PRANK!
Nana terbangun dari tidurnya, ia mendengar ada suara berisik dari dapur, seperti suara piring jatuh. Ia segera turun ke bawah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Sesampainya di dapur, ia melihat sesosok pria. Ya, Nana kali ini yakin jika yang ia lihat adalah seorang pria, bukan bayangan atau yang lainnya. Pria itu sedang duduk di kursi meja makan, tepat menghadap Nana.
Nana tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena keadaan sangat gelap saat itu dan Nana tidak tahu dimana saklar lampunya. Tapi Nana bisa melihat sorot mata pria itu sangat tajam, manik matanya berwarna ungu dan menyala dalam kegelapan. Nana menduga pria itu mengenakan jubah, terlihat dari bentuk kepalanya yang seperti sudut sebuah segitiga.
"Kamu yang menjatuhkan piring?"
Pria itu diam, dia sama sekali tak merespon pertanyaan Nana. Ia terus memandangi Nana tanpa berkedip, beberapa saat kemudian ia berdiri dan menghampiri Nana. Pria itu berjongkok di depan Nana, kemudian meletakkan tangannya di pundak Nana.
"Le fils du père est grand," pria itu tersenyum simpul kemudian pergi.
"Apa maksudnya?" Nana melamun memikirkan kata-kata pria itu. Lamunan Nana seketika buyar ketika ada yang memanggil namanya.
"Nana? Kamu ngapain disitu?" kata Miguelle sambil menyalakan lampu, "Kamu bangun gara-gara denger suara berisik dari dapur ya?"
Nana mengangguk, ia kemudian berjalan mengelilingi dapur untuk mencari dimana piring itu jatuh. Setelah berkeliling, Nana menemukan ada piring yang pecah disalah satu sudut dapur, "Ternyata ada piring pecah."
Nana berjongkok untuk membereskan pecahan piring itu, tapi Miguelle segera menghentikannya.
"Eehh, biar Ibu yang beresin, kamu duduk manis aja ya," ucap Miguelle lembut. Nana menuruti perkataan Ibunya itu, ia langsung duduk di salah satu kursi.
Setelah selesai membersikan pecahan piring, Miguelle mengantar Nana kembali ke kamarnya untuk tidur lagi.
*****
Sinar mentari menyambut datangnya pagi, Nana bangun dan berjalan menuju jendela. Ia membuka tirai jendela dan membiarkan sinar matahari masuk. Matahari di Ethudan terasa berbeda bagi Nana, pancaran sinarnya tidak seterang di Bumi, tapi Nana tidak mempermasalahkannya.
Nana segera masuk ke kamar mandi untuk mandi, ya iyalah mandi, ya kali mau belanja. Setelah selesai mandi dan berganti baju, ia turun ke bawah untuk sarapan.
"Selamat pagi , Bette," sapa Nana.
"Selamat pagi, Nana," sahut Bette.
"Ibu mana? Kok nggak keliatan?" tanya Nana sambil duduk di kursi.
"Oh, Nyonya belum turun dari tadi, mungkin sedang bersiap-siap," jawab Bette dengan senyuman, Nana hanya mengangguk menanggapi jawaban Bette.
Tak lama kemudian Miguelle turun dan langsung duduk disebelah Nana, "Pagi, sayang. Gimana tidur kamu?" Miguelle kemudian mengecup kening Nana.
"Nyenyak banget, kasurnya empuk," sahut Nana sambil tersenyum, "Oh ya bu, Nana mau minta sesuatu boleh nggak?"
"Boleh, minta aja," jawab Miguelle santai.
"Nana pengen ketemu sama Ayah, Ibu mau nggak anter Nana ke makam Ayah?"
Miguelle menoleh ke arah Nana, "Pasti mau dong, habis sarapan kita kesana, oke?"
Nana mengangguk semangat, ia dan Miguelle kemudian sarapan dengan tenang. Memang sudah menjadi kebiasaan mereka berdua untuk sarapan tanpa suara. Selesai sarapan Nana langsung keluar untuk menghirup udara segar, sekali lagi Nana merasakan udara di Ethudan berbeda dengan udara di Bumi.
Nana memutuskan untuk mengelilingi rumah orang tuanya itu yang ternyata sangat luas. Di bagian belakang rumah terdapat taman bunga dengan gazebo berwarna putih ditengahnya, pemandangan yang memanjakan mata. Nana berjalan ke arah gazebo sambil sesekali menghirup nafas panjang.
Nana duduk di gazebo, mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru taman untuk memuaskan matanya. Nana merasa nyaman berada disini, ia tidak mau beranjak dari tempatnya duduk saat ini.
"Nana, jadi ketemu sama ayah tidak?" tanya Miguelle yang sudah berada di belakang Nana entah sejak kapan.
"Eh Ibu, Nana kaget tau," omel Nana.
"Iya maaf, jadi?" tanya Miguelle sekali lagi.
"Jadi dong, ayo berangkat!" seru Nana bersemangat.
Nana dan Miguelle pergi dari taman itu, sebelum pergi Miguelle berpesan kepada Bette untuk menjaga rumah karena ia dan Nana akan pergi ke makam Rolfe. Setelah itu barulah mereka berangkat menuju makam Rolfe Wilxes sambil berkeliling Ethudan.
Di sepanjang perjalanan Miguelle dan Nana menjadi pusat perhatian para Eethudian. Beberapa dari mereka bahkan rela mengehentikan pekerjaannya hanya untuk memberi hormat kepada Miguelle.
"Disini Ibu begitu disegani dan dihormati, semua orang mengenal Ibu, walaupun begitu Ibu tidak sombong dan tidak gila hormat," kata Nana kagum, "Aku ingin menjadi seperti ibu ketika sudah besar nanti."
"Seperti Ibu? Maksudmu kejam dan tak berperasaan?"
"Kejam? Ayolah, Ibu nggak keliatan kejam sama sekali," kata Nana sambil memutar bola matanya.
"Ibu itu kejam lho...cuma nggak pernah Ibu tunjukkin ke kamu," jawab Miguelle.
"Oh ya? Kalau gitu, Nana mau liat seberapa kejamnya Ibu," tantang Nana.
"Sebaiknya kau tarik kembali ucapanmu itu Nana, tidak ada seorang Ethudian pun yang mau melihat kekejaman 13 petinggi Ethudhan," sahut Devli yang tiba-tida ada dibelakang Nana. Nana sudah tidak terkejut lagi, ia mulai terbiasa dengan kebiasaan Devli yang satu ini.
"Emang Ibu itu sekejam apa?" tanya Nana penasaran.
"Nyonya Miguelle pernah menghabisi seisi desa tanpa ampun, bahkan anak-anak sekalipun. Setelah itu dia menggunakan darah mereka untuk memberi warna pada gaunnya dan satu lagi, dia melakukannya seorang diri," terang Devli.
Nana sedikit merinding ketika mendengar kata 'bahkan anak-anak sekalipun', bagaimana pun juga anak-anak itu pasti tidak paham apa-apa. "Ibu, apa yang Dev katakan itu benar?"
"Iyap, benar sekali. Jangan kaget kalau Ibu juga menghabisi anak-anak karena mereka pasti akan membalas dendam jika tidak langsung dihabisi," jelas Miguelle. Nana tak menyangka jika Ibunya sekejam itu dan ia yakin jika masih ada sisi lain Ibunya yang belum ia ketahui.
"Oh iya bu, kalau Ayah Nana sudah meninggal, terus orang yang selama ini tinggal sama kita siapa?" pertanyaan itu seketika terlintas dipikiran Nana.
"Itu, dia cuma manusia sampah yang Ibu pake buat penyamaran di Bumi," jelas Miguelle singkat.
Setelah berjalan selama 30 menit, mereka bertiga akhirnya sampai juga di sebuah pemakaman. "Ethudian Hero Grave Garden" begitulah yang tertulis di plang yang ada di pintu masuk makam.
"Ayo masuk," ajak Miguelle.
Mereka bertiga kemudian masuk ke dalam, menuju ke makam Ayah Nana. Miguelle berhenti di salah satu makam, diatas batu nisan makam itu tertulis sebuah nama, Rolfe Wilxes. Tak hanya itu, disana juga ada foto terakhir Rolfe sebelum meninggal. Nana mengamati foto itu lekat-lekat, ia merasa tak asing dengan wajah itu.
'Aku yakin ini kali pertama melihat wajah Ayah, tapi kenapa aku merasa tidak asing?' batin Nana. Ia terus mengamati foto Ayahnya itu, pandangannya tak lepas sedetik pun dari foto itu. Setelah beberapa saat mengamati, ia sadar akan satu hal, mata Ayahnya mirip dengan pria yang ia temui tadi malam!