Nana bangun dari tidur nyenyaknya, ia kemudian melihat kearah jam dinding. Pukul 05.30, Nana bergegas untuk mandi. Ia mengambil handuk dan segera menuju ke kamar mandi. Ketika melewati kamar ibunya, Nana melihat pintu kamarnya sedikit terbuka. Ia mengintip kedalam, terlihat ibunya sedang tertidur pulas. Setelah puas memandangi ibunya, ia melanjutkan perjalanannya ke kamar mandi dan mandi.
Setelah selesai mandi dan ganti baju, Nana segera menyiapkan sarapan untuk dirinya dan ibunya. Saat tengah asik memasak, Nana mendengar ada yang menarik kursi. Nana sontak menoleh ke sumber suara, ternyata ibunya sedang duduk disana.
"Eh ibu, bikin Nana kaget saja." Nana lalu melanjutkan acara memasak sarapannya.
"Hehe, maaf. Tumben kamu bangun pagi?" ibu Nana beranjak dari kursi dan menghampiri Nana.
"Tadi malam Nana tidurnya nyenyak banget, jadinya bisa bangun pagi deh."
Masakan sudah matang, Nana segera memindahkannya ke piring. Setelah itu ia dan ibunya sarapan bersama.
"Ibu, ayah mana?" tanya Nana sambil melahap sarapannya.
"Entahlah, ibu tidak melihatnya sejak tadi malam. Saat ibu pulang, suasana rumah sangat tenang."
Nana mengangguk-angguk, ia lalu segera menghabiskan sarapannya. Setelah selesai ia kembali ke kamar untuk mengambil tasnya.
Nana bercermin memandangi wajahnya beberapa saat, kemudian mulai menyisir rambutnya. Ia kaget saat melihat kesudut ruangan melalui pantulan cermin.
"Astaga!" Nana berbalik badan. "Kau membuatku kaget Dev," omel Nana.
Devli tidak menggubris omelan Nana, dia menghampiri Nana yang kembali menyisir rambutnya. "Sudah mau berangkat?"
"Ya, kau mau ikut?" tanya Nana sambil menguncir rambutnya.
"Aku mau tapi aku tak bisa."
"Kenapa?"
"Aku tidak boleh terkena sinar matahari langsung, kalau tidak aku akan menunjukkan wujud asliku." jelas Devli.
"Tidak boleh terkena sinar matahari, seperti vampir saja. Lalu, apa tidak ada cara lain?" tanya Nana sambil duduk diatas kasur.
"Ada sebenarnya," jawab Devli singkat.
"Benarkah? Bagaimana caranya?"
"Dengan masuk ke bayanganmu, dengan begitu aku bisa mengikuti mu kemana pun kau pergi."
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Cepatlah masuk, aku akan segera berangkat."
Devli mengangguk, ia kemudian berubah menjadi asap hitam dan masuk kedalam bayangan Nana.
"Apakah didalam sana nyaman, Dev?" tanya Nana sambil melihat ke arah bayangannya.
"Ya, tapi disini sedikit dingin dan sepi." sahut Devli.
Nana turun dari kasur dan langsung menyambar tasnya, ia lalu mengambil sepatu sekolahnya. "Ibu, Nana berangkat dulu ya!" Nana berteriak agar suaranya sampai ke dapur.
Ibu Nana segera menuju kedepan ketika mendengar teriakan Nana. "Sayang, ini bekal dan uang saku mu," katanya sambil memberikan kotak makan dan sejumlah uang ke Nana.
Nana hanya mengambil bekalnya, "Uangnya ibu simpan saja untuk keperluan lain, bekal ini saja sudah cukup." kata Nana sambil memasukkan kotak bekalnya kedalam tas.
"Tapi-"
"Sudah ya bu, Nana berangkat dulu. Dadah," Nana mencium pipi ibunya kemudian berlari keluar rumah.
"Anak baik," ibu Nana tersenyum melihat sikap Nana.

Sepanjang perjalanan kesekolah, Nana berjalan sambil bersenandung riang. Ia juga sesekali menghirup udara pagi yang masih segar. Jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, karena itu Nana lebih memilih untuk berjalan daripada naik angkkutan umum. Selain untuk menghemat uang, berjalan kaki bisa mengurangi polusi udara yang semakin buruk sekarang ini.
Ditengah-tengah perjalanan, Devli tiba-tiba memberi peringatan kepada Nana.
"Ada yang mengikuti mu."
"Siapa?" jawab Nana sambil berbisik.
"Ayahmu."
"Ayah? Untuk apa dia mengikutiku?" Nana melihat kearah belakang dan benar saja, ada ayahnya yang sedang mengikuti sambil memasang muka penuh amarah.
"Sepertinya ia ingin balas dendam karena tadi malam, sebaiknya kau lari sekarang." perintah Devli.
"Lari kemana?" tanya Nana bingung.
"Lari saja, aku akan mengarahkanmu."
"Baiklah,"
Nana berlari secepat yang ia bisa untuk kabur. Sesekali ia menengok kebelakan untuk memeriksa apakah ayahnya masih mengikuti atau tidak. Setelah beberapa saat berlari Nana, akhirnya ia sampai disebuah gang kecil dan sepi.
"Kenapa kau membawaku ke sini Dev?"
"Agar aku bisa menghabisinya."
Ayah Nana berdiri tepat didepan Nana sekarang, tidak ada jalan bagi Nana untuk kabur lagi. "Kau mau lari kemana, anak kecil?" senyum jahat terukir jelas di wajah laki-laki yang sangat Nana benci itu.
Nana mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak dengan ayahnya, tapi ayahnya justru mendekat kearah Nana dengan langkah yang lebih cepat.
"Berhenti mundur Nana," kata Devli.
"Apa maksudmu? Aku bisa habis jika berhenti," balas Nana.
"Kau bicara dengan siapa? Dasar anak aneh." ayah Nana terus berjalan mendekat. "Dimana teman setanmu itu? Dia tidak ada untuk melindungimu karena ini bukan malam hari?"
Devli sudah tidak tahan dengan situasi ini, "Nana, aku akan keluar."
Devli keluar dari bayangan Nana, menjelma menjadi bayangan hitam yang besar dan mengerikan. "Kita bertemu lagi, manusia bodoh," sapa Devli.
"K-kau?!" nyaali ayah Nana menciut ketika melihat Devli, apalagi wujud yang ia lihat kali ini lebih mengerikan dari yang semalam.
"Sepertinya kau sudah bosan hidup ya?" tanya Devli sambil menunjukkan tampang iblisnya. "Dan siapa bilang aku tidak bisa melindunginya karena ini bukan malam hari?"
Keringat dingin membasahi sekujur tubuh ayah Nana seperti tadi malam, badanya gemetaran hebat. Ayah Nana segera berbalik badan untuk kabur, namun Devli lagi-lagi tidak membiarkan hal itu terjadi. "Kau mau kemana hah?!"
Devli berpindah tempat, sekarang ia berada tepat didepan ayah Nana. Wajahnya menjadi pucat ketika melihat wajah Devli dari dekat. "K-kau mau apa?"
"Memberimu pelajaran kecil karena mencoba menyakiti Nana lagi," bisik Devli. Devli langsung mencekik leher ayah Nana dan mengangkatnya ke udara.
"AKHH...LEPASKAN AKU?!" ayah Nana meronta-ronta agar bisa lepas, namun usahanya sia-sia karena yang ia lawan bukanlah manusia.
"Melepaskanmu? Hmm... Nana, apa aku harus melepaskannya?"
"Aku mohon lepaskan aku, aku janji tidak akan menyakitimu lagi, akhh... aku mohon," ayah Nana terus memohon.
Nana mengingat semua yang ayahnya lakukan terhadap ia dan ibunya. Sudah lama ia menantikan hari dimana ia bisa membalas perbuatan ayahnya dan itu adalah hari ini. Nana tidak ingin melewatkan kesempatan ini, "Jangan terburu-buru, Dev. Kau bisa menyiksanya dulu sesuka hatimu."
Ayah Nana terbelalak mendengar apa yang Nana katakan barusan, ia sungguh tak percaya anak yang selalu ia siksa kini balas dendam kapadanya. "Dasar anak tidak berguna!"
Devli langsung memperkuat cekikannya, hal itu membuat ayah Nana semakin sulit bernafas. "Sebaiknya kau bersiap, karena ajalmu semakin dekat." kata Devli. "Nana, tutuplah matamu. Aku tidak mau membuatmu takut dengan apa yang akan terjadi."
"Apa yang akan kau lakukan Dev?" tanya Nana penasaran.
"Memisahkan kepala dan tubuhnya." jawab Devli.
"Benarkah? Kalau begitu cepat lakukan, aku ingin melihatnya!" seru Nana senang.
"Kau yakin ingin melihatnya? Ini akan sangat menakutkan," Devli berusaha memperingatkan Nana.
"Aku yakin. Aku tidak takut dengan apapun, termasuk melihat pembunuhan yang sangat sadis sekalipun."
"Baiklah, aku harap kau tidak akan menyesali keputusanmu ini."
Devli terus memperkuat cekikannya, sampai membuat wajah ayah Nana memerah. Sampai pada akhirnya leher ayah Nana putus, kepalanya menggelinding kearah kaki Nana. Nana memandangi kepala ayahnya yang sudah terpisah dari tubuhnya itu, kemudian mengambilnya dengan hati-hati.
"Semoga kau mendapat hukuman yang setimpal di neraka," ia kemudian membuangnya ke tempat sampah.
"Kau benar-benar tidak takut?" tanya Devli heran.
Nana menggelengkan kepala, ia kemudian teringat akan sesuatu. "Astaga, Dev! Aku terlambat!"
"Tenanglah. Pegang tanganku, aku akan membawamu kesekolah tepat waktu." kata Devli sambil mengulurkan tangan. Nana menyambut uluran tangan itu. Setelah itu mereka menghilang.
Nana dan Devli muncul di toilet sekolah, "Kenapa harus di toilet sih, Dev?" omel Nana.
"Hanya ini tempat paling aman untuk muncul tiba-tiba seperti ini." jelas Devli.
"Ya, ya, terserah apa katamu." Nana keluar dari toilet dan langsung menuju kekelas sebelum pelajaran dimulai, sementara Devli langsung masuk ke bayangan Nana.