Keadaan kantin mulai sepi. Padahal setengah jam yang lalu banyak orang mengantri untuk mengambil makan siang. Hanya tersisa beberapa orang termasuk Arina dan kawan-kawan. Mereka sedang sibuk makan.
Arina menyipitkan mata. Tak jauh di depannya, belasan orang berbaju militer berjalan melewati kantin. Masing-masing dari mereka bersenjata.
"Mereka mau kemana?" tanya Arina.
"Misi penyelamatan ke Kota Semarang kayak kita kemarin," jawab Biru lalu menyerut minumannya. Arina ber-oh ria. "Bukannya alien udah punya alat untuk lihat mana manusia yang tersisa? Aku pikir sisa yang lain yang nggak di basecamp ini udah diculik mereka," ujar Arina.
"Mungkin mereka punya tempat tersembunyi," jawab Biru.
"Terus, emang pesannya udah dibaca?" Arina kembali bertanya.
"Ada tandanya, Na."
"Kalau ternyata orang luar Semarang yang baca gimana?"
"Pesan itu cuma dikirim di daerah Semarang."
"Gimana bisa?"
"Tekhnologi lah, Na."
"Sumpah. Cewek banyak tanya banget, sih," ucap Merapi. Arina menatap sinis mendengarnya. "Mendinglah. Daripada cowok yang percaya dirinya kelewat batas kayak kamu," kata Arina lalu memeletkan lidahnya ke Merapi.
"Biarin, yang penting ganteng."
Arina memasang wajah sebal. Dia selalu merasa kalah debat dengan Merapi. Merapi memang menyebalkan. Mutlak!
Dapat ide, Arina menjulurkan kakinya ke depan, mencari keberadaan kaki Merapi di bawah meja. Setelah menemukan, ia langsung menginjaknya. Cukup keras sampai Merapi mengaduh kesakitan karenanya.
"Apaan, sih, Na," ujar Merapi lalu ganti menjulurkan kakinya, membalas dendam. Arina yang menyadarinya segera menyembunyikan kakinya, bahkan mengangkat kedua kakinya ke atas bangku yang ia duduki.
Malas dan tidak ada lagi cara untuk membalas dendam, akhirnya Merapi menyerah. Merapi tidak lagi mencari kaki Arina. Tetapi hal itu langsung membuat Arina menjulurkan kakinya, kembali menginjak kaki Merapi seperti sebelumnya. Merapi mengumpat, nampak sebal dengan injakan Arina tadi. Arina tertawa keras melihatnya. Setidaknya melakukan hal seperti ini membuatnya tidak lagi mengingat ancaman Arival kemarin.
"Sans, aku pindah sampingmu, ya?" kata Merapi lalu berjalan dan duduk di sisi Ausans. "Arina nakal terus jahat," katanya lagi. Ausans yang berada di antara Arina dan Merapi hanya bisa menggelengkan kepala. Biru sendiri tersenyum geli melihatnya. Tom and Jerry mulai beraksi.
"Iyuh. Dasar modus! Bilang aja pengen deket Ausans," kata Arina.
"Cemburu, ya? Pengen kan duduk deket Budiman Santoso?"
"Cemburu? In ur dream! Dasar kepedean!" cebik Arina kesal.
"Biarin, yang penting ganteng."
Arina naik darah, sangat sebal dengan Merapi. Merapi ganti tertawa melihat ekspresi sebal Arina. Keadaan jadi terbalik. Arina yang ganti sebal karena ucapan Merapi barusan.
"Gila!" seru Arina. Merapi masih tertawa.
"Biarin, yang penting ganteng."
Gila. Gila. Gila. Gila. Gila. Merapi gila!
"Udah, Na, Merapi jangan diladenin," ujar Ausans. Arina merengut. Pada akhirnya dia kalah juga dengan Merapi. Pada dasarnya Arina bukan orang yang tidak mau kalah, jadi lebih baik ia mengalah saja. Lagipula mengalah juga bukan berarti kalah.
"Oh iya, Blue, mereka itu TNI, ya?" tanya Ausans.
Keadaan mulai tenang. Arina dan Merapi tidak lagi bertengkar. Mereka sedang sibuk dengan makanan masing-masing.
"Pastinya iya. Risikonya besar kalau kirim orang nggak terlatih buat misi penyelamatan." Biru menjawab. Ausans mengangguk setuju.
"Blue," panggil Arina. Dia baru saja menyelesaikan makanannya. Biru yang berhadapan dengan Arina mendongak, menunggu Arina melanjutkan ucapannya. Arina sendiri sedang meminum es jeruknya lalu meneguknya cepat.
"Nanti anter ketemu Arival Adijaya, ya?" pinta Arina. Biru memicingkan sebelah mata.
"Mau ngapain lagi, Na?" tanya Biru.
"Diancem lagi gimana? Kamu tambah takut nanti." Ausans menimpali. Arina menghela napas panjang. Bingung harus bagaimana.
"Dulu aku sama Arival deket. Dia itu baik. Mungkin aku bisa bujuk dia nanti."
Merapi tiba-tiba tertawa. Arina menoleh ke arahnya lalu mengerutkan dahi samar. Ia menatap Merapi seakan ingin berkata 'emang-ada-yang-lucu-ha?'
"Mana ada psikopat baik, Na. Yang ada dia itu psikopat profesional karena bisa tutupin kejahatannya lama," ujar Merapi. Arina menekuk bibirnya, murung. Dia tahu itu sejak dulu. Segala kebaikan psikopat itu kebohongan. Kebaikannya adalah sebuah topeng untuk menutupi kejahatannya. Hanya ada kejahatan di dalam dirinya. Itu menurut Arina yang agak trauma dengan kejadian di masa lalu.
"Yaudah, nanti aku coba tanya Ivan." Biru tiba-tiba menjawab. Arina tersenyum. Matanya berbinar. "Makasih, Blue," ucapnya. Biru hanya mengangguk.
"Baru nemu. Ada ya orang yang seneng banget waktu mau ketemu psiko," ujar Merapi. Merasa itu dirinya, Arina menoleh lalu menatap sinis Merapi. Ingin menimpali, tapi Arina lebih memilih melengos tak peduli. Demi keluarganya, ia akan menemui psikopat bernama Arival Adijaya itu dan membujuknya, walaupun Arina tidak yakin Arival akan terbujuk. Tetapi tidak ada salahnya mencoba kan? Mungkin Arina bisa menghasilkan sebuah kesepakatan dengan Arival nanti.
Fadilah dan Nabila tiba-tiba datang. Mereka berjalan membawa nampan berisi makanan lalu duduk di bangku samping Biru yang kosong.
"Numpang duduk ya, Kak?" Nabila meminta izin. Nabila lebih memilih memanggil dengan sebutan 'kak', berbeda dengan Fadilah dan Riva yang memanggil orang lain dengan sebutan 'mas-mbak'. Bahkan yang Arina tahu, hanya mereka berdua yang menggunakan sebutan 'mas-mbak' pada Arina dan teman-temannya.
Semua tersenyum mengangguk, mengizinkan.
"Kenapa baru makan sekarang?" Ausans bertanya.
"Tadi keasyikan ngobrol," jawab Fadilah lalu meringis. Arina hanya ber-oh ria. Arina dan yang lain juga telat datang. Mereka terlalu lama bermain di tempat latihan sehingga telat datang ke kantin. Makanya kantin sudah sepi tadi. Bersyukur, makanannya belum habis.
"Tumben nggak sama Riva?" tanya Arina, lebih kepada Fadilah yang berada di sisi Biru. Biasanya mereka selalu bersama.
"Lagi ke kamar mandi, nanti katanya nyusul kesini."
Arina mengangguk lalu ber-oh ria. Ia mengambil es jeruknya lalu menyerutnya sampai habis. Tidak ada lagi yang berbicara. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring.
Merapi selesai makan. Ia mengambil minuman, meneguknya cepat. "Aku punya kabar heboh," ucapnya, membuat seluruh orang menoleh ke arahnya. Merapi-termasuk Arina-menatap Merapi, ingin tahu.
"Kabar heboh apaan?" Ausans bertanya, cukup serius. Dia juga baru saja menyelesaikan makanannya.
"Masa tadi malem aku mimpi dicium Selena Gomez," jawab Merapi lalu nyengir.
Semua orang menatap rendah Merapi. Karena sebal, mereka semua langsung berseru bersamaan. "BODO AMAT!!"
Tidak semua berseru, sih. Biru di hadapan Arina malah cekikikan karena melihat tampang sebal orang-orang di sekitarnya. Biru menyerut minumannya, mencoba menikmati pertunjukkan di depannya. Ia yakin, Merapi akan menjadi korban buli sebentar lagi.
"Nggak penting banget, sih," ujar Ausans, lalu mendorong bahu Merapi, membuatnya hampir jatuh terjengkang dari bangku.
"Merapi gila!" Arina yang dari awal sudah sebal segera membalas. Ia menjulurkan kakinya lalu menendang kaki Merapi yang berada di dekatnya dan hanya dibatasi dengan Ausans. Tidak keras, tapi cukup membuat Merapi berteriak. Entah benar-benar sakit atau hanya ke-alay-an nya saja.
"Ampun, Na, ampun!" seru Merapi lalu bergeser menjauh dari kaki Arina.
"Aku kira seriusan, Kak." Nabila berucap. Dia lanjut menyuap makanan ke mulutnya setelah tadi sempat terhenti karena ucapan Merapi.
"Aku emang seriusan mimpi dicium Selena Gomez kok, Bil."
"Bodo amat! Mau dicium Selgom, dicium sapi, dicium Mimi Peri, nggak ada yang peduli!" sebal Fadilah. Merapi hanya tertawa mendengarnya. Biru sendiri masih cekikikan lalu menggelengkan kepala antara heran dan lucu.
"Btw, Mimi Peri siapa, Dil?" tanya Nabila pada Fadilah. Fadilah mengedikkan bahu. "Nggak tahu, asal ceplos tadi."
Nabila ber-oh panjang. "Tadi malem aku juga mimpi. Lebih tepatnya mimpiin zombie," cerita Riva,
"Ah iya!" Fadilah tiba-tiba berseru. Semua menoleh ke arahnya. Aku punya cerita," katanya.