Sepanjang perjalanan menuju kelas, Nana terus memikirkan sikap Viola belakangan ini. Ia yakin tidak pernah mencari masalah dengan Viola. Jangankan bertengkar, bertegur sapa saja hampir tidak pernah. Karla yang sedari tadi mengoceh tentang kehidupannya tidak sadar kalau Nana sama sekali tidak mendengarkan.
"Jadi gitu," Karla mengakhiri ceritanya. Ia menoleh ke samping untuk melihat reaksi Nana, "Menurut kamu gimana?"
Nana diam tak menghiraukan Karla, pikirannya masih dipenuhi dengan Viola.
"WOI!!" teriak Karla membuyarkan lamunan Nana.
"Eh iya gimana apa??" sahut Nana gelagapan.
"Kamu dengerin ceritaku ngga sih?"
"Cerita? Emang kamu cerita apa?"
"Hfftt, tuh kan ngga denger. Kamu ngelamunin apa sih?" Karla memasang tampang kesalnya. Sudah capek cerita sampai bibirnya monyong 7 senti eh malah ngga didengerin, kan sebel.
"Engga kok, bukan apa-apa," jawab Nana sambil memaksakan senyum.
"Ah masa?"
"Iya, aku ngelamun itu... ya karena nikmat aja."
"Ilih... tapi emang sih, ngelamun itu nikmat hehe," Karla tidak menyangkal pernyataan Nana, karena melamun itu memang nikmat tiada duanya:v
Sesampainya dikelas, Nana langsung duduk di kursinya begitu juga dengan Karla. Ia menyiapkan buku untuk mata pelajaran setelah ini. Sambil menunggu kelas dimulai, Nana kembali melamun.
"Ngelamun aja terus, kalau kesambet baru tau rasa," suara Devli kembali terdengar di kepala Nana.
"Ssttt... berisik ah. Lagian mana bisa aku kesambet."
"Dih, bisa lah, kenapa ngga?"
"Ckck, kan udah ada kamu yang nempatin," sahut Nana singkat.
"Lah iya, mana ada setan rendahan yang berani sama aku mwahahaha!!"
"Dih sombong amat."
Tak lama kemudian Bu Indar, guru IPS, masuk kelas. Nana langsung menegakkan posisi tubuhnya yang sebelumnya membungkuk sambil bertopang dagu.
"Selamat siang, Anak-anak," sapa Bu Indar sambil meletakkan tumpukan buku di meja.
"Selamat siang, Bu!" para siswa menjawab sapaan Bu Indar serempak.
"Oke, hari ini kita lanjutkan materi kita kemarin, yaitu tentang negara-negara ASEAN."
****************
Pelajaran hari ini selesai lebih cepat dari biasanya, entah itu hanya perasaan Nana atau memang begitu adanya. Nana mengemasi alat tulisnya lalu memasukkannya ke dalam tas. Setelah itu ia mengambil sapu yang ada di belakang kelas.
Hari ini Nana memang ada jadwal piket dan dia harus melaksanakan kewajibannya itu sebelum pulang. Disini ia sekolah secara gratis, jadi apa susahnya sih piket sebentar? Toh paling cuma butuh 15 menit atau bahkan kurang.
Nana satu regu piket dengan Karla, Viola, Danil, dan Fiko. Semuanya melaksanakan piket ini dengan penuh tanggung jawab dan tanpa beban, kecuali satu orang, Viola. Dari wajahnya saja sudah terlihat kalau dia sangat enggan dengan hal ini.
"Biola, piketnya yang niat dong!" tegur Fiko.
"Namaku Viola, bukan biola!" teriak Viola dengan nada kesal.
"Ck, sama aja. Piketnya yang bener napa? Ngga selesai-selesai ntar," omel Fiko.
"Heh, ya bodo amat. Kalian berempat harusnya udah cukup buat bersihin kelas kecil kaya gini, ngapain aku harus turun tangan?" ucapnya ketus.
Nana, Karla, dan Danil yang melihat perdebatan itu hanya saling pandang dan menghela napas pelan. Fiko dan Viola memang tidak pernah akur, sifat keduanya yang keras kepala lah penyebabnya.
"Sshh, kalian berdua bisa ngga sehari aja ngga ribut?" Danil mulai angka bicara,"Fiko, kamu ngapain coba ngurusin Viola? Ngga penting."
"Tuh dengerin!" kata Viola penuh kemenangan.
"Kamu juga Viola, apasih susahnya piket? Lagian kamu sekolah disini juga gratis kan? Kalau ngga mau piket, pindah sekolah aja sana, kita ngga keberatan kok," omel Danil.
Sifat Danil yang biasanya tenang dan pendiam kini berubah seratus delapan puluh derajat. Sepertinya ia juga mulai terusik dengan sikap Viola.
"Duh, Danil udah sampai ngomel," bisik Karla ke Nana.
"Huum, setahuku Danil itu orangnya ngga peduli sama masalah kaya gini, tapi hari ini...." balas Nana sambil berbisik juga.
Viola terkejut dengan sikap Danil barusan, terutama kata-katanya. Ini pertama kalinya ia dibentak oleh orang, terlebih lagi orang itu adalah Danil. Di sekolah ini bukanlah rahasia lagi kalau Viola menyukai Danil. Namun sikap Danil yang tak acuh tak membuatnya tak berani untuk menyatakan rasa, jadi Viola mengungkapkannya melalui perlakuannya terhadap Danil. Perlakuan yang diberikan Viola bisa dibilang berlebihan, hal itulah yang membuat murid lain tahu kalau Viola ada rasa terhadap Danil.
"D-danil... m-maksud kamu apa?" ucap Viola terbata-bata. Raut wajahnya kini menjadi sedih.
"Maksudku, kalau kamu ngga mau menjalankan kewajiban sebagai siswa disini, yaudah pindah aja," tegas Danil.
Hati Viola benar-benar sakit karena ini, hanya karena masalah piket saja Danil sampai bisa membentaknya.
"Cukup!" Viola sudah tak tahan lagi. Ia membanting sapu yang dipegangnya lalu berlari keluar sambil menangis tersedu-sedu.
"Berasa liat film romantis ya, tapi ini versi live action," celetuk Karla.
"Hush, kamu tu ya bisa-bisanya bilang kaya gitu, tapi iya juga sih," sahut Nana sambil menahan tawa.
Fiko yang sedari tadi melihat adegan ini hanya diam di tempat, sama sekali tak bersuara. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Fiko tak menyangka kalau situasinya akan jadi seperti ini. Suasana kelas menjadi sangat canggung sekarang ini.
"Anu... aku masih ada kegiatan sepulang sekolah, jadi bisa kita lanjutin piketnya?" Nana berusaha memecahkan keheningan dan kecanggungan yang terjadi.
"Oh ya, ya, kebetulan aku juga ada kursus piano, jadi ngga bisa lama-lama disini," sahut Danil.
Empat orang yang tersisa segera melanjutkan pekerjaan masing-masing. Nana dan Fiko menyapu ruangan, Karla membersihkan debu, sementara Danil membersihkan papan tulis dan merapikan meja kursi.
Pekerjaan ini terasa lebih cepat selesai tanpa kehadiran Viola. Terdengar sedikit jahat memang, tapi itulah kenyataannya. Setelah semuanya beres, Nana dan yang lainnya mengambil tas masing-masing dan pergi meninggalkan ruang kelas.
Di gerbang, sebelum Danil naik mobil ia berbicara sebentar dengan ketiga temannya.
"Kalian bertiga, aku minta maaf soal tadi. Gara-gara Viola aku jadi emosi, kalian pasti ngga biasa sama aku yang emosian."
Fiko langsung merangkul Danil yang tak lain adalah teman sebangkunya,"Santuy aja bro, mending di ungkapin kaya tadi daripada disimpen sendiri, malah ngga baik."
"Iya, bener tuh apa kata Fiko," sahut Karla,"Jujur aku juga suka emosi sama kelakuan Viola," sambungnya.
"Oh ya? Kenapa?" Danil jadi penasaran.
"Belakangan ini Viola sering gangguin aku sama Nana, aku ngga tau apa masalahnya," ujar Karla.
"Owh gitu, kedepannya mending kalian cuekin aja si Viola, nanti juga capek sendiri," saran Danil.
Nana dan Karla mengangguk bersamaan. Danil kemudian berpamitan dan segera masuk ke mobil. Setelah itu mobil yang ditumpanginya melaju pergi meninggalkan halaman sekolah. Tak lama kemudian jemputan Karla dan Fiko datang. Fiko langsung naik ke mobil, meninggalkan Nana dan Karla berdua.
"Kamu mau bareng aku?" tawar Karla.
"Tolak, aku diperjalanan mau jemput kamu," suara Devli muncul lagi di kepala Nana.
"Engga deh, aku jalan aja, sekalian olahraga hehe," tolak Nana halus.
"Serius ngga mau bareng?" tawar Karla sekali lagi.
"Iya, dua rius!" jawab Nana yakin.
"Oke deh, aku duluan ya, kamu hati-hati pulangnya," ucap Karla, setelah itu ia naik ke mobilnya.
"Siap!" Nana menjawab sambil hormat, seperti baru saja menerima pesan dari atasannya.
Sekarang hanya tinggal Nana seorang diri berada di halaman yang cukup luas, ditemani rumput-rumput yang bergoyang. Entah berapa lama lagi Devli akan sampai, Nana tak suka sendirian di tempat sepi.
"Masih lama?" tanya Nana.
"Bentar lagi sampai, sabar dong."
Ketika tengah asik menunggu, seseorang menepuk pundak Nana. Bulu kuduknya seketika berdiri. Suasana mendadak menjadi mencekam. Perlahan-lahan Nana menoleh ke belakang karena penasaran.
Ia mendapati Viola yang sedang berdiri dengan tatapan nanar. Ada yang aneh dengan Viola, seolah ini bukan dirinya, Nana bisa merasakannya.
Viola mengangkat tangan kirinya kemudian memukul leher Nana. Karena pukulan itu, Nana menjadi tak sadarkan diri. Viola lantas menyeretnya dari halaman, entah akan membawanya kemana.