setelah pintu kaca tadi?"

Arina mengangguk.

"Nah, itu yang dibangun di bawah Istana Negara. Penghubung antara basecamp dan ruangan Presiden. Biar Presiden bisa cepat dievakuasi kalau ada sesuatu yang nggak diduga, misal invasi, pemberontakan, sabotase, dan lain-lain," jelas Biru. Arina mengangguk paham.

"Yaudah, nih pakai jaket. Dingin." Biru melepas jaket kulitnya, menyisakan kaus lengan pendek berwarna dark blue-nya. Ia memberikan jaket itu pada Arina. Arina menggeleng, menolaknya.

"Aku nggak kedinginan, Blue. Kamu aja yang pakai." Suasana malam ini memang tidak dingin. Apalagi Arina memakai lengan kaus panjang.

"Aku juga nggak kedinginan," kata Biru.

"Yaudah, pakain aja ke rumput. Kasihan, dia pasti kedinginan." Biru tersenyum geli. Arina kembali berucap aneh dan tidak jelas seperti biasa.

"Yaudah, ayo jalan lagi!" ajak Biru lagi. Ia mengenggam tangan Arina lalu menariknya agar mengikuti langkahnya.

Arina mengerutkan dahi. Ia pikir Biru hanya mengajaknya sampai pelataran Istana Negara, tapi ternyata tidak. Biru mengajaknya pergi lagi.

"Kita mau kemana?" tanya Arina. Mereka sudah ada di jalanan, keluar dari pelataran Istana Negara. Biru tidak lagi menarik tangannya, karena Arina sudah mengikutinya sendiri.

"Jalan-jalan bentar di Jakarta." Biru menyampirkan jaket yang tidak ia pakai ke pundaknya.

"Emang tahu jalan pulang?"

"Tahulah. Kalau nggak tahu, aku nggak bakal ajak kamu jalan-jalan, Na. Aku kenal tempat ini," terang Biru.

"Kamu pernah kesini, Blue?" Arina bertanya. Biru mengangguk, mengiyakan.

Keadaan sangat sepi. Ditambah gelap, karena tidak ada satupun lampu yang hidup. Arina berjalan di dekat Biru. Ia mendongak, tapi masih tetap berjalan. Langit malam bertabur bintang nampak dari bawah. Langit bersih dari awan. Hanya ada rembulan dan ribuan bintang yang berkelip indah. Rasanya nyaman saat melihatnya, tapi tidak senyaman hati Arina sekarang.

Tiba-tiba saja rasa takut dan gelisah menyergapnya. Arina menghela napas panjang. Entah sampai kapan hal ini akan berlangsung. Bersembunyi di bawah tanah dan berlindung di sana dari mantan manusia bumi yang biadab.

Arina rindu keluarganya. Ia lelah berpikir. Ia lelah takut. Ia lelah khawatir. Keselamatan keluarganya dan kondisi bumi serta manusia, Arina sungguh khawatir dengan ketiganya. Arina tidak tahu kapan hal ini akan berakhir. Atau mungkin saja ini semua memang tidak akan pernah berakhir.

Aaahh, entah sampai kapan.

"Kamu nggak papa, Na?" tanya Biru saat melihat perubahan ekspresi di wajah Arina.

Arina mengangguk, tersenyum, menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

Biru tahu, tidak ada yang baik-baik saja sekarang. Terlebih Arina yang baru saja mendapatkan ancaman dari si gila Arival. Arina pasti tertekan. Apalagi Biru menolak mentah-mentah ide Arina yang akan memenuhi permintaan Arival supaya Arival mau menjawab dimana seluruh manusia disembunyikan dan meminta tidak akan menyiksa keluarga Arina. Arival itu gila, mana mungkin Biru membolehkan Arina memenuhi permintaan Arival. Apalagi permintaannya benar-benar tidak waras—cium pipi dan menemaninya di sel berdua saja sampai bebas. Lagipula, siapa juga yang akan membebaskannya?

"Kita sampai," ujar Biru ketika sampai ke tempat yang ia maksud.

Arina mendongak. Tak jauh di depannya ada gedung tinggi dan gelap. Biru melangkah, kembali menghidupkan senternya.

"Kita masuk ke sana?" tanya Arina. Biru mengiyakan. "Kita ngapain masuk ke sana? Gelap banget," lanjutnya.

"Lihat aja nanti, Na." Biru berucap lalu menggandeng tangan Arina. Arina tersenyum, membiarkan Biru kembali menarik dirinya. Biru selalu saja menjawab dengan kalimat yang sama.