Chereads / An Empty World (END) / Chapter 14 - 14-About Alien

Chapter 14 - 14-About Alien

"Setelah lima belas tahun lamanya, kenapa kita baru tahu kalau penjahat kelas kakap diasingkan ke Mars? Ternyata Mars bisa buat hidup manusia, ya? Pantesan tujuan mereka datang kesini buat hancurin dunia. Of course, seluruh para penjahat pengen balas dendam pastinya." Arina berucap. Yang lain mengangguk, menyetujui ucapan Arina. Mengkerutkan dahinya, Arina mengingat sesuatu. "Blue, kamu bilang peraturan pengasingan ke Mars itu buat seluruh dunia? Berarti seluruh penjahat kelas kakap di dunia kumpul di sana?" tanya Arina.

Biru mengangguk. Semua yang ada di ruangan-Ausans, Merapi, Fadilah, dan Riva-termasuk Arina mangut-mangut.

"Iya. Peraturan pengasingan ini ditetapkan di seluruh negara dunia. Pelopornya juga Amerika Serikat. Dan semua negara sepakat untuk nggak menyebarluaskan perihal peraturan ini. Bukannya kita emang sempet dapat kabar itu? Tapi pemerintah Indonesia langsung klarifikasi dan bilang itu hanya rumor, walaupun nyatanya peraturan itu bener-bener ada," jelas Biru. Arina di depan Biru mengangguk paham. Begitu juga dengan semua orang yang ada di ruangan.

"Blue, kalau mereka memang culik orang-orang, kenapa mereka nggak culik kita? Mereka malah capek-capek ngejar kita waktu di Brimob?" Kini Ausans yang bertanya.

"Jenderal Joko bilang mereka nggak bisa deteksi keberadaan kita alias orang-orang yang masih tersisa di dunia. Bahkan mereka nggak bisa lihat kita dengan mata telanjang."

Arina mengkerutkan dahi. Dia benar-benar tidak paham dengan ucapan Biru. "Kenapa mereka nggak bisa lihat kita? Apa kita terlalu buat silau mata mereka?" tanya Arina lalu tertawa karena ucapannya barusan. Tidak tahu kondisi. Padahal semua orang sedang berada di mode serius.

Biru mengedikkan kedua bahunya, tidak tahu. "Kita belum tahu pasti apa penyebab sebenarnya. Tapi mereka udah punya solusi buat itu. Kalian ingat mereka pakai soflen ungu waktu itu? Awalnya aku pikir itu warna asli iris mereka, tapi ternyata, itu alat yang udah mereka temukan buat bisa lihat kita. Mereka tahu kelemahan mereka dan langsung buat alat untuk menutupi kelemahan mereka."

"Mas Blue seteliti itu, ya? Sampai tahu mereka pakai soflen warna ungu," ujar Fadilah. Riva yang mendengarnya berucap menimpali, "Iyalah. Mas Blue gituloh."

Biru tersenyum simpul, walaupun rasanya aneh saat mereka memanggilnya Mas Blue. Itu lucu sekali.

"Nah terus, Blue, mereka taruh mana manusia sedunia yang bejibun banyaknya? Kirim ke Mars? Merek culik buat apa? Manusia mereka perkecil terus jadiin semut-semutannya mereka? Emang dasar alien bego. Nggak faidah banget yang mereka lakuin," maki Merapi. Arina langsung menoyor kepala Merapi dari samping lalu berujar, "Jangan cerewet. Dasar emak-emak."

"Bodo. Yang penting ganteng," kata Merapi. Arina lagi-lagi memberi ekspresi ingin muntah.

Biru yang melihatnya hanya geleng-geleng. Dua manusia yang ada di depannya sudah mirip Tom and Jerry yang tidak pernah akur.

"Alien itu nggak mau jawab. Dia mau jawab kalau udah lihat Arina," terang Biru. Arina memicingkan sebelah mata. Kenapa harus dia? "Maka dari itu, Na, Jenderal Joko panggil kamu buat ketemu sama dia."

"Mungkin maksud dia bukan aku. Banyak Arina di dunia."

"Ibu kamu namanya Arira Rahmawati, kan?" tanya Biru. Arina terhenyak, tapi tetap mengangguk. "Alien itu tahu nama ibu kamu."

Arina melongo. Heran kenapa ada alien yang tahu nama ibunya. Apa ada penjahat kelas kakap yang mengenal ibunya? Arina berpikir keras, mencoba mengingat sesuatu di masa lalu. Arina membelalakkan mata ketika otaknya memutar sebuah memori tentang masa lalu. Memori yang sudah lama ia lupakan.

"Aku inget, Blue. Apa nama alien itu Arival? Arival Adijaya?"

Biru memicingkan sebelah mata. "Aku nggak tahu namanya, tapi coba aja temuin dia. Mau cerita tentang itu?"

"Ceritanya panjang, mungkin—"

Ucapan Arina terputus ketika seorang pemuda berdiri dan mengetuk pintu kayu perpustakaan. Semua menoleh, tak terkecuali Arina.

"Ini jadwal latihan kalian. Aku harap kalian bisa tepat waktu," katanya lalu memberikan secarik kertas. Merapi yang paling dekat dengan pintu menerimanya. Kalau Arina tidak salah, nama pemuda itu adalah Ivan. Salah satu bawahan terpercaya Jenderal Joko. Arina hanya dengar dari Fadilah dan Riva yang lebih dulu datang kesini, sih.

"Oh ya, Biru dan Arina, Jenderal Joko panggil kalian," lanjutnya. Arina dan Biru bertukar pandang, tapi segera menjawab dengan serempak, "Oke!"