Chereads / A Trip Of Our Youth / Chapter 7 - Ide Gila

Chapter 7 - Ide Gila

Sepuluh menit kemudian, di atas meja ruang tengah Aruna sudah tersaji 2 mangkuk mie kuah yang aromanya tak usah diragukan lagi. Aruna sampai hampir tergoda untuk buat satu porsi lagi. Untung iman Aruna kuat, jadi ia bisa menahan nafsu duniawi dan mempertahankan jadwal makannya.

Waktu sudah menunjukan kira-kira pukul 9 dan sebagai pegiat body goals, makan di jam ini bisa dikategorikan sebagai dosa. Lagi pula, Aruna juga sudah makan tadi bersama ibunya.

Mereka bertiga duduk di lantai yang beralaskan karpet sambil mengelilingi meja berbentuk persegi panjang milik Aruna. Sengaja menyalakan TV agar suasana lebih hidup–walaupun tidak ditonton juga.

Setelah Sera dan Yora selesai makan dan cuci piring masing-masing, Aruna lalu mengeluarkan satu botol anggur berikut dengan gelasnya.

Ah, satu hal lagi yang membuat mereka berahabat, ketiganya sama-sama suka alkohol. Bukan seperti orang yang hobi mabuk-mabukan. Hanya sesekali untuk meringankan stress. Setdaknya begitulah yang diketahui orang tua mereka.

Sejauh ini sih–diantara mereka bertiga–baru Yora yang pernah lepas kendali. Untungnya teman-teman kampus Yora–yang waktu iitu jadi teman minumnya–berinisiatif menghubungi Aruna dulu sebelum benar-benar mengantarkan Yora ke rumahnya. Kalau sampai Herman dan Sonya tahu anak perawannya minum sampai mabuk berat, bisa-bisa kartu kredit Yora yang dikorbankan.

Aruna sampai menculik si bungsu Adit yang waktu itu masih kelas 11 guna membantunya membopong Yora–yang siapa tahu benar-benar tidak sadar. Maklum waktu itu Sera masih di Amerika dan Adhira kuliah di luar kota, jadi hanya Aditya yang bisa jadi emergency backup.

"Wah, ada acara mimi-mimi juga." Yora lalu menyambut gelas pemberian Aruna disusul Sera yang baru selesai merapikan dapur.

"It's been a while," jawab Aruna sambil membuka tutup botol winenya yang lalu ia tuangkan ke gelas ketiganya.

"Tunggu, ini kita nginep?" tanya Sera pada Yora yang sudah meneguk minumannya. Karna kalau iya, berarti Sera tidak bisa minum karna harus menyetir.

Yora lalu menjawab sambil mengangkat bahunya, "Terserah."

"Nginep aja," saran Aruna. "Udah malem juga."

"Oke!" Kalau gitu Sera bisa minum dengan tenang.

Mereka lalu kembali bersantai ria di ruang tengah apartemen. Sera dan Yora juga sudah berganti bawahan dengan celana pendek rumahan milik Aruna–walaupun atasannya tetap sama.

"Produk lu gak mau jadiin artis Korea brand ambassador gitu, Ra?" celoteh Sera setelah melihat salah satu iklan kopi di layar televisi. "Jangan mau kalah sama Neon Kopi sama Mie Sadap dong!"

"Jangankan artis Korea, yang sekelas Beyoncé gue bawa."

"Terus entar iklannya gimana? Love on bong-bong?" tanya Sera sembari menirukan lagu sang diva yang berjudul 'Love on Top', tapi lirik 'top'nya diganti 'bong-bong'.

"Bong-bong bukan produk gue, jir."

"Tap juga bukan produk lu."

"Iya juga sih."

"Gimana, Bu Bos? Jualannya lancar?" Kali ini Aruna yang bertanya.

"Overall, barangnya sih lancar. Cuman otak gue yang ngadat."

"Kenapa? Gak dapet mitra?" tanya Sera yang sekarang sudah aktif mengunyah keripik singkong.

"Itu mah bisa diserahkan ke bapake. Things like designing financial plans and strategies that stressed me out. Gak gue banget lah."

"Emang gak bisa minta pindah bagian gitu?" tanya Aruna lagi. "Mungkin kepala cabang masih terlalu berat buat lu."

"There's no place that I want in the company, to be honest."

"Bukan passion, Na." tambah Sera dengan nada yang dilebih-lebihkan.

"And how 'bout you?" tanya Aruna ke Sera. "Are you living your dream?"

"Well, I never set any specific goal in my life. Just live for today. Do whatever I want, in my right mind, of course."

"It would be fun if I could think the way you do." jawab Aruna sambil menegak minumannya.

Mereka mungkin tumbuh bersama, namun bukan berarti mereka punya cara pandang yang sama tentang bagaimana menjalani hidup. Tapi mungkin karena itu lah mereka dipertemukan. Untuk saling melengkapi, saling menyeimbangkan. Contohnya ya seperti sekarang ini.

"Kenapa lagi emang? Having your own gallery turns out not as satisfying as you expected? " tembak Sera pada Aruna.

Sera tahu punya tempat untuk karyanya sendiri adalah salah satu keinginan Aruna. Tapi, ya gitu. Kalau Sera orangnya santuy abis, beda lagi dengan Aruna yang overthinker. Ia selalu punya hal untuk dikhawatirkan. Hal yang menurut Sera gak penting-penting amat. Kalau isi pikiran Aruna bisa diedit, Sera sudah pasti langsung menghapusnya.

"I don't know. Just… I feel like people not enjoying my work."

"Dude, fck 'em. You did it for yourself." Yora mencoba menghibur.

"But art is made so that people can enjoy it." jawab Aruna lalu menghabiskan isi gelasnya yang langsung ia isi ulang lagi.

"Not everyone loves art. I have no interest in art."

Yora mengangguk sambil menunjuk Sera, menandakan setuju dengan perkataannya barusan.

Kembali Aruna menenggak minumannya dan menghela napas. "There's this man. I know him. He's a critic. He came to my place and just walked around to see my paintings. Do you know what he said?"

Jeda sejenak untuk melihat reaksi kedua temannya–yang sama-sama diam mengangkat alis, tanda bahwa mereka penasaran.

"He looked straight to a painting," Aruna mulai memperagakan si kritikus. Mengarahkan tubuhnya ke arah Sera yang duduk disebrang mejanya–seolah-olah itu adalah lukisannya–lalu menengokkan kepalanya ke kanan di mana Yora yang duduk di atas sofa berada. "Then he turned his face to me and asked 'Ini semua lukisan kamu?' I nodded."

Seolah tersihir dengan reka adegan yang Aruna lakukan, Yora pun menganggukan kepalanya juga.

"It's soulless." Aruna mengakhiri ceritanya dengan wajah datar–menirukan sang kritikus.

"What?! He said that?" Sera bereaksi dengan wajah heran yang diangguki Aruna yang kembali meminum anggurnya. "That critic probably shared the same brain with my boss." lanjut Sera sambil ikut menghabiskan minumannya.

Yora dan Aruna lalu tertawa mendengar perkataan Sera. "Bisa jadi!"

"But it's okay. Selera kan beda-beda." lanjut Sera.

"Agree." Yora menyetujui Sera lagi. "I mean, banyak yang tadinya gak suka karya Van Gogh, tapi setelah dia gak ada malah lukisannya jadi salah satu yang termahal di dunia."

Aruna lalu memasang ekspresi pura-pura terluka. "Did you just wish for my death?"

"Yeee, bukan gitu!"

Mereka lalu kembali tertawa. Tak lama Aruna kembali membuka topik.

"Hhhh… Butuh refreshing gue." kata Aruna sambil menyenderkan kepala ke sofa yang ada dibelakangnya.

"Sama." jawab Sera menanggapi.

"Rasanya pengen keliling dunia," ungkap Aruna.

"Sama." jawab Sera yang terdengar seperti dicopy-paste saja.

"Gue mau jadi sugar baby Pak Darwin." Kali ini Yora yang bicara. Sengaja mengetest Sera, masih fokus atau sudah setengah sadar.

"Sam–" eits, hampir aja. "Ih ogah itu mah! Lu aja sono."

Ada jeda sejenak. Seakan mereka ditarik ke alam pikiran masing-masing.

Kalau dipikir-pikir mereka memang pantas mendapat rehat. Istirahat yang bukan hanya sekedar libur akhir pekan. Karna, bahkan di Sabtu-Minggu pun tidak jarang mereka gunakan untuk bekerja.

Lalu tiba-tiba Aruna mengangkat kepalanya dan menatap kedua sahabatnya dengan tatapan serius dan bersemangat. "Let's travel the world!"

Kriuk. Itu suara keripik singkong Yora yang hancur di mulutnya.

"Are you joking or are you drunk?" Sera bertanya, tidak yakin dengan ucapan Aruna barusan

"There's no way I get drunk with just two glasses of cheap wine. Gue serius."

"Haha, gila." Tawa hambar Yora membuat dua orang yang duduk dilantai itu menengok kearahnya. Merasa dituntut penjelasan lebih dari yang menatap, Yora lalu melanjutkan. "Ini konsepnya keliling dunia, bukan bolak-balik Jabodetabek. Duit dari mana?"

"Gak literally semua negara kita datengin juga," sanggah Aruna.

"Tetep aja."

"Mmmm, kalau diada-adain sih ada aja," timpal Sera dengan tatapan menerawang.

"Jangan suka mengada-ngada hey, anak muda. Gue tau lu hobi ngehalu, tapi jangan menjerumuskan orang lain juga."

"No! Serius gue. Coba, tabungan lu ada berapa? Kumpulin semua. 300 ada kan?"

"Iya, kalo gue jual ruko kayanya cukup," kata Aruna.

"Lah kenapa? Yang di sini?" tanya Sera kaget.

"Yang di Kemang. Emang udah niat sih. Biar fokus satu tempat aja," jelas Aruna.

Ia memang punya 2 ruko, tapi belakangan Aruna merasa mengurus 2 tempat membuatnya tidak fokus. Jadilah ia memutuskan untuk fokus pada satu tempat dulu. Setidaknya untuk sekarang ini.

"Gue juga kalo lepas apartemen auto kaya." Sera yang tadinya ragu jadi bersemangat. Tapi tidak dengan Yora yang masih menganggap ide itu konyol.

"Terus gue kudu jual pabrik gitu? Gila kali lo!"

"Oh c'mon ms. Hanarta. Gue tau cuan lu berlimpah, bahkan kalau lo cuman duduk-duduk manja di kantor." Sera mecoba meyakinkan yang dibantu anggukan semangat Aruna.

"Gak, gak. It's too unrealistic." Yora masih teguh dengan pendiriannya.

Melihat temannya yang sepertinya tidak tertarik dengan pembicaraan mereka, maka Aruna dan Sera pun tidak melanjutkan pembahasan–yang sebenarnya memang gila–ini.

Sisa malam lalu mereka habiskan dengan topik random lainnya, mengisi ruang tengah apartemen Aruna dengan canda tawa mereka yang pada lewat tengah malam hanya menyisakan sunyi dengan sedikit dengkuran halus yang entah milik siapa.