Pemuda itu sudah menenangkan Naina dia memberikan air mineral, aku tidak menduga jika Zaki sudah berada di danau, dia sudah menenangkan Naina, aku berjalan cepat menghampiri Naina yang menekuk leher dan menangis merana dengan merangkul kedua kakinya.
Zaki berlari kearahku. "Aku sudah menyelamatkannya, jaga dia, hibur dia, aku harus kembali mengantar bunga, aku tidak mau dipecat," ujarnya lalu pergi.
"Terima kasih," ucapku merelakan langkahnya, aku berlari Naina, aku memeluk erat gadis kaya merana itu.
"Jangan menangis lagi," hatiku berdebar air mata dengan mudah terjatuh. Aku tau Kak Zaki pasti akan menyelamatkannya, aku tau itu aku yakin seacuhnya dia, dia sangat peduli dengan Naina, karna apa? Karna cinta.
"Heks heks heks, aku bodoh heks," ujar Naina merasa benci dengan diri sendiri.
"Aku sudah merasa tidak beres saat pertengkaran pagi tadi, tapi aku hanya diam, apalagi tau kamu kena tonjokkan aku jadi tidak tega, Nai sudah jangan menangis lagi ini adalah pelajaran, jadi ... Kamu harus semangat ya," aku berusaha menangkan Naina yang tidak mengeluarkan suara, aku tau dadanya sangat sesak.
"Nai ... Memandang seseorang itu sangat sulit, tidak semua yang terlihat jelek jelek, seperti apa yang dilakukan Kak Zaki, dia yang selalu bisa melindungimu, aku tadi sempat marah, tapi saat aku tau dia sudah ada disini, aku melihat ketulusannya, walau dia berantakan dan tidak kaya hatinya sangat baik, dia memukul Rama tadi pagi karna Rama melecehkan Febi," jelasku, Naina menatapku dengan mata yang merah dan sangat terkejut.
"Iya, aku baru tau ... Saat kami jdisuruh bos ngantar bunga bersama, lalu aku ingat kamu jadi aku terus memohon sama Zaki agar mau ke danau, dia tidak mau aku turun," aku belum selesai cerita dia memelukku dan semakin terisak, aku baru sadar jika lengan bajunya robek, aku memeluknya hanya pelukan dari sahabat yang bisa aku berikan.
"Hek hek hek heks, terima kasih, hek hek heks," ujarnya, rintik hujan turun dengan cepat. "Ayo," ajakku, aku dan Naina menoleh saat mendengar.
Tin
Tin
Tin
Aku dan Naina berlari ke mobil pik up, aku tidak menyangka Zaki menjemput kami, aku duduk ditengah dan Naina disamping jendela.
Zaki menancap gas mobil dengan pelan.
"Jangan menangis Naina, lain kali berhati-hati ya," ujarnya, aku tersenyum mendengar itu.
"Kenapa Tih? Majnun." Dia meledekku, aku mencubit lengannya. Hari itu aku benar-benar yakin akan cinta yang begitu besar dari Zaki untuk Naina.
Angin siang itu sangat kencang aku dan Naina naik motor hendak ke tempat kerja, sikap Naina mulai terlihat memperhatikan Zaki yang sudah sibuk mencangkul tanah. Peluh keringat dari Zaki membuat Naina merasa kasihan Naina segera membawakan air mineral.
Semakin hari mereka semakin dekat, kesederhanaan Naina membuat Zaki sedikit luluh bahwa orang yang kaya tidak semua sombong. Ya seperti itulah kemudian mereka pacaran, putus nyambung sering kali terjadi sampai dibangku kuliah. Di pertengahan kuliah mereka memutuskan untuk menikah namun sebelum itu Zaki harus mencarikan istri dulu untuk kakaknya agar tidak melangkai.
Akulah sasaran dari kedua insan yang sedang mabuk kepayang itu, aku suka tapi karna usia yang terpaut jauh aku ragu, tapi pada akhirnya aku setuju.
Saat pernikahan, Naina meminta kedua Kakaknya untuk menjadi wali. Mereka mau namun mengajukan syarat jika Naina harus menjadi pelukis.
Sungguh tidak habis fikir, mereka sangat serakah karna dengan berapapun uang yang mereka miliki mereka masih merasa kurang dan kurang. Awalnya Zaki keberatan namun Naina berusaha membujuknya.
Akhirnya derr ... pernikahan pun terjadi, setelah pernikahan Naina mulai belajar melukis dan Zaki pun masih bekerja di toko bunga.
Sampai akhirnya Zaki bisa membangunkan rumah kecil untuk Naina, mereka sangat harmonis dan sangat bahagia, aku selalu iri dengan kemesraan mereka.
Begitu cepat berlalu Naina hamil sampai melahirkan semua masih baik-baik saja.
Hingga suatu ketika Naina tidak bisa kerja dan Zaki kehabisan uang tabungan, uang untuk melahirkan itulah habisnya uang tabungan.
Dengan berat hati Naina berhutang ke Kakaknya tanpa sepengetahuan Zaki. Naina terpaksa berhutang karna kebutuhan untuk hidup, sedang saat itu Zaki pindah kerja dan sebagai supir pariwisata.
Tidak setiap hari pulang uang semakin telat, hutang Naina semakin menumpuk. Kakaknya datang menagih pas saat Kakanya menagih Zaki datang.
"Nai bayar hutang mu, suamimu itu tidak akan bisa membuatmu bahagia, ayolah Nai ... lihat itu anakmu sampai ruam-ruam, aku sangat yakin kamu tidak akan bahagia dan pasti akan tertekan," ujar Kakaknya.
Plokkk
"Jadi kamu hutang Nai!" suara yang penuh amarah dari Zaki.
"Heh ... kamu kasar ya, dasar miskin belagu, sok lihat tuh, istri cantik hanya berdaster, tau gitu aku tidak mau menjadi walimu," tegur Kakaknya,Zaki dan Kakak iparnya bertengar saking hebatnya.
"Hentikan Kak ... aku mencintainya, itu sudah cukup," pinta Naina terus menangis tanpa henti.
"Makan apa dengan cinta, hidup kamu cukup sengsara, lusuh, pulang! Ikut aku," ujar Kakaknya menarik tangan Naina.
"Aku tidak bisa aku punya keluarga," ujar Naina menangis dan berusaha mempertahankan pernikahannya.
"Tapi kamu hutang sama aku, lagian apasih yang kamu cintai dari pemuda ini, hanya barangnya," ucapan Kakaknya membuat Zaki terpancing kemarahan yang membara, mengepalkan tangan dengan cepat tinjuan itu meluncurkan ke Kakak ipar namun malah mengenai Naina.
"Nai ... kamu tidak papa?" tanya Zaki penuh sesal.
"Kamu mau memaafkan aku dan Kakakku?" tanya Naina dengan suara lemas.
"Aku tidak ada masalah denganmu tapi dia sudah menghinaku," jelas Zaki dengan nada tinggi.
"Tapi dia Kakakku ... tolong menerima ku apa adanya, seperti aku menerima kamu," pinta Naina dengan sangat halus, namun kalimat seperti aku membuat Zaki marah dia merasa tersinggung. Zaki menyahut Hikam diam tanpa kata.
"Ayo pulang! dia sudah tidak peduli Nai mengertilah ...." ajak Kakaknya mendirikan Naina.
"Hikam ... hiks hiks hiks, Kak ... Kak ...." panggil Naina saat dibawa paksa. Zaki tetap diam tidak bergeming, walau dia menangis dia diam tanpa kata. Naina terus meronta memanggil Hikam, Hikam pun menangis dengan sangat kencangnya.
Andai Naina mau mengalah dan memilih Zaki tidak meminta maaf untuk Kakaknya, mungkin mereka akan bersama. Andai juga Zaki mau merespon ketika Naina dibawa pergi Naina pasti akan bertahan.
Begitu cepat hari berlalu setiap dua minggu Naina datang untuk Hikam tapi apa daya Hikam selalu di ajak pergi oleh Zaki. Naina tidak pernah berjumpa dengan putranya sedang Zaki kalau marah dia memilih diam dan saat ada yang menasehati dia hanya mendwngar namun tidak dipakai.
Belum ada surat cerai Zaki pun belum menalaknya, namun suatu ketika datang surat dari pengadilan Naina udah menggugat, namun Zaki tidak tau aku sengaja merobeknya karna aku tau itu ulah kakaknya Naina.