Tripod siap. Kamera siap. Tampang juga siap.
Mulai.
Rabu, 2 Maret 2028
12:45 p.m.
"Holla, kamera. Aku Fadilah. Orang terimut dan terunyu di basecamp," ucap Fadilah di depan kamera, masih dengan logat medoknya. Ia maju ke depan, membuat wajahnya memenuhi kamera.
"Apaan, sih, Dil. Muntah deh. Lagian mundur kenapa." Itu suara Riva. Ia menarik Fadilah agar menjauh dari kamera. "Hai, aku Riva," ucapnya lalu tersenyum melambaikan tangan ke kamera.
Arina mendekat ke kamera. Ia duduk di antara Riva dan Fadilah.
"Hai, kembali lagi dengan Arina Rahmawati di video dokumenter keempat ini." Kini ganti Arina yang berbicara. Tadi, dia menyuruh Fadilah dan Riva untuk memulai videonya duluan. "Kita sekarang ada di tempat latihan basecamp. Baru aja tadi belajar gerakan dan tehnik dasar bela diri. Setelah itu, kita belajar pakai pistol, walau cuman sebentar. Iya kan?" tanya Arina pada Fadilah dan Riva. Mereka berdua serempak mengiyakan. "Tapi tempat latihan masih ramai. Malah banyak yang ngobrol. Kalian bisa lihat masih banyak orang disini." Arina menggeser sedikit tubuhnya ke samping agar keadaan di belakangnya bisa terekam.
"Oh iya, sampai lupa ceritain awalnya. Kemarin empat orang dari Jogja udah dijemput sesaat setelah serangan kemarin. Aku yakin kamu pasti tahu, kamera. Kamu masih punya memorinya." Arina berucap seolah kamera di depannya makhluk hidup, mengikuti Fadilah sebelumnya.
"Mbak Red masih ada videonya? Mau nonton dong," kata Fadilah.
"Siap, nanti aku lihatin," jawab Arina. Fadilah dan Riva bersorak senang.
"Kamu tahu kan, kamera. Brownie, Ndeso, dan Ndesit sempat hilang waktu itu. Aku cari kemana-mana, tetep nggak ada. Dan ternyata, mereka itu dibawa Ausans. Makanya kemarin aku orang yang masuk pesawat paling akhir. Sampai ada orang nyebelin bilang aku payah. Itu orangnya," ujar Arina lalu menggeser kamera ke arah The Rock yang sedang melangkah keluar dari tempat latihan.
"Itu bawahan Jenderal Joko kan?" kata Riva.
Arina mengedikkan bahu. "Nggak peduli. Dia nyebelin," ucap Arina lalu mengarahkan kembali kameranya seperti sebelumnya.
"Syukurnya, Ausans sempet bawa kamu sama tripod. Maaf, ya, kemarin aku tinggal. Panik cari Brownie dan kawan-kawan, sih." Arina lanjut berbicara. Ia masih saja berucap seolah kamera di depannya memahami perkataannya. "Kemarin kan aku bilang Tim Tasik jemput, dan ternyata, mereka bukan Tim dari Tasikmalaya beneran. Mereka bohong bilang dari Tim Tasik biar alien salah sangka. Sebenernya mereka dari Jakarta. Dan ya, sekarang kita ada di Jakarta. Lebih tepatnya limap uluh meter di bawah Jakarta. Percaya atau nggak, basecamp ini ada di bawah tanah. Akhir-akhir ini emang banyak hal-hal yang nggak masuk akal dan sulit dipercaya. Dan lagi-lagi, ada hal yang lebih sulit dipercaya. Kali ini datang dari alien..." ujar Arina. Ia menghela napas panjang, teringat ancaman Arival kemarin.
"Alien itu manusia dari Mars. Mereka penjahat kelas kakap yang diasingin ke Mars. Kaget? Kita juga. Pemerintah udah menjalankan kebijakan ini sejak lima belas tahun yang lalu dan nggak disebarluaskan. Awal mulanya itu peraturan Amerika, terus diikuti banyak negara, bahkan seluruh negara karena efektif mengurangi kejahatan. Yang diasingin penjahat yang emang udah kelewat batas jahatnya, misal psikopat. Dan ada satu penjahat yang dendam sama ibuku. Namanya Arival Adijaya. Dia teman sekelasku waktu kelas tujuh dan jadi psikopat di usia yang masih belia. Awalnya kita temen deket, tapi ternyata dia udah ada rencana buat bunuh aku sama ibuku. Alasannya? Nggak ada alasan. Psikopat emang gitu."
"Dia beneran pengen bunuh Mbak Red?" tanya Fadilah.
Arina mengangguk. "Suatu hari, aku lihat dia bunuh paman dan bibinya di rumahnya. Itu pertama kalinya aku lihat manusia dibunuh, mana sadis lagi. Dan rasanya ... takut, ngeri, sama gelisah gabung jadi satu. Itu malam hari. Aku langsung pulang dan nggak berani bilang siapa-siapa. Rumah kita sekomplek. Jadi aku tahu paginya komplek heboh. Dan Arival dengan aktingnya pasang muka sedih. Warga nggak tahu sampai aku lihat ada selembar kertas di buku MTK-nya yang aku pinjem. Isinya orang yang bakal dia bunuh. Dan ada namaku sama nama ibuku."
Fadilah dan Riva menutup mulut kaget. Mereka berdua menatap Arina tak percaya. "Psikopat beneran ada ternyata. Ngeri tahu. Terus gimana, Mbak?"
"Setelah tahu itu, aku nggak bisa tinggal diam. Bisa-bisa nyawaku dan ibu melayang di tangan Arival. Aku langsung kasih tahu ibu. Awalnya nggak percaya, tapi setelah baca kertas itu, ibuku langsung kaget. Ibuku pikir Arival baik. Gimana nggak, kita sering main dan belajar berdua. Rumahnya deket juga. Aku juga nggak nyangka enam bulan temenan sama psikopat," ujar Arina, mengingat-ingat memori saat ia dan Arival belajar dan bermain bersama.
"Setelah itu?" Fadilah dan Riva berbicara serempak.
"Setelah itu, ibu panggil kenalannya. Detektif keren kayak Sherlock Holmes ma Detective Conan. Gimana nggak? Baru dua minggu penyelidikan, dia udah bongkar banyak kejahatan Arival. Dan kalian berdua tahu, nggak?" Fadilah dan Riva menggeleng. "Arival bunuh dua puluh orang lebih, termasuk kedua orang tuanya."
"Apa?!"
"Maka dari itu, aku panik dan nggak tenang waktu dia ancam mau sakitin keluargaku. Apalagi kemarin waktu ketemu di sel, muka dia nyeremin banget. Persis kayak psikopat di film-film."
"Emang sih. Aku juga bakal cemas kalau kayak gitu. Tapi Mbak Red harus tetep tenang. Keep positive thinking!" kata Fadilah.
"Aku yakin dia nggak mungkin bisa lakuin itu. Dia Cuma mau nakutin Mbak Red," ucap Riva menimpali ucapan Fadilah.
Arina tersenyum, tapi sedetik kemudian mengerutkan dahi samar, mengingat-ingat sesuatu. Sebenarnya dia ingin bercerita pada kamera atau Fadilah dan Riva, sih?
"Lagi pada ngapain, sih? Aku nggak diajak coba." Merapi tiba-tiba datang entah dari mana. Tangannya bergerak menutup lensa kamera, mulai membuat kisruh.
"Nggak usah ganggu deh," ujar Fadilah sebal.
"Biarin, yang penting ganteng."
Arina menatap jijik Merapi di belakang kamera. Apa hubungannya coba?
"Permisi, orang paling ganteng sejagad raya mau duduk," ujar Merapi lalu duduk di depan Arina. Dasar kebiasaan!
"Yaudah, kamera, sampai sini aja video dokumenter kali ini. Perusuh sok ganteng sudah datang. Bye... See you again." Arina langsung memencet tombol berhenti.
Rekaman selesai.
"Sana minggir! Udah sok ganteng, rusuh lagi!" seru Riva lalu mendorong punggung Merapi, menyuruhnya pergi.
"Biarin, yang penting ganteng."
Arina lagi-lagi menatap jijik Merapi. Kenapa dia se-menyebalkan ini?
"Ayo foto! Ajak yang lain juga," ucap Merapi tiba-tiba. Arina berpikir sejenak. Seru juga sepertinya.
Arina menoleh ke belakang. Keadaan sudah tak seramai tadi, meski masih ada banyak orang. Sekumpulan teman sebaya Fadilah dan Riva sedang mengobrol. Ausans memanah, nampak keren dengan rambut sebahunya. Biru sendiri sedang memukul samsak tinju bersama dua pemuda yang Arina ketahui bernama Teguh dan Ali.
"Nabila, Lulu, Ziza, Santi, kalian sini deh. Ayo foto!" seru Arina. Yang diseru namanya menoleh lalu bangkit berdiri. "Ayo!! Aku ikut..." Nabila dan Lulu menjawab dengan antusias.
"Ausans sini!!" teriak Arina. Ausans menoleh. "Blue, Teguh, sama Ali juga!"
Semua sudah berkumpul di depan kamera. Agak jauh agar semua dapat difoto.
"Ali, kamu sampingku sini!" seru Fadilah.
Arina berdiri. Ia mundur, memberi ruang untuk yang lainnya. Riva cs duduk sejajar. Merapi duduk di dekat Ausans di baris tengah. Ada Nabila dan Teguh juga di sana. Fadilah di baris depan bersama dengan teman-temannya. Ia duduk di sebelah Riva di sebelah kiri dan Ali di sebelah kanan alias paling pojok.
Arina yang berada di paling belakang celingak-celinguk, mencari kawan. Kedua sudut bibir Arina terangkat, tersenyum saat mendapati Biru sudah ada di sisinya. Biru berkeringat, mungkin sehabis latihan tadi.
"Yeah, kita deketan, Blue."
Biru tersenyum, merangkul pundak Arina. Arina menahan napas, cukup terkejut dengan tingkah Biru yang tiba-tiba merangkulnya. Arina tidak pernah sedekat ini dengan Biru sebelumnya.
Karena berada di barisan paling belakang, Arina dan Biru berdiri, sedikit membungkuk agar badan mereka terlihat di kamera.
Riva yang mengatur timer mulai mengaba, "Satu.. dua.. tiga.. say cheese!"
Gambar diambil.