Nana berjalan menuju ke dapur sambil membawa tasnya dengan tergesa-gesa. Hari ini dia bangun kesiangan, mungkin karena kelelahan tidurnya terasa jadi lebih nyenyak. Setelah duduk ia langsung memakan sarapannya dengan buru-buru. Miguelle sudah memperingatkan Nana agar pelan-pelan tapi Nana tidak menghiraukannya. Setelah selesai sarapan Nana langsung menyambar tasnya dan berlari keluar.
Miguelle memanggil Nana yang belum jauh dari rumah, "Nana, sini dulu!" teriak Miguelle.
Nana yang mendengar itu langsung menghentikan langkahnya dan berbalik badan, "Apa lagi Bu? Nana udah terlambat ini," Nana berjalan ke arah rumah dengan langkah malas. Ia bingung kenapa Miguelle memintanya untuk berbalik padahal ia yakin kalau sang Ibu tau bahwa ia sudah terlambat.
"Kamu tunggu sini dulu, sebentar lagi jemputan kamu dateng."
"Jemputan? Ibu jangan bercanda deh, Nana udah telat ini," keluh Nana.
"Sshh, kamu diem dulu."
Nana tidak menjawab lagi, ia diam menuruti perkataan Miguelle. Walau begitu hatinya tetap tidak tenang, 15 menit lagi bel masuk berbunyi, sedangkan butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke sekolah dengan berjalan kaki. Nana benar-benar tidak bisa tenang sekarang ini.
Beberapa menit kemudian sebuah mobil Mercedes-Benz tipe C-Class berwarna hitam berhenti didepan Nana dan Miguelle. Dari dalamnya keluar pemuda tampan yang menggunakan setelan berwarna hitam. Kulitnya berwarna kuning langsat, rambutnya hitam legam dan sedikit mengkilap–mungkin efek dari pomade yang ia gunakan–, ia terlihat ramah dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Nana menebak pria itu berumur awal 20-an.
"Ayo Nana, kita berangkat," kata pria tampan itu.
"Eh, kau tau namaku?" Nana sedikit terkejut ketika pria itu tahu namanya.
Pria itu tersenyum kepada Nana, kemudian menunjuk name tag yang terpasang di dada sebelah kirinya. Disitu tertulis nana "Devli" menggunakan huruf kapital. Nana kaget ketika melihat nama yang tertera di name tag itu, sedikit tak percaya kalau yang ada dihadapannya saat ini adalah Devli.
"Dev? Itu kau?" Nana menghampiri Devli "tampan" yang sedang berdiri di dekat mobil. Ia mencoba mencubit pipinya, namun itu bukanlah hal mudah karena Devli jauh lebih tinggi dibanding Nana. Setelah berhasil meraih pipi Devli, Nana langsung mencubitnya untuk memastikan apakah dia asli atau hanya sebuah ilusi.
Beberapa kali Nana mencubit Devli, tak hanya di pipi tapi juga di hidung, lengan dan bagian lainnya, tetap tidak ada perubahan yang terjadi. Akhirnya ia percaya kalau itu memang asli.
"Astaga, bagaimana mungkin makhluk menyeramkan itu bisa berubah menjadi pria tampan?" gumam Nana sambil memalingkan wajah.
"Kau memanggilku apa? Makhluk menyeramkan?" masing-masing sudut mata dan bibir Devli tertarik ke atas, membuat wajah "Tuan Tampan" berubah drastis. Kedua matanya menjadi merah menyala dan di mulutnya yang melebar keluar gigi tajam yang siap untuk mengoyak apapun. Nana jadi ngeri melihatnya.
"Eh, tidak tidak," Nana nyengir ketika berusaha mengelak, "Bisakah kau kembali ke mode "Tuan Tampan" mu? Aku lebih nyaman dengan wajahnya itu."
Devli langsung mengubah wajahnya kembali seperti tadi, sang Tuan Tampan. Dengan senyum di wajahnya, Devli kemudian membukakan pintu untuk Nana. Sebelum masuk ke mobil, Nana terlebih dahulu berpamitan kepada Miguelle. Walaupun sedang diburu waktu atau apapun, berpamitan kepada orang tua sebelum pergi adalah hal utama. Setelah itu barulah Nana masuk ke mobil dan berangkat menuju sekolahnya.
****************
Nana langsung turun dari mobil ketika sampai di parkiran sekolah. Beruntung bel masuk belum berbunyi ketika Nana sampai di kelas. Ia langsung meletakkan tasnya di kursi dan menyiapkan buku untuk mapel jam pertama.