Dibawah lampu temaram gedung hotel yang megah, Karenina duduk dibalkon kamar hotel sambil memegang satu batang rokok yang kemudian Ia nyalakan. Perlahan asap putih mengepul membumbung keangkasa. Karenina benar-benar berada di sebuah situasi yang sangat sulit. Satu sisi Ia bersyukur jika yang menikah dengannya adalah sahabat masa kecilnya dan satu sisi dia adalah seorang pelakor dari seorang perempuan.
Karenina kembali menghisap rokok dan lagi asap putih mengepul dari ruang mulutnya. Alfredo bersandar di pintu balkon tepat di belakang Karenina saat ini berada.
Helaan nafas berat terdengar dari mulut Alfredo, Ia memahami apa yang di rasakan oleh Karenina saat ini, namun Ia juga tak mau menceritakan aib dari Zarima, biarkan saja waktu yang akan membongkar semuanya. Walau saat ini cap sebagai laki-laki yang tidak setia tersemat untuknya dari seorang Karenina, itu tak mengapa asal jangan pernah Ia ditinggalkan oleh seorang Karenina.
Perlahan Alfredo mendekati Karenina yang berdiri membelakanginya. Alfredo memeluk tubuh ramping yang kini sah menjadi istrinya itu, lalu mencium puncak kepalanya dengan sayang.
"Masuk yuk, dingin lho." Ucap Alfredo tepat ditelinga Karenina.
"Kamu masuk saja, aku ingin menghabiskan ini dulu." Ucap Karenina sambil mengacungkan rokoknya ke atas tepat di depan wajahnya.
"Dari kapan kamu jadi suka merokok, setahuku kamu dari dulu tidak merokok, walau kamu kerja di club malam." Kata Alfredo sambil merapikan rambut Karenina yang tertiup angin.
Karenina menarik nafas panjang, lalu memandang kerlip lampu di kejauhan. "Aku tidak tahu kapan pastinya, tapi hanya inilah caraku menghilangkan rasa sesak dan pusing di kepalaku." Ujar Karenina.
"Berarti saat ini kamu sedang pusing atau dadamu sedang terasa sesak?" Tanya Alfredo sambil hendak memegang dada Karenina tapi langsung di tepis oleh Karenina.
"Aduh!" Alfredo menarik tangannya lalu mencubit pipi Karenina gemas.
"Sakit!" Ucap Karenina.
"Satu sama." Ucap Alfredo lalu membalikkan tubuh Karenina supaya menghadap padanya.
"Aku tidak mau kamu memikirkan sesuatu yang tak harus kamu pikirkan sayang." Kata Alfredo.
Karenina terdiam wajahnya menunduk, rokok yang ia pegang dan hendak ia masukkan ke dalam mulut terhenti karena Alfredo telah lebih dulu mengambilnya dari jari Karenina.
Alfredo menghisap pelan rokok hasil rampasan dari tangan Karenina, namun apa yang terjadi?
"Uhukkk…uhukkk." Alfredo justru terbatuk-batuk karena tidak terbiasa merokok. Alfredo bisa minum berbotol-botol minuman beralkohol namun Ia tak bisa sedikitpun menyesap rokok.
"Dasar bodoh, sudah tau ga bisa rokok, pakai acara sok-sokan mau ikut rokok." Kata Karenina dengan mengelus dada Alfredo lalu mengambilkan segelas air putih yang tersedia tak jauh dari atas nakas samping tempat tidur.
"Minum." Perintah Karenina pada Alfredo yang wajahnya memerah kareda tersedak asap rokok.
"Besok-besok lagi ga usah ikut-ikutan rokok segala." Ujar Karenina kesal.
"Terima kasih," Ucap Alfredo.
Karenina tidak menjawab, namun tatapan matanya membuat Alfredo tersenyum. Ia tahu Karenina sangat mengkhawatirkannya, namun kekhawatiran itu terbungkus oleh wajah kesal yang ditampilkan oleh Karenina.
Karenina menginjak sisa rokok yang tadi di hisap oleh Alfredo, wajahnya masih terlihat kesal, lag-lagi Alfredo tersenyum lembut melihat cara Karenina melampiaskan kekesalannya.
"Maaf." Ucap Alfredo. Karenina masih diam dan masih menginjak sisa rokok dengan kakinya. Wajahnya tertunduk, hatinya sungguh bingung untuk merasakan apa dan bagai mana sebenarnya yang Ia rasakan pada Alfredo.
"Karen." Panggil Alfredo. Karenina tetap diam Alfredo yang tak tahan dengan sikap Karenina lalu menarik pingang ramping istrinya itu untuk Ia bawa dalam dekapan.
"Maaf, maaf kan aku telah membuatmu berada di posisi sulit." Ucap Alfredo sambil memeluk tubuh Karenina erat.
Karenina masih terdiam tanpa membalas pelukan dari Alfredo, Hati Karenina kacau. Dan akhirnya dia menyerah menyandarkan kepalanya di dada Alfredo dengan isakan yang kian tanpa jeda.
Alfredopun makin mengeratkan pelukannya, hatinya teriris merasakan betapa sulit Karenina untuk menerima kenyataan ini, walau Alfredo menyadari jika Ia penyebab Karenina menjadi seperti ini. Dia egois ya tapi Ia pun tak mampu untuk mengatakan dengan jujur bagaimana Zarima sebenarnya.
"Maaf atas keegoisanku." Ucap Alfredo lalu mencium puncak kepala Karenina.
"Aku lelah, bisakah kita tidur?" Ucap Karenina di sela isakannya. Alfredo langsung mengangkat tubuh Karenina seperti bayi kanguru lalu melangkahkan kakinya menuju ke ranjang king size mereka yang masih penuh dengan taburan bunga.
Karenina masih bersandar di dada Alfredo hingga Alfredo menurunkannya di atas ranjang.
"Ayo kita tidur." Kata Alfredo lalu merebahkan tubuhnya disamping Karenina.
Alfredo memeluk tubuh Karenina yang sedang tidur membelakanginya. Walau sudah terlalu sering mereka tidur bersama, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda yang Alfredo dan Karenina rasakan. Sebuah ketenangan. Ya Karenina dan Alfredo merasakan sebuah ketenangan dalam hati mereka walau rasa sesak di dada Karenina memikirkan hidupnya namun disisi lain hatinya ia tak dapat menampik jika ia juga merasakan ketenangan yang luar biasa yang belum pernah ia rasakan.
Alfredo memeluk tubuh Karenina walau matanya belum mampu terpejam, begitupun dengan Karenina yang nyatanya mata dan pikirannya tidak sejalan.
"Al." Panggil Karenina masih dengan posisi sama, memunggungi Alfredo.
"Hm." Jawab Alfredo.
"Aku ingin mengunjungi makan Ibu dan ayah." Ucap Karenina.
"kita akan kesana, kapanpun kamu mau." Jawab Alfredo.
"Tapi mereka di Bandung."
"maka kita akan ke Bandung."
"Kamu tidak takut keluarga kakekmu akan melihat kita."
"Tidak, aku justru senang jika mereka mengetahui hubungan kita."
"Dan aku akan di cap sebagai pelakor, Al."
'Tidak akan."
"Sok tahu."
"Karena aku memang lebih tahu bagai mana keluargaku."
Karenina membalikkan tubuhnya. Wajah tampan itu sedang mangarah padanya dengan tatapan begitu lembut, lalu senyum kecil terbit disana.
"Aku takut, Al."
"Aku sudah bilang, tak ada yang perlu kamu takutkan selama masih ada aku disini."
Alfredo menarik kepala Karenina agar berada lebih dekat dengannya, lalu mencium ujung kepala Karenina, lama. Alfredo sudah mengetahui jika keluarga di Bandung telah mencium perselingkuhan Zarima, namun mereka hanya diam, karena tak mau mencampuri urusan Alfredo dan Zarima.
Salah satu tantenya yang tinggal di bandung pernah melihat Zarima dengan selingkuhannya di sebuah Villa. Pada saat itu mereka takut untuk mengatakan pada Alfredo hingga Alfredo mengetahui kebenaran hubungan Tama dengan Zarima.
Keluarga di Bandung menginginkan untuk Alfredo bercerai dengan Zarima, namun mereka pun tahu posisi Alfredo tak semudah itu untuk meninggalkan Zarima.
Akhirnya semua kelaurga di Bandung hanya diam dan pasrah, namun mereka selalu memberi dukungan pada Alfredo agar selalu kuat menghadapi segala kenyataan hidup yang tak sejalan dengan keinginannya.
Bandung adalah satu-satunya rumah untuk Ia pulang, hanya mereka yang mendengarkan keluh kesah Alfredo tanpa embel-embel apapun di belakang kebaikan mereka.