Siapa di dunia ini yang tidak ingin memiliki kekasih atau pendamping yang setia dan baik hati. Ini Hasan merasa bahagia karena dia sudah memiliki kekasih hati. Yang bisa meredam emosi nya ketika ada masalah.
Sosok wanita yang bisa meluluhkan hati nya hingga dia tidak menuruti nafsunya sahwatnya yang jahat.
Hasan berdiri memandangi Halwa, yang tengah berbincang dengan uminya. Melihat kebersamaan itu jelas mendatangkan perasaan yang bahagia bagi Hasan.
Halwa menerima pernikahan dan keduanya berangkat ke Pondok Pesantren untuk menambah pengetahuan.
"Allah subhanahu wa ta'ala selalu menguji kemampuan hambanya dengan cobaan cobaan yang diberikan. Semoga saja Allah memudahkan dan segera membuka hatiku untukmu. Namun, kembali lagi semua terserah kepada Allah. Jika Mas terus bersabar. Ketika menanti aku membuka mata dan cinta. Aku yakin perjuangan yang tidak akan pernah sia-sia. Masa penantian pasti berakhir. Cobaan pasti berakhir pula. Kita akan bahagia sama sama di surgaNya Aamiin, Aamiin. Semoga Allah selalu menjaga hati Mas. Aku masih sedikit gugup akan pernikahan ini."
"Sabar saja. Aku juga santai," ujar Hasan.
"Apa cinta Fatih itu bisa kamu iklaskan?" tanya Hasan.
"Rasa lelah pasti ada. Setiap saat pasti ada perasaan bosan. Namun kebosanan kubukanlah seberapa, jika dibandingkan dengan rasa sakit yang dialaminya. Aku sangat memahami ini juga karena kesalahanku. Aku membuat seseorang terlalu berambisi untuk memiliki ku. Sampai akhirnya dia tega melakukan ini kepada Kak Fatih. Aku tidak ada niatan sama sekali untuk melukai suamiku sendiri. Aku tidak pernah menduga jika ada orang yang senekat itu, dia meninggal di depan mata," jelas Halwa dengan Bismillah makan dengan mata yang berkaca-kaca.
"Terkadang ambisi lah yang membuat orang seperti itu. Kita kebanyakan hidup di dalam lingkup pesantren. Kita tidak memahami dunia luar sama sekali. Di sana banyak orang-orang yang seperti itu. Egois dalam cinta atau nafsu. Seseorang yang penuh ambisi akan melakukan apapun. Dan akan menentang siapapun. Namun aku yakin dibalik ini semua ada hikmahnya."
"Benar, hati ini terus berdoa kepada Allah. Terkadang kita berdoa ketika kita sedang merasa sedih. Ketika kita butuh baru kita ingat Allah. Ya Allah Astaghfirullah ... Manusia memang sering melakukan hal itu. Ketika bahagia karena saking senangnya lupa bersyukur. Dan ketika ada musibah barulah kita mendekatkan diri kepada Allah. Ya Allah ...."
"MasyaAllah sesungguhnya rasa bahagia juga cobaan. Tergantung kita bisa mensyukuri atau tidak. Jika kita mensyukuri semakin bertambah rahmat Allah subhanahu wa ta'ala. Halwa. Kali ini aku sungguh-sungguh melihat cinta Halwa. Semoga kerinduan yang selama ini neng rasakan akan terganti dengan kebahagiaan yang sempurna. Dan yang abadi. Aamiin." Hasan mengusap wajah.
"Aku selalu ingat. Dia menegur diriku. Tindakan ku memang salah jika marah-marah karena cobaan. Seharusnya aku tidak marah karena memang benar. Kita
hanya hamba yang dititipi cinta. mendengar kan aku saat dia akan datang ke rumah.
Calon kekasih halal. Bagaimana aku tidak tersenyum. Kamu mampu merayu ku. Kak, bagaimana bisa aku kehilanganmu, suaramu saja selalu mengiang-ngiang di telingaku. Aku pun sulit tidur, jika tidak tahu kabar tentangmu. Aku malu mengungkapkan cintaku yang keterlaluan kepadamu. Jika Allah tahu pasti Allah marah kepadaku. Karena aku telah membagi cintaNya dengan hamba. Astaghfirullah ... Tapi itu bukan kesalahan karena aku ingin kau menjadi kan aku makmummu. Di relung hidupmu, di lembah-lembah hidayah yang Allah berikan."
Halwa menangis tidak henti. Hasan memberikan tisu.
****
"Aku menanti, setiap detik,.menit, jam, hari, bulan, tahun, aku menunggu, dan ini paling mengesankan."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam kenapa terputus? Kamu marah lagi? Kamu tidak marah kan?" tanya Fatih sangat penasaran. Aku tetap saja diam.
"Cinta kita hanyalah apa ... jangan sampai kita keterlaluan. Jangan sampai cinta kita melemahkan iman kita kepada Allah. Cintaku untukmu tiada batas pemisah, rasaku untukmu lebih dalam dan lebih luas daripada lautan dan samudra. Allah subhanahu wa ta'ala tahu itu, dan allah sendiri yang memberikan cinta itu kepada kita. Di setiap pejamkan mataku aku sering menghayalkan kamu. Padahal itu maksiat, namun cintaku insyaallah bukan nafsu. Bukan amarah, bukan pula obsesi. Allah telah menurunkan cinta di mana-mana kepada siapa saja. Seperti Nabi Adam dan Siti Hawa. Seperti nabi Musa dan Shafura, seperti nabi Yusuf dan Siti Zulaiha. Nabi kita Muhammad dan Siti Khodijah. Serta sayyidina Ali dan Siti Fatimah Azzahra. Aku memang bukan di antara para suami yang bisa sempurna dalam menjalankan tugasnya. Aku kan belajar dari semua kisah para Nabi. Yang cintanya abadi walau maut memisahkan. Jika kau tanya berapa banyak cintaku. Cintaku lebih banyak dari air lautan, lebih ribuan bahkan miliaran dari derasnya yang hujan. Aku selalu ingin membimbing mau seperti nabi Sulaiman yang menjaga imannya ratu Bilqis. Seperti kesabaran nabi ayub ketika ditinggalkan sang istri Siti Rahma. Dan tugas menghukum istrinya dengan 100 pecutan lidi. Nabi Ayub meringankan dengan pecutan pelan. Karena Siti Rahma benar-benar mencintai apa adanya saat kondisi nabi Ayub terpuruk. Siti Rahma rela menjual rambutnya padahal rambut itu sangat disukai oleh Nabi Ayub." Dia mengatakan itu.
"Dan aku ingin menjaga kamu seperti Siti Rohmah, yang tetap setia menjaga nabi Ayub dalam sakitnya, walaupun nabi Ayub tidak pernah tahu betapa beratnya pengorbanan Siti Rahma. Pada akhirnya pun Nabi Ayub alaihissalam bahwa pengorbanan siti Rahma sangatlah berat. Apa menurut kakak cobaan kita sudah berat. Karena menurut percobaan kita sangatlah berat. Kita penuh perjuangan. Apa itu masih kurang?" tanyaku.
"Kenapa pujaan hatiku berbicaranya seperti itu? Tidak baik Halwa. Jangan terlalu berlebihan dulu oh memang akan menjadi milikku namun seutuhnya kau dan aku masih milik Allah. Aku rela berjauhan dan berjuang untuk mendapatkanmu mendapat restu dari ayah ibumu. Karena aku memang tidak ingin Allah marah kepadaku, karena aku telah bersikap durhaka jika aku merebutmu dari orang tuamu. Aku terlalu takut jika sama-sama berlebihan dalam cinta duniawi, mengartikan cinta yang telah Allah beri. Aku ingin menjadi imam dan pemimpin mu. Namun kita belum tahu apa rencana Allah selanjutnya. Aku tidak ingin Allah memisahkan kita, tapi apa salahnya kita hati-hati."
"Tuh, kan mulai lagi! Jangan mulai berkata seperti itu," sahutku dengan suara sangat serak menahan tangis.
"Halwa ... jika hal itu terjadi janganlah diantara kita membenci takdir Allah. Aku meminta itu kepadamu. Jika cinta tidak dapat kita miliki cinta biarlah berhijrah."
"Aku tahu, namun aku takut. Kak jangan membahas itu lagi, aku tidak suka, ini antara kita Kak, jangan membicarakan aneh-aneh di saat pernikahan kita tinggal menghitung jam. Kau tahu berapa lama aku diam atas cintaku, kepadamu, aku mendambamu, dan aku belum siap jika Allah memisahkan kita. Begitu berat menghadapi cobaan, kita menjalin hubungan hampir tujuh tahun. Kita sudah menghadapi berbagai hal. Walau Allah tahu seberapa kuat nya aku atas cobaan yang telah diberiNya. Namun kali ini aku tidak mau sakitnya aku jika harus kehilanganmu. Aku sudah pernah merasakan kehilangan mu ketika cinta kita tidak direstui. Dan aku tidak ingin mengulang hal itu lagi. Aku menahan nafsu ku karena agama umat islam sahabatku ketika aku ingin bersandar di bahumu. Aku menahan semua karena Allah melarangnya. Karena status kita yang belum halal. Aku juga ingin bermesraan seperti mereka, namun aku takut kepada Allah atas dosa dalam tatapan pandangan bayangan menjelma dan melintasi hati. Oh tahu melepaskan gelora semua itu tidak mudah, bahkan menyakitkan. Kak ... aku tidak tahu apa jadinya aku tanpa dirimu. Seharusnya aku tidak boleh mencintai hamba Allah terlalu berlebihan. Lalu perlahan merupakan kenikmatan yang sudah Allah beri naudzubillah ... semoga Allah menjaga hatiku. Aamiin." Suara Almarhum Fatih mengusap wajah.
""Aamiin semoga Allah mengabulkan doa aku dan doa mu," kata dari dalam telepon.