Chapter 5 - Bab 4

Nana keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Ia memutuskan untuk keramas karena merasa rambutnya sudah kotor. Saat Nana melewati dapur, ia melihat dua porsi bekal sudah siap dan terlihat sangat menggiurkan.

"Hmm, keliatannya enak nih," Nana sampai ngiler ketika melihat masakan ibunya itu.

"Eeehh, ganti baju dulu baru sarapan," perintah ibu Nana.

"Iyaaa ibuku tersayang."

Nana kembali kekamar untuk ganti baju dan segera kembali kedapur untuk sarapan. Ia tak sabar untuk mencicipi masakan dari chef paling hebat didunia itu, menurutnya.

"Nana," panggil ibu pelan.

"Iya, bu?"

"Kamu ngerasa ada yang aneh nggak?"

"Aneh? Aneh gimana bu?" jawab Nana dengan nada bingung.

"Malam ini ayahmu tidak kelihatan batang hidungnya, ibu bahkan tidak mendengar suaranya sama sekali." ucap ibu sambil melahap sarapannya.

Jantung Nana serasa berhenti berdetak ketika mendengar perkataan ibunya barusan. Ibunya mulai curiga kenapa ayahnya tidak pulang. Nana jadi ingat kejadian siang itu, ketika Devli membunuh ayahnya dan dia membuang kepalanya ke tempat sampah.

"Na-nana tidak tau, bu." Nana mendadak gugup.

"Kau yakin tidak tau, Nana?" ibu memasang tatapan tajamnya.

Nana semakin gugup ketika melihat tatapan ibunya, ia bingung harus menjawab apa. Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. Nana sudah siap dengan semua kemungkinan yang akan terjadi.

"Anu...sebenarnya..."

"Ada apa?"

"Sebenarnya...ayah sudah...."

"Sudah apa?" tanya ibu penasaran.

"Ayah sudah meninggal dan Nana yang membunuhnya." terang Nana. Setelah itu ia menangis tersedu-tersedu. "Maafkan Nana, maafkan Nana..."

"Sudah ibu duga," ibu mengembuskan nafas pelan. "Ibu senang kau mengatakannya langsung, jadi ibu tidak perlu mendengarnya dari orang lain."

Nana terkejut, ternyata ibunya tidak memarahinya. "I-ibu nggak marah?" tanya Nana sambil menyeka air matanya.

"Marah? Kenapa harus marah? Ibu justru senang laki-laki sialan itu tiada." jawab ibu sambil memakan sarapannya. "Tapi ibu tak yakin Nana melakukannya sendiri."

"Itu..."

"Pasti ada yang membantumu kan? Dan ibu tebak dia bukan manusia."

"Eh, kok ibu tau?" tanya Nana kebingungan.

"Itu makhluknya dibelakang kamu," kata ibu sambil melihat kearah belakang Nana.

Nana langsung menoleh dan ternyata Devli sedang berdiri tegak dibelakangnya. "Dev?"

"Eh tunggu, kok ibu bisa liat Devli sih?"

"Oh, jadi namanya Devli." sahut ibu Nana santuy.

"Ibuu, jawab dulu pertanyaan Nana."

"Nana tau nggak darimana kemampuan Nana yang bisa liat makhluk hasul eh halus berasal?" tanya ibu.

"Enggak," jawab Nana sambil menggeleng.

"Ya dari ibu lah, jadi jangan heran kalau ibu juga bisa lihat Devli. Senang bisa bertemu dengan mu, Devli."

"Aku juga senang bertemu dengan Anda lagi, Nyonya Miguelle," balas Devli sopan.

"Dev, nama ibuku itu Sarah bukan Miguelle, dan apa maksudmu dengan kata lagi?"

"Nana, sebaiknya kamu segera siap-siap, nanti terlambat."

"Yaudah deh," Nana beranjak dari kursinya dengan rasa penasaran mengenai ibunya dan Devli.

"Jadi, kau akhirnya memilih Nana?" tanya Sarah sambil menyiapkan bekal yang akan dibawa Nana.

"Ya begitulah, aku merasa tertarik dengan putri kecil Anda."

"Kenapa Nana?"

"Dia itu anak sangat pemberani dan mungkin bisa dibilang sedikit kejam, sangat mirip dengan Anda dulu."

"Tentu saja mirip dengan ku, dia itu anakku. Apa dia terlihat ketakutan ketika melakukan hal itu?"

"Tidak, dia justru terlihat senang ketika mendengar ayahnya akan dihabisi. Tak hanya itu, dia bahkan mengambil kepalanya dan membuangnya ke tempat sampah." jelas Devli.

"Benarkah? Hahaha, dia itu sangat mirip denganku."

"Oh ya, bagaimana kabar Anda? Sudah sangat lama tidak berjumpa." tanya Devli.

"Apa kau merindukan ku, Devli?"

"Anda bisa memanggilku Dev, aku lebih nyaman dengan panggilan itu."

"Baiklah, Dev. Apa kau suka dengan nama barumu?"

"Sangat suka. Apalagi yang memberikannya adalah penerusmu, adalah suatu kebanggan bagiku." kata Devli. "Akankah Anda kembali?" sambungnya.

"Aku belum memikirkan soal itu, ditambah sekarang ini aku punya seorang putri kecil yang tumbuh dengan budaya manusia."

"Begitu ya," sahut Devli singkat.

"Dev, ayo berangkat. Dan ibu, bekalku udah siap kan?"

"Udah dong, ini." Sarah memberikan dua buah kotak makan siang kepada Nana.

"Makasih ibu, Nana berangkat dulu ya." setelah itu ia mencium pipi kanan dan kiri ibunya secara bergantian.

"Aku juga mau dicium dong," goda Devli.

Bukannya ciuman yang mendarat di pipi, Devli justru mendapat sebuah pukulan keras yang menghantam dagu dan membuatnya terjengkal kebelakang. Sarah sampai melongo ketika melihat kelakuan putrinya itu.

"Jangan aneh-aneh ya," ancam Nana.

"Bagaimana mungkin kau bisa memukulku?" tanya Devli sambil mengusap-usap dagunya yang terasa sakit.

"Eh, iya juga. Kok bisa ya?" Nana memandangi kepalan tangannya. "Tapi yaudah si."

"Eh, kalian malah berantem."

"Devli tuh."

"Udah, udah, sekarang Nana mending berangkat sekolah biar nggak terlambat."

"Iya, Nana berangkat dulu ya." Nana melambaikan tangan sambil pergi meninggalkan ibunya.

"Dev, jaga Nana ya?"

"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu," Devli kemudian menghilang tiba-tiba, seperti dia.

Nana mengemasi buku-bukunya, setelah itu ia mengeluarkan bekalnya. Disaat yang bersamaan muncul Karla yang entah datang dari mana.

"Punyaku mana?" seru Karla tiba-tiba.

"Astaga, kaget aku. Ada didalam tas, kamu duduk dulu gih."

Karla menuruti perkataan Nana, ia kemudian duduk disamping Nana. Beberapa saat kemudian Nana memberikan bekal pesanan Karla, "Nih punyamu, dibuat khusus oleh chef terhebat didunia." canda Nana.

"Hemm, baunya enak." Karla membuka kotak makan siangnya, ia langsung menyantap bekal yang dibawakan Nana.

"Eeh, Karla, berdoa dulu."

Karla langsung menghentikan suapannya ketika mendengar ucapan Nana. "Oh iya, lupa hehe."

Mereka berdau kemudian berdoa bersama, setelah selesai berdoa barulah mereka menimati bekal makan siangnya asing-masing. Makan siang Nana dan Karla terganggu ketika seorang teman mereka datang.

"Heh Karla, ngapain kamu bergaul sama orang miskin itu? Malu-maluin aja, mending temenan sama aku aja." ejek Viola. "Dan, kalian makan apa sih? Kok aku nggak pernah liat di restoran ya?" sambungnya.

Karla geram mendengar ejekan Viola, ia berdiri dari tempat duduknya dan membalas ejekan Viola. "Viola, jaga omongan kamu ya. Kalau nggak aku-"

"Kalau engga kenapa? Kamu bakal apa?" sela Viola. Ia menatap Nana sekilas kemudian pergi.

"Viola..." Karla menatap kesal kearah Viola yang sudah pergi menjauh.

"Karla sudahlah, tidak perlu marah begitu. Viola pasti hanya bercanda, jangan dimasukkan ke hati." ucap Nana sambil menarik tangan Karla pelan agar ia duduk kembali. Mereka melanjutkan makan siang sampai selesai.

Saat Viola menatapnya, Nana merasa ada yang aneh. Tatapan Viola terasa berbeda baginya.

'Ada apa?' suara Devli tiba-tiba muncul dikepala Nana.

'Eh, kau dimana Dev?'

'Aku ada dimana-mana.' jawab Devli bercanda.

'Hishh. Aku merasa ada yang aneh dengan tatapan Viola.'

"Nana, apa jawabannya?" tanya Pak Reno ke Nana.

"Eh, iya, apa pak?"

"Kamu itu daritadi bengong aja, ada masalah apa?"

"Engga kok pak," sahut Nana.

"Bener?" tanya Pak Reno memastikan. Nana mengangguk menangggapi pertanyaan Pak Reno.

"Yasudah kalau memang kamu tidak mau cerita, sekarang fokus ke pelajaran."

'Makanya fokus, bukan malah bengong,' ejek Devli.

'Berisik kamu Dev." sahut Nana kesal.