Hari ini ada rapat penting di kantor Sera. Pasalnya, direktur keuangan alias Pak Bos yang hobi bikin Sera sakit kepala-lah yang akan memimpin rapat secara langsung. Namanya Pak Darwin.
Sebenarnya saat pertama Sera masuk perusahaan, yang menjabat sebagai direktur keuangan bukanlah Pak Darwin. Namun berhubung sudah memasuki usia pensiun, direktur keuangan terdahulu pun harus tergantikan dengan Yang Mulia Darwin.
Seperti yang lain, pagi ini Sera juga sebenarnya sudah sibuk menyiapkan apa-apa yang dibutuhkan untuk rapat. Ia berharap respon Pak Darwin bisa lebih lunak dari sebelumnya. Tapi apa mau dikata, untuk kesekian kalinya hasil presentasi Sera kembali tidak diindahkan.
Sad but not surprised.
Sera yang diberi tugas untuk merancang produk dan juga menentukan premi itu dianggap gagal karna dalam menjalankan tugas. Menurut sang bos, premi yang ditentukan Sera terlampau kecil dan tidak realistis yang mana membuat beberapa rekan senior Sera kurang setuju.
Justru menurut mereka, perkiraan Sera sudah cukup bagus. Apalagi Sera masih kurang pengalaman jadi wajar masih perlu diarahkan. Tapi tentu saja tidak ada yang berani buka mulut. Salah-salah pintu PHK yang akan dibukakan si bos.
"Gustiiii, salah mulu hamba!" Keluh Sera frustasi mengingat apa yang terjadi di ruang rapat tadi.
"Sabar, Se. Sabar." Mira dari bilik samping berusaha menenangkan.
"Sabar juga ada batasnya, Mbak!" Sera jadi melimpahkan emosinya ke Mira secara tidak sadar. "Sabar gue buat si kodok tuh kalo dituker pake duit bisa ngalahin hartanya Paman Gober!"
"Hush! Nanti kalo si bos denger gimana?" Mira langsung was-was melihat sekitar. Takut kalau ada yang dengar. Ia tahu kalau 'si kodok' yang dimaksud tidak lain dan tidak bukan adalah bosnya sendiri, Pak Darwin. Itu julukan dari Sera.
Ini bermula waktu Sera berniat menemui sang direktur untuk meminta tanda tangan. Namun saat mau mengetuk pintu, Sera justru mendengar suara dengkuran sangat keras. Saat ia mengintip sedikit dari kaca pintu, benar saja atasannya itu sedang tertidur pulas.
Sera yang melihatnya pun tidak tahan untuk tidak nyirnyir, sambil berbisik tentunya. "Dasar, makan gaji buta. Mana perutnya gede banget lagi, macem kodok."
Menurut penuturan sekretarisnya pun hal ini sudah sering terjadi. Tentu saja ini semakin membuat rasa tidak suka Sera kepada Pak Darwin meningkat.
Sera yang masih kesal tingkat dewa ini malah makin ngelunjak mendengar peringatan Mira. "BIARIN. Biar dia introspeksi diri."
"Yang ada elo yang dipecat, kutu!" Mira jadi kesal sendiri.
"Gue emang udah ada niatan resign sih, Mbak."
"Serius?! Kenapa?"
"Mau menjemput jodoh di Korea Selatan," jawab Sera datar.
Parahnya Mira seperti percaya bualan Sera barusan. "Lo udah ada calon, Se? Gue pikir lo jomblo."
"HHHHHHHH." Lagi-lagi Mira justru membuat Sera tambah greget. "Gue single, Mbak. Jomblo itu buat yang udah pernah pacaran," jelas Sera menahan emosi. "Dan bukannya alasan gue buat resign udah cukup jelas? Jelas-jelas karna penyiksaan verbal yang gue terima dari Yang Mulia Darwin."
"Yaahh, jangan dong. Nanti gue kangen sama lo gimana?"
"Emang aku ngangenin ya, Mbak?" tanya Sera jadi kege-eran dengan senyum malu-malu.
"Balik kerja lo sono." Mira jadi menyesal melontarkan kata berbau pujian untuk Sera.
* * *
Drrrtt
Ponsel milik seorang gadis yang tengah berkeliling sebuah pabrik makanan dan minuman itu bergetar dalam genggamannya, membuat ia secara otomatis melihat siapa yang menelepon.
Sera
"Kenapa nih petasan nelpon?" tanyanya pada diri sendiri yang lantas menerima panggilan tersebut.
"Ha–"
"BIISSHH, what are you doing?" Sera langsung menyapa kawannya itu dengan semangat.
"Salam manisnya mana?"
"Good morning, sunshine." Sapa Sera dengan lembut.
Gadis yang ditelepon Sera ini dengan wajah datarnya melihat ke arah jendela yang memperlihatkan keadaan langit di luar. "The sun is almost set."
"Good almost evening, moonlight."
"Bodo. Ngapa lo nelpon?"
"What are you doing?" Sera kembali mengulang pertanyaannya.
"Bikin racun buat lo," jawabnya asal.
"Aw, racun cinta ya?"
"Racun tikus. Mau ngomong apa sih? Gue masih di pabrik nih, masih kerja," jawabnya mulai hilang kesabaran.
"Hang out yuk. Gue butuh melepas penat."
Tawaran yang bagus pikirnya. Kebetulan hari ini cukup hectic. "Oke. Jemput gue di pabrik tapi. Jam tujuh-an."
"Kalo gue dateng lebih awal disuguhin minuman gratis gak?"
End call.
Mendengar pertanyaan Sera membuatnya langsung menutup panggilan tersebut. Kalau dilanjutkan yang ada pekerjaannya tidak selesai hari ini. Lagi pula ini pabrik, bukan hotel yang memberikan minuman selamat datang kepada tamunya.
Namanya Liora Hanarta, biasa dipanggil Yora. Satu dari dua sahabat kecil Sera ini adalah salah satu calon pemegang takhta kekayaan Hanan Group, perusahaan asal Indonesia yang bergerak di bidang penyediaan makanan dan minuman.
Statusnya sebagai anak tunggal Herman Hanarta selaku direktur utama Hanan Group membuat ia dipercaya memegang salah satu anak perusahaan. Konyol menurutnya. Bagaimana garis keturunan lebih diutamakan dalam menempati suatu jabatan dibanding kemampuan.
Yora paham bahwa nama besar Hanan Group sekarang adalah hasil keringat dan jerih payah kakek serta pendahulunya yang lain. Tentu beliau-beliau ini ingin keturunannya yang meneruskan perjuangan mereka. Namun bagaimana jika passion Yora bukan sebagai pebisnis?
Yora sudah melalui berbagai perdebatan tentang bagaimana karir yang ia inginkan tapi selalu skakmat kalau sudah bawa-bawa opa oma. "Opa pasti sedih banget kalau tau cucunya nolak nerusin usahanya." Begitu kalimat andalan Sonya, sang ibunda.
Kalau sudah begitu Yora hanya bisa mengiyakan. Mereka seakan tidak peduli bahwa Yora juga punya kesenangan sendiri. Ia juga ingin melakukan apa yang ingin ia lakukan.
Kabur ke luar negeri dengan embel-embel kuliah dari beasiswa seperti Sera misalnya.
Sebenarnya kalau kuliah ke luar negeri sih bukan masalah besar untuk keluarganya. Masa pengusaha yang nama usahanya sudah cukup dikenal se-Indonesia tidak sanggup menyekolahkan anak semata wayangnya ke luar negeri.
Masalahnya, bahkan di luar negeri pun Yora tetap harus masuk jurusan bisnis. Kan memang Yora dituntut untuk jadi pebisnis yang mumpuni.
Maka dari itu Yora pikir tidak perlu ia mempersulit diri kuliah di luar negeri. Kuliah di Indonesia saja sudah pusing untuknya. Masih bagus dulu Yora gak di DO. Bisa lulus 4,5 tahun adalah keajaiban tersendiri untuknya.
Sebagai anak yang berbakti kepada orangtua, keluarga besar, bangsa dan negara, yang bisa Yora lakukan sekarang adalah menuruti kemauan ayah-ibunya.
"Jalanin aja dulu. Cinta aja bisa tumbuh karena terbiasa. Siapa tau lo lama-lama menikmati juga jadi pebisnis." Itu yang Sera katakan waktu mencoba memberi kalimat penenang.
"Congor lu ngomongin cinta, pacaran aja belom pernah."
"Tapi aku punya cinta yang besar dan mutlak untuk oppa-oppa tampan di negeri ginseng sana."
"Halah." Yora lalu melempar satu kentang goreng yang jadi kudapan mereka saat itu.
Walaupun menurutnya konyol, tapi kata-kata Sera itu justru membekas dipikirannya. Mungkin ada benarnya juga. Tapi, entah lah.
Jalanin dulu aja.