Suasana di pagi hari sangat dingin Hasan baru saja keluar dari kamarnya tiada disangka dia kedatangan tamu seorang pemuda yang memang keren dan terlihat kaya.
Halwa pun sudah menyiapkan beberapa makanan untuk tamu itu. Yang jelas Hasan sama sekali tidak tahu siapa pemuda itu dan dari mana asalnya. Tapi dia terlihat minder ketika berada di samping pemuda itu.
Hasan berusaha ramah kemudian menjabat tangan pemuda itu. "ini Azam, Mas. Sahabat aku dan juga direktur muda di salah satu perusahaan di Jakarta. Hebat lu dia Mas." Halwa terus memuji dan Hasan pun menjabat tangan pemuda itu.
Hasan memperlihatkan senyum manis sapaan ramah kepada pemuda itu namun pemuda itu hanya asik dengan istri Hasan. Hasan merasa terabaikan ketika keduanya terus berbicara dan berbincang tidak henti.
Merasa tidak suka dia pun pergi ke kamar kemudian salat duha.
"Jadi suamimu itu pengangguran dia hanya merawatmu? Kalau aku sangat malu. Apa Dia tidak punya malu kenapa dia hanya ikut rumah ini makan seenaknya memakai fasilitas tanpa bekerja. Bukankah seharusnya seorang suami itu, mencarikan nafkah untuk istrinya bukan jadi parasit seperti dia."
Hasan yang baru saja keluar dari kamar mandi dan mendengar perkataan itu dia sangat marah. Hasan merasakan sakit hati.
"Halwa tidak mengatakan apapun ketika dia merendahkanku seperti itu. Aku harus bagaimana memang aku tidak pantas berada di rumah ini. Aku juga tidak pantas menjadi suaminya Halwa. Bagaimana lagi aku harus menjelaskan bahwa aku memang hanya mantan Santri. Yang penghasilannya tidak seberapa. Aku tidak bisa membuatkan rumah. Tidak bisa membelikan mobil. Jangankan mobil sepeda pun tidak bisa beli. Aku memang sangat buruk dan sadar diri Aku sama sekali juga tidak tahu perasaan Halwa kepadaku. Apa dia tulus mencintaiku atau kasihan kepadaku. Lebih baik aku pergi dari sini. Aku direndahkan seperti itu tidak apa-apa karena memang aku belum bisa memberikan nafkah yang layak untuk Halwa.'
Hasan mengemas pakaiannya. Sebelum itu dia menulis surat.
[Aku hanyalah seorang pemuda yang berani mencintai seorang Ratu. Seharusnya aku sadar diri dari awal. Seharusnya aku sadar dari awal. Agar aku tidak tersakiti semakin parah seperti ini. Terima kasih kamu sudah memberikan apapun kepadaku. Fasilitas mewah. Kehidupan mewah makanan enak setiap saat. Tapi rasanya aku sudah tidak pantas lagi. Silakan saja kamu hidup bahagia dengan seseorang yang kamu cintai. Aku menyerah Halwa. Sekarang aku menerima kenyataan bahwa aku hanyalah sosok pemuda yang hidup kepada sang istri. Sangat tidak bermoral dan tidak punya malu. Sekarang aku punya malu Dan aku sadar diri. Aku sudah tidak layak untukmu dan silakan hidup berbahagia dengan orang lain. Semoga kamu bisa menemukan sosok suami yang mencintaimu apa adanya. Tenang saja, Aku akan segera mengurus surat perceraian kita. Walaupun prosesnya sedikit lama aku mohon kamu bisa bersabar karena aku memang harus cari uang lebih dahulu. Selamat tinggal Halwa. Semoga kamu bahagia. Tertulis Hasan.]
Hari demi hari berlalu setelah Hasan meninggalkan surat itu. Hasan sama sekali tidak pernah ingin tahu keadaan Halwa yang bagaimana. Hasan sembunyi di kampung terpencil. Di sana dia ikut seorang kakek tua bagai macam sayuran dan buah.
Setelah menghilang dari sang istri selama tiga bulan. Akhirnya Hasan datang ke rumah Halwa dengan membawa surat cerai.
Rumah itu terlihat sunyi dan sepi serta Hampa. Seperti tidak terurus sama sekali. Hasan datang. Dan asisten rumah tangga menyambutnya.
"Neng Halwa, Mas Hasan datang ...." Sorak asisten rumah tangga itu menyambut Hasan dengan penuh bahagia.
Hasan berusaha biasa saja dan tidak ingin berharap lebih untuk memperbaiki rumah tangganya. Dia menghadap keluar halaman dan melihat bunga yang disukai istrinya mulai layu dan mati.
"Kenapa kamu baru datang sekarang. Lihat keadaan Halwa tanpa kamu." Azam mengatakan itu. Hasan hanya tersenyum remeh kemudian memberikan surat cerai itu kepada Azzam.
"Minta dia menandatangani surat cerai ini." Hasan tidak mengatakan apapun setelah itu dia berjalan cepat meninggalkan rumah Halwa.
"Kamu sangat keterlaluan dan kamu tidak punya hati Hasan. Selama ini Dia menunggumu sampai keadaannya tidak terkontrol. Aku sengaja mengatakan itu aku mengatasi perasaannya dan kamu pun marah hanya karena ucapanku tanpa berkata apapun dan tanpa bertanya apapun. Aku yakin kamu kecewa karena perkataanku waktu itu. Aku hanya mengetes perasaanmu dan perasaan Halwa. Aku ingin tahu kamu akan bertindak apa setelah aku mengatakan itu. Ternyata kamu bukan sosok pria yang berani. Kamu malah menghilang tanpa mengabari siapapun. Halwa patah semangat dan patah arah. Apa kamu tidak bisa melihat cintanya? Sekarang lihatlah keadaannya yang kembali kritis. Lagian Sebenarnya aku adalah kakaknya bukan siapa-siapanya. Aku kakak kandungnya. Dan sekarang semua keputusan ada di tanganmu. Kamu mau menerimanya kembali memperjuangkannya atau kamu tetap melarikan diri seperti itu. Aku akan pergi karena aku memang ada pekerjaan di luar kota. Aku juga sudah beristri. Aku dan Halwa adalah adik kakak. Kami lama terpisah dan aku sengaja mengatakan itu karena aku ingin mengetes kemampuanmu. Aku kagum kepadamu. Kamu berani berjuang dan tidak marah ketika aku mengatakan itu. Tapi tidak suka aku kamu langsung Segera melarikan diri. Kamu sama sekali tidak mempedulikan perasaan Halwa. Kamu sangat tega dan kamu membuat aku kecewa. Dan sekarang apa ini. Surat cerai? Kamu memberikan surat cerai? Sungguh kamu itu benar-benar tidak bisa diduga dan antik. Aku pergi. Tapi saran aku untuk sejenak coba kamu tengok istrimu."
Setelah mengatakan dengan tuas menasehati Hasan. Azzam berjalan cepat masuk mobil kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Sementara Hasan masih saja dilema dengan pikirannya.
"Apakah keputusanku waktu itu benar-benar salah? Apa aku sangat keterlaluan kepada Halwa. Kenapa Aku sama sekali tidak memperjuangkannya? Apa aku terus berpikiran Jika dia baik-baik saja tanpa aku."
Setelah berpikir sangat lama Hasan pun memberanikan diri kemudian menatap rumah megah itu. Sejenak dia mengambil napas panjang kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah megah.
Hasan berjalan cepat memasuki ruangan yang dulu pernah menjadi kenangan indah bersama dengan istrinya. Di sana istrinya Tengah memakai mukena sambil menangis.
"Aku berusaha pasrah dengan apapun cobaan dari Allah. Tapi hatiku tidak bisa lagi menahan gejolak rindu kepada Mas Hasan. Terserah Allah nanti nya bagaimana? Aku sekarang bisa Tegar. Tapi hatiku sangat kritis rasanya. Aku sama sekali tidak menduga Jika dia akan pergi meninggalkanku."
Suara tangis haru itu. Memenuhi ruangan. Gadis yang berbaring dengan mukenanya sambil memutarkan tasbih. Membuat Hasan pelan-pelan berjalan menghampiri istrinya.
"Aku berada di sini sekarang. Aku memang sempat menyerah. Aku kira kamu tidak memiliki perasaan lebih kepadaku. Halwa, bisakah kamu bangun untukku." Hasan mencoba memberikan tubuh Halwa.
Begitu terkejutnya Hasan ketika melihat raut wajah Halwa yang lemah tiada daya serta kelopak mata yang hitam. Tangis Haru dan pecah dan segera pun asisten rumah tangga membawakan makanan untuk Halwa.
"Selama ini dia hanya minum air putih. Makanya mungkin seminggu sekali. Dia meminta aku tidak membersihkan rumah. Tolong bujuk Neng Halwa untuk makan," pinta asisten rumah tangga itu kepada Hasan.
Hasan menulis penuh haru dan pilu raut wajahnya berubah menjadi kesedihan yang teramat dalam. Hatinya juga merasakan sakit yang sungguh terlalu.
"Maafkan aku yang datang terlambat. Maafkan aku yang menyakitimu. Aku Yang Pergi Tanpa Alasan. Maafkan Aku yang sudah jahat kepadamu. Maafkan aku yang tidak merasakan sakit mu. Maafkan aku yang selalu berpikiran kamu tidak memiliki perasaan apapun kepadaku. Maafkan Aku."
Tangis Hasan benar-benar terpecah, dia sangat marah ketika melihat istrinya dengan kondisi seperti itu.
"Bersediakah kamu makan untukku. Aku berjanji aku tidak akan lagi meninggalkanmu." Hasan terus membisikkan sesuatu ke telinga Halwa.
Dia terus membisikkan kalimat syahadat di telinga kanan sang istri yang tidak berdaya dan sangat lemah. Tiba-tiba terasa ada kehangatan yang menyentuh pipinya. Hasan segera membuka mata dan tidak henti mengecupi wajah istrinya. Dia terus menangis dan terus meminta maaf.
"Aku tidak bisa mengatakan apapun selain maaf. Aku sangat menyesal dan benar-benar menyesal. Hik hik hiks est ... aku sudah berada di sini dan sudah berada disampingmu. Maafkan aku yang selalu meragukanmu. Maafkan aku yang egois tidak memperdulikan perasaanmu. Halwa Bukalah kedua matamu. Dan makanlah sesuatu untukku."