"Hei bocah, bangunlah!"
Suara itu terdengar samar-samar di telinga Nana. Sesaat kemudian sebuah tangan menarik rambut Nana, membuatnya perlahan membuka mata. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Viola ada didepannya. Anehnya, ada semacam aura hitam yang menyelimutinya.
Nana mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Tempatnya berada sekarang sungguh tidak asing.
"Dimana ini?" ucap Nana pelan.
"Dimana? Kau tidak tahu ini dimana hah?" tanya Viola dengan nada kasar. Nana hanya menggeleng lemah.
"Coba lihat lagi!" Viola melepaskan rambut Nana dengan kasar.
"Hhh, bodoh."
"Apa kau bilang? Bodoh?"
"Tidak dengar ya? BODOH!!" seru Nana. Viola mulai naik pitam karena disebut bodoh, ia bahkan sampai menampar Nana.
"Bagaimana bisa aku melihat sekeliling kalau rambutku menutupi wajahku? Dasar bodoh, bodoh sekali," ucap Nana diiringi suara tawa kecil.
"Dasar bocah," Viola menyibakkan rambut yang menutupi wajah Nana. Setelah itu ia berbalik badan dan berjalan menuju ke meja yang tak jauh dari posisi Nana. Sekarang Nana tahu dengan jelas bahwa ia sedang berada di gudang dan dalam posisi terikat di kursi.
"Siapa kau?"
Pertanyaan itu berhasil menghentikan langkah Viola, "Kamu ngga kenal sama aku?" cara bicara Viola berubah.
"Kamu bukan Viola, siapa kamu?"
Viola berbalik menghadap Nana. Saat menatap mata Nana, ia terkejut karena mata kirinya sudah berubah warna. Ungu menyala, aura yang terpancar dari mata itu membuat Viola bergidik ngeri sampai mundur beberapa langkah.
"Ma, mata apa itu?" suara 'Viola' terdengar takut.
"Itu adalah mata khusus yang sangat langka, kalau kau bisa mendapatkannya maka kau akan menjadi sangat kuat," seorang pria misterius yang entah sejak kapan berada disudut ruangan mengatakan hal itu.
Nana dan Viola sontak menoleh ke sumber suara. Kehadiran pria misterius yang mengenakan jubah hitam membuat Viola bingung. Setahunya, tidak ada orang lain yang mengetahui hal ini.
"Benarkah?" tanya Viola.
"Apa untungnya aku berbohong kepadamu?" ujar pria itu tanpa beranjak dari posisinya.
Viola mengalihkan pandangannya ke Nana lagi, kali ini diiringi dengan senyum lebar. Perlahan-lahan ia mendekati Nana, tangannya sambil meraih sekop kecil yang ada di atas meja.
"M-mau apa kau?!" tanya Nana ketakutan.
"Mencongkel mata indahmu itu, aku mau memilikinya!"
"Me, mencongkel?? Kau gila? Cepat lepaskan aku!!" Nana mulai berontak, ia meronta-ronta dengan segenap tenaganya.
"Melepaskanmu? Tentu! Setelah aku membalaskan dendamku bocah sialan!" suara Viola benar-benar berubah sekarang, terasa lebih berat. Itu suara laki-laki!
"Tunggu dulu, suara itu..." suara Viola terdengar familiar bagi Nana, seperti bukan pertama kali bagi Nana mendengar suara itu.
"A-ayah? Bukan, monster! Kau adalah monster itu!" sekarang ia ingat suara siapa itu. Itu adalah suara orang yang setiap hari selalu menyiksanya, mencaci dengan kata-kata yang menyakitkan sampai membuatnya tak takut dengan apapun di dunia ini, kecuali kepadanya.
"Hohoho... sekarang kau mengenaliku? Ya, aku adalah ayahmu!" Viola ternyata sudah dirasuki oleh arwah 'Ayahnya'.
"Kau bukan Ayahku! Ayah ku adalah Rolfe Wilxes, dan kau hanya sampah tidak berguna!!" seru Nana tanpa rasa takut.
Pria yang sedari tadi berada di sudut ruangan menunjukkan reaksi tatkala Nana menyebutkan nama ayah kandungnya.
"Berisik!" Viola yang sudah geram langsung menusukkan sekop ke bahu kanannya.
"AAKHH!!" teriak Nana kesakitan.
Cairan merah bercucuran keluar dari bahu kanan Nana, membuat siapapun yang melihatnya pasti merasa ngilu. Sekop kecil yang digunakan pun dibiarkan menancap begitu saja, tidak dicabut lagi.
"Ssshh... sakit..." rintih Nana yang mulai kehilangan ritme napasnya,"Ibu... Devli... tolong aku."
"Tidak ada yang bisa masuk kesini, bahkan teman setan mu itu. Kau tahu kenapa?"
Nana tidak menjawabnya. Rasa sakit yang luar biasa dibahu kanannya membuatnya tak mampu banyak bicara.
"Karena tempat ini sudah dikelilingi oleh dinding gaib yang kuat, jadi tidak ada siapapun yang bisa menembusnya," jelasnya.
"Seki... sialan kau," ucap Nana.
"Waah, wah, semakin kurang ajar saja kau ini. Bahkan sudah berani memanggil ayahmu dengan sebutan sialan hah?"
"Sudah ku bilang, kau, bukan ayahku!" teriaknya dengan sekuat tenaga. Seki tertawa terbahak-bahak, tak tahu apa yang ia tertawakan.
Darah masih mengucur keluar dari sumber luka, membuat seragam putih yang Nana pakai seperti ketumpahan sirup rasa framboze. Bau anyir darah tercium dengan jelas.
Pandangan Nana mulai berkunang-kunang, sepertinya karena ia kehilangan banyak darah. Napasnya juga terasa sangat berat. Tubuhnya terasa sangat lemas, semua energinya seolah keluar dari tubuhnya.
"Hmm, anak dari si tua Rolfe ya? Kalau begitu, kau harus secepatnya mati!" pria itu mengeluarkan sebuah besi dengan ujung tajam dari balik lengannya.
"Sepertinya hari ini aku tidak terlalu beruntung ya," kata Nana.
"Ya... begitulah, tapi tenang saja, aku akan mengakhiri ketidakberuntunganmu itu hari ini," pria itu menarik besi nya kebelakang, bersiap untuk menghunuskannya ke Nana.
Kalau memang hari ini harus pergi, tak masalah. Sepertinya hari ini memang bukan hari baikku. Ucap dalam hati Nana sambil memejamkan mata.
Pria itu menusukkan besinya ke arah perut Nana. Saat hampir menyentuh permukaan kulit, seseorang datang dan menahan besi itu.
"Sayangnya hari ini belum waktumu Nana."
Nana langsung membuka matanya begitu mendengar suara itu. Ia sontak menoleh ke arah darimana datangnya tangan itu.
"Kak Zecher?"
Seorang pria tampan yang mengenakan setelan seorang pangeran sedang berdiri disamping Nana, ia juga tersenyum yang membuat ketampanannya semakin menjadi.
"Neo, kau berulah lagi," Zecher langsung mematahkan besi pria tadi yang ternyata bernama Neo.
"Siapa dia? Kenapa bisa masuk kesini?" tanya Seki kebingungan.
"Siapa kami bukanlah urusanmu, tapi perbuatanmu barusan adalah urusan kami," seorang perempuan tiba-tiba berbisik di telinga Seki, "Dan sebaiknya kau segera keluar dari tubuh gadis kecil ini," tambahnya.
Seki langsung berbalik badan ketika mendengar bisikan itu. Ia sampai mundur beberapa langkah karena terkejut. Begitu juga Neo dan Nana, mereka langsung mengalihkan pandangan.
"Kak Faila?"
"Yep, maaf ya kita telat," ucap Faila sambil tersenyum.
Energi yang terpancar dari Zecher dan Faila sungguh berbeda ketika berinteraksi dengan Seki & Neo dan dengan Nana. Terasa hangat saat berbicara dengan Nana, namun dingin dan mengerikan saat berbicara dengan Seki dan Neo.
"Faila, kamu urus mereka berdua, aku akan menolong Nana dulu," perintah Zecher.
"Kau memerintahku? Tapi okelah, ini demi Nana."
Zecher lalu memposisikan dirinya didepan Nana, "Tahan ya, ini bakal sakit."
Nana mengangguk paham. Zecher menggenggam gagang sekop kecil itu, ia kemudian dengan cepat mencabutnya dari tubuh Nana agar rasa sakitnya tidak menjadi lebih buruk. Setelah sekopnya tercabut Zecher langsung membuangnya kesembarang arah.
Sementara Zecher sibuk mengobati Nana, Faila justru bersenang-senang. Ia berhasil membuat Seki keluar dari tubuh Viola dan menghajarnya habis-habisan. Sedangkan Neo sudah melarikan diri, dia sempat terkena serangan Faila dan terluka cukup parah.
"Uhuk…uhuk, cukup, aku mohon cukup," mohon Seki dengan nada memelas.
"Maaf sekali, tapi kau memohon pada orang yang salah," Faila tersenyum miring menanggapi Seki.
Faila mengangkat salah satu tangannya. Sebuah cahaya berwarna hijau berputar-putar diatas tangannya, tak lama kemudian muncullah sebuah pedang kayu berukuran kecil.
"Dadah," Faila menusukkan pedang kayu itu ke kepala Seki.
Seki berteriak kesakitan. Seluruh tubuhnya terasa seperti disayat-sayat. Pedang itu ternyata menyerap jiwanya sedikit demi sedikit.
"Be, benda apa ini? Aaakhh..."
"Ini? Oh ini adalah satu mainan favorit ku, namanya pedang kayu penyegel," Faila memperdalam tusukannya, "Menggemaskan kan?"
"Me... mengerikan," ucap Seki terbata-bata.
Tanpa kata-kata lagi, Faila dengan kasar mencabut pedang penyegelnya dan menancapkan kembali dengan kasar. Membuat jiwa dari Seki hancur berkeping-keping dan kemudian semuanya terserap masuk ke pedang penyegel milik Faila.
"Dasar laki-laki, tidak bisa membuat wanita senang," keluh Faila. Ia berdiri lalu menghampiri Nana dan Zecher.
"Keadaan Nana gimana??"
"Dia ngga apa-apa, cuma kehilangan banyak darah. Gimana sama Neo dan Seki?"
"Neo kabur, tapi aku dapet mainan baru," Faila memamerkan pedang yang baru saja ia gunakan untuk menyegel Seki.
"Hfft, kamu ngga bisa ganti model kah? Itu pedang keliatan kuno dan lusuh banget, malu-maluin aja," ejek Zecher.
"Grrrr... berisik!!" Faila memukul kepala Zecher dengan tangannya yang menggunakan sebuah cincin. Cincin itu terhitung cukup besar, berhasil membuat kepala Zecher benjol besar.
"Aduhh...."