Hasan tetap menjaga keinginannya dengan tidak meluapkan perasaan cintanya. Masih tidak melakukan karena menjaga Hati dan tidak mau memaksa. Janji yang dibuat oleh Hasan tidak mungkin diingkari olehnya. Demi meredam inginnya Ikhwan dia menyibukkan mengaji, namun malam itu terasa sangat panjang.
'Aku tidak pernah ingin cintaku kepada Allah tersaingi, dengan apapun. Karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala mencintai ku dalam setiap hembusan nafasku cinta. Aku ingin cinta ini bukan nafsu yang menjerat raga, Aku ingin cinta ini Fitrah dan bukti serta pengorbanan. Bukan pemuasan untuk memiliki karena terobsesi. Yang kuharapkan dalam cinta adalah saling mengerti dan saling percaya. Semoga Halwa bisa percaya jika aku akan menunggunya," batin Hasan menoleh kebelakang.
Melihat sang Bidadari bersujud. Sungguh keindahan yang tidak pernah disangka oleh Hasan bisa memiliki istri secantik dan sebaik Halwa dan setegas Halwa.
Hasan terjaga semalaman. Merasa sesuatu ada yang tidak nyaman dari hatinya ia masih tetap menghawatirkan kakaknya. 'Kenapa perasaanku masih terbawa suasana dengan memikirkan yang tidak-tidak. Benar-benar tidak dalam keadaan baik, ya Allah lindungi saudaraku dan kembali normal kan hatiku. Seharusnya aku bisa tidur malam ini agar aku besok saat ke Pondok biar tidak ngantuk.'
"Mas sama sekali belum tidur cepatlah tidur," kata Hasan lalu mengemas mukena dan sajadah.
"Besok ke Pondoknya setelah aku mengantar beberapa kertas ke dosen." Hasan memang baru daftar kuliah, Hasan berbaring di sofa. Halwa melihat kecemasan itu di raut wajah Hasan.
"Mas Hasan. Masih memikirkan sesuatu?" tanya Halwa kepada sang suami. Lalu duduk di pinggiran ranjang.
"Entahlah perasaan ku tetap kacau memikirkan sesuatu, aku gelisah. Semua baik-baik saja kan?" pertanyaan Hasan membuat Halwa belum bisa menjawab. Melihat raut wajah Halwa yang seperti menyembunyikan sesuatu dia duduk.
"Huft ... aku tidak fokus. Afwan ...."
"Memang sudah waktunya istirahat," kata Hasan. Halwa berdiri berjalan lalu membuka tirai dan jendela. Malam penuh bintang. Hasan beranjak dan berjalan menghampiri Halwa.
"Cinta itu laksana sebuah perang amat mudah mengorbankanya namun amat sulit untuk memadamkan. Ketika kita mencintai pasti ada rasa takut. Takut kehilangan takut perpisahan dan takut berbagi. Kalaulah cinta itu kata yang harus ditulis, niscaya tintaku sudah habis. Tapi Untunglah cinta itu adalah udara yang terus berhembus. Biarkan aku berkata-kata walaupun menurutmu ini hanyalah rayuan belaka. Aku ingin meluapkan semua perasaanku. Aku gelisah ya Allah ... huft ...." kata Hasan sambil menatap bintang-bintang.
"Biarlah ... bukanlah hari demi hari berbuat sesukanya, tegarkan dan lapangkan jiwa tatkala takdir menjatuhkan ketentuan. Setelah diawali dengan tekad dan usaha pasti akan ada jalan. Janganlah engkau terhenyak dengan musibah malam yang terjadi. Karena musibah di dunia ini tak satupun yang bertahan Abadi, pasti akan berakhir. Jadilah engkau lelaki sejati tatkala ketakutan menimpa lapangkan dada. Seberapa besar aibmu bertebaran di mata makhluk dan engkau ingin ada tirai yang menutupinya. Tertutupi lah dengan tirai kedermawanan karena segenap aib-aib akan tertutupi dengan apa yang disebut orang sebagai dermawan. Kita terjalin dalam ketentuan Allah, tidak akan berkurang hanya karena sifat diantara dua hati dan pikiran yang berbeda. Allah menyatukan karena saling melengkapi. Hidup itu teramat luas, namun tatkala takdir kematian turun menjemput maka tempat mana pun Niscaya akan terasa sempit. Lihatlah malam yang luas dan penuh bintang Sangat indah karena hiasan. Semua tidak ada yang abadi."
Keduanya menatap bintang-bintang.
"Zahra Hilyatul Halwa. Seperti huruf tafkhim tebal. Begitu pula namamu tertulis tebal di fikiranku ... itu hanya kata-kata,bagaimana pun rasanya hati tidak bisa di gambarkan," kata Hasan yang menatap Halwa.
"Reduplah semua bintang-bintang kala aku menatap wajah kekasihku ... he ... apa seperti itu? Aku salting Mas ...." kata Halwa yang hendak menutupi wajahnya.
"Aku benar-benar tersetrum," imbuh wanita cantik itu.
"Berapa waht?" tanya Hasan.
"Sebesar Mas tidak ada wahtnya, hehehe. Astagfirullah. Membuat kenangan yuk ...." Halwa tiba-tiba menatap mata Hasan.
"Aku tak sanggup ... sudah kembali kenceng ininya ...." kata Hasan. Dia merasa malu karena sebisa mungkin dia menahan perasaaannya.
"Jangan berfikiran senonoh dulu ...."
"Lalu ngapain dua insan berpasangan di dalam kamar?" tanya Hasan mulai menatap Halwa dengan malu-malu.
"Kalau ayah tidak meminta, pasti Mas tidak mau kemari," ledek Halwa. Hasan tertunduk.
"Habis bagaimana lagi mules tidak henti. Rasanya adem panas dan demam tiba-tiba. Pokoknya kalau bertemu abah mertua perasaan waw. Wau ..."
"Eh ... Memang ayah hantu?" tanya Halwa.
"Eh, bukan. Namun em ... rasanya kedatangan malaikan maut," ceplosnya. Halwa memuluk lengannya.
"Astagfirullah ...."
"Aku sangat grogi. Aku bercanda.
Kau tahu celotehanku yang sering konyol. Aku tahu namun Ayah dan guruku agar jalan perjodohkan kita." Hasan menatap Halwa yang memandang bintang-bintang.
"Mas, cinta bukan paksaan jadi ketika Mas yakin akan menikahiku secara resmi, di situlah kita akan memulai kehidupan aku dan kamu menjadi kita.
Dulu sebelum menikah letak surga ku ku dapat dari dari Ayah dan Umi. Walau Umi sudah meninggal keduanya menanamkan sifat kebaikan, mendidik agar aku menjadi anak yang baik dan manusia yang baik. Sementara saat ini kau adalah jalan letak surgaku, seperti keterangan di Alqur'an kitab-kitab bahwa kita para istri akan dengan mudah mendapat pahala dari Allah di lewatkan kepada melayani suami, ta'at namun jika suaminya orang beriman. Allah memberi berlimpah ruah ganjaran di jannah. Maka aku akan tetap menawarkan diriku ...."
Muach.
Gerakan cepat dari Halwa yang mengecup pipi Hasan. Membuat Hasan membuka mata.
"Aku tidak menyangka putri Ayah agresif," kata Hasan menatap Halwa lemas, Halwa merasa malu.
"Kurang ... lagi ...." pinta Hasan. Halwa menggelengkan kepala. "Dosa lo ...." ancam Hasan.
"Sungguh baru kali ini ... bibir ini hanya menyentuh kulitmu. Sebelumnya aku menjaga rapat semuanya," jelas Halwa. Hasan mendekapnya dari arah belakang keduanya menatap langit.
"Aku percaya ... kulitku yang sudah tersentuh. Terima kasih karena kamu sudah menjaga. Eh, menjaga karena Allah. Hai ... ada bidadari" kata Hasan. Halwa mencari di langit.
"Di mana? Ah ... bodoh banget sih aku," kata Halwa merendah.
"Syut ... di hadapanku ... kau bidadariku," kata Hasan yang ingin mendekatkan wajah namun dia kembali teringat akan janjinya.
"Kau menahan sesuatu Mas?" tanya Halwa, menoleh ke Hasan dan akan terkena ke bibir itu.
"Apa?" tanya Hasan."Jangan dekat-dekat ah ...." Hasan melepas pelukannya. Halwa menahan tawa melihat ekpresi suami yang menahan rasa ingin mesra.
Sejenak keduanya menatap langit di keheningan.
"Kebanyakan manusia termasuk aku kalau lagi ada hal yang mendesak solatnya secepat kitat menyambar. Ya Allah ...." kata Hasan tiba-tiba membuka suara.
"Allah Maha Baik namun aku datang ketika butuh, ya Allah ... Astagfirullah ... sudah tarhim, mari bersiap," ajak Halwa karena akan azan subuh.
"Yah ... basah-basah ... ininya ...." kata Hasan bernada lalu menunjuk ke alatnya. Halwa tidak sanggup dia pergi sambil ketawa. Hasan meneguk ludah lalu segera keluar dari kamarnya Halwa.