Karenina, menatap keluar jendela pesawat mengalihkan pandangan matanya dari sosok bak dewa Yunani yang belakangan ini selalu mengahantuinya kemanapun Ia pergi.
Sedangkan Alfredo masih sibuk dengan laptop dan Tab yang saling tehubung, bagaimanapun Ia adalah seorang bos yang harus menghandel setiap pekerjaan yang berhubungan dengan kelangsungan perusahaan.
"Calon istri, apa kamu tega melihat calon suamimu bekerja tanpa ada makanan dan minuman di atas meja kerjanya?" kata Alfredo pada Karenina yang hanya menoleh tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang hanya datar dan malah terkesan dingin.
"Aku rasa dipesawat ini ada beberapa pramugari yang hanya tersedia untuk melayani dirimu, apa itu masih kurang?" Jawab Karenina ketus.
Alfredo terkekeh, "Aku hanya ingin kopi buatanmu, apa itu tidak boleh?"
"Kalau aku menjawab tidak?"
"Kau membuatku merana." Ucap Alfredo dengan tersenyum.
"Itu bagus."
"Ya, bagus aku merana karena cintamu, dan sebentar lagi akan membuatku gila."
Mayang mengendikkan bahu tak perduli, dia ingin kembali menatap awan-awan yang berterbangan, sebelum mendengar calon suaminya yang tampan dan tajir ini kembali berucap.
"Menurut penelitian, libido akan naik seiring dengan meningkatnya kegilaan seseorang pada lawan bercintanya. Dan itu bagus itu artinya bahwa__ " Belum sempat Alfredo menyelesaikan kata-katanya Karenina telah berdiri dari kursi dan melangkah menuju ke pantry untuk membuatkan secangkir kopi kesukaan Alfredo.
Alfredo terkekeh, Ia sangat memahami sifat Karenina yang satu itu padahal apa ynag akan Ia sampaikan adalah hasil karangannya sendiri, Ia hanya ingin menggoda Karenina saja.
Tak berapa lama, Karenina kembali dengan secangkir kopi di tangannya. Lalu meletakkannya di meja depan Alfredo.
"Terimakasih, calon istri." Ucap Alfredo yang tersenyum lembut kemudian menutup laptopnya dan memasukkan kembali ke dalam tas.
"Sebentar lagi kita akan sampai, dan kita masih mempunyai cukup waktu untuk sekedar berjalan-jalan atau kau menghabiskan waktu kita di hotel saja?" Tanya Alfredo lalu menyeruput kopi yang dibuat oleh Karenina.
"Hm, kopi yang nikmat." Ucap Alfredo dan Karenina masih saja diam tak menjawab pertanyaannya.
"Kamu masih marah?" Tanya Alfredo, sambil menatap pada Karenina yang masih memandang deretan awan diluar pesawat.
"Menurutmu?"
"Karen, aku tidak akan menceritakan apapun mengenai Zarima, tapi suatu saat kau akan tahu sendiri kenyataan yang terjadi, dan aku tak ingin membandingkan kalian berdua. Kau adalah kau dan Zarima adalah Zarima." Ucap Alfredo dengan nada serius.
Kejadian sebelum berangkat ke bandara membuat Karenina menjadi bersikap dingin pada Alfredo, yaitu saat Alfredo menerima telpon dari Zarima lalu berbicara dengan wanita itu dengan nada dingin dan sedikit kasar, hal itu yang membuat Karenina marah pada Alfredo. Menurut Karenina, Zarima tak layak diperlakukan seperti itu, bagaimanapun Zarima adalah korban dari penghianatan Alfredo. Walau pada kenyataannya, Alfredolah yang dihianati lebih dulu oleh Zarima tanpa Karenina ketahui.
Alfredo menutup mulutnya rapat-rapat tentang perselingkuhan Tama sahabatnya dengan Zarima pada Karenina, karena tidak mau dianggap berbohong dan hanya beralasan supaya dapat menikahinya, Alfredo berharap suatu saat Karenina akan mengetahui sendiri kebusukan Zarima.
"Tapi tidak seharusnya kau bicara kasar padanya?" Ucap Karenina, masih tanpa menoleh sedikitpun pada Alfredo dan masih tertarik dengan awan-awan yang bergulung seperti sedang berkejaran.
"Maafkan aku, tapi aku tak punya alasan untuk tidak berbuat kasar padanya."
"Kenapa? Karena kau bosan? Sehingga kau mencari perempuan lain, untuk membunuh kebosananmu? Atau kenapa?" Tanya Karenina kini Ia memberanikan diri menoleh pada Alfredo dan menatapnya tajam.
"Jika itu alasannya aku sudah melakukannya dari dulu. Bukan denganmu." Balas Alfredo dengan tatapan lembut, walau Karenina menatapnya dengan tajam.
"Aku tak ingin kau berbuat seperti itu lagi pada Zarima, sungguh itu sangat membuatku tidak nyaman. Aku sudah cukup menjadi perebut suaminya, dan aku tak ingin menjadi perebut kasih sayang suaminya."
'Kau takkan pernah mengerti, hingga kau mengetahuinya sendiri kebenaran itu.' Gumam Alfredo dalam hati.
"Oke, maafkan aku."
"Harusnya kau minta maaf pada Zarima."
"Lain waktu akan aku lakukan." Ucap Alfredo yang tak ingin memperpanjang perdebatan mereka.
"Sekarang tolong peluk aku, aku bisa mati jika seharian ini tidak mendapat pelukamu." Ucap Alfredo dengan wajah memohon yang dibuat semenderita meungkin, membuat Karenina mau tak mau tersenyum dibuatnya.
"Ehmmmmg! Kau sungguh cantik saat kau tersenyum." Goda Alfredo dengan senyum lebar.
"Kau sungguh pandai menggombal. Berapa wanita yang sudah kau gombali, hm?" Tanya Karenina dengan tersenyum pada Alfredo.
"Ehm! Berapa ya" Alfredo pura-pura sedang berpikir padahal tak pernah sekalipun Ia menggombali perempuan selama ini.
"Karen, Nina, Karenina, itu saja." Jawab Alfredo sambil bertopang dagu.
Karenina tertawa lebar, lalu mencubit lengan Alfredo.
"Kenapa tertawa? Aku bicara jujur lho." Kata Alfredo.
"kau benar-benar pengombal yang ulung, patut diacungi jempol." Ujar Karenina sambil tertawa.
"Ya, karena memang hanya dirimu yang membuat aku bisa mengombal, hanya dirimu yang mampu mebuat aku bisa bersikap konyol, hanya dirimu pula yang bisa membuat aku jatuh cinta." Alfredo berucap dengan wajah serius seolah mengunci tatapannya untuk tidak berpaling dari Alfredo sedetikpun.
"Aku mencintaimu, Karenina." Ucap Alfredo menatap penuh wajah Karenina yang mendadak berubah menjadi merah sempurna.
Karenina bingung harus mengatakan apa, disisi lain Ia tak mau terlena dengan cinta yang diberikan oleh Alfredo, karena Ia tak mau jika suatu hari nanti Alfredo akan meninggalkannya, dan Ia tak mau sakit hati karena hal itu. Namun disisi lain hatinya, Ia juga tidak bisa menampik sebuah rasa yang membuatnya berdebar saat berdekatan dengan Alfredo, rasa nyaman ketika bersamanya itu tak akan bisa Ia tukar dengan apapun.
"Al, aku_ aku_ "
"Kau tak perlu menjawab apapun Karenina, aku yakin jika saat ini kau belum bisa mencintaiku, suatu saat aku akan menjadi orang pertama yang merajai hatimu, sebelum anak-anak kita."
"Anak?"
"Kita sudah membahasnya tadi pagi, Karen. Jangan katakan kau lupa ingin memberiku anak satu lusin."
"Ha?"
"Aku hanya ingin darimu, bukan dari perempuan lain."
"Tapi zarima?"
"Jangan sebut nama orang lain saat kita sedang berdua. Cukup hanya kau dan aku. OK?"
Karenina menatap lekat wajah Alfredo, lalu mengangguk patuh.
"Percayalah, aku tak akan meninggalkanmu apapun yang terjadi."
"Jangan berjanji Al, aku tak mau kau mengingkarinya suatu saat nanti."
"Baiklah, tapi satu hal yang harus kamu tahu, jika aku benar-benar mencintaimu, tak ada yang lain. Kau harus percaya itu. Walau kenyataannya aku adalah laki-laki beristri, tapi itu tak akan merubah hatiku. Aku mencintaimu jauh dari yang kamu tahu."
Sungguh Alfredo berhasil membuat Karenina tak mampu berkata apa-apa lagi, kata-katanya bagaikan sihir yang menghanyutkan dia untuk selalu mempercayai apapun yang keluar dari mulut Alfredo tanpa adanya bantahan sedikitpun.