Jono berjalan kedepan dimana bapak nasi padang sedang menyiapkan pesanan kami. Agak lama dia ngobrol dengan si bapak, diselingi oleh senyam senyum dari keduanya. Mungkin saja si bapak sedang menawarkan anak gadisnya kepada Jono untuk dijadikan istri dimasa depan.
"Nggi, gue boleh minta satu hal." ucap Jono setelah kembali duduk. Apa ini? Jadi saksi pernikahan dia dengan anak bapak nasi padang?
"Apa?"
"Boleh panggil gue dengan Nathan aja?"
Sumpah. Gue tersedak air yang baru saja gue minum. Ini anak satu ada-ada saja omongannya.
Memang sih, namanya Jonathan dan katanya Ana lagi dia kalau di rumah dipanggil dengan nama Nathan. Tapi itu dia sewaktu di rumah. Lah ini, bukan kewajiban gue juga untuk mengikuti nama panggilan dia kan?
Tetapi, mungkin akan berbeda cerita jika saja dulu dia tidak membuat gue jatuh ke sawah hingga malu tujuh ribu persen. Mungkin akan gue pertimbangkan memanggil dia dengan Nathan.
Jono adalah nama yang terbaik yang bisa gue sebut terkhusus untuk si anak satu ini.
"Maaf ya, gue nggak bisa Jon." kata gue berusaha dengan nada yang wajar. Andai dia tahu, di dalam dada gue sedang berkobar-kobar teringat kejadian dulu dan dalam imajinasi gue sedang mencekik dia yang permintaannya tidak masuk akal.
"Serius ini gak bisa?"
"Tiga rius Jono. Dan kalau pun lo nyogok gue dengan spagetti buatan lo yang kata Ana itu enak banget gue tetep nggak bisa." duh kenapa sih gue harus membawa-bawa nama makanan segala?
"Yakin nggak bakalan nyesel?" ya Allah, ini anak kok jadi nge-drama... Ampuni hamba-Mu ini yang tidak bisa tidak untuk mengutuk dalam hati.
"Lo kenapa sih? Perasaan nama Jono juga nggak jelek-jelek amat. Dan lebih membumi gitu loh." gue protes karena didesak terus.
"Emang kalo Nathan nggak?"
"Nggak. Kalo kita tinggal di Jakarta atau kota besar lainnya mungkin bisa gue pertimbangkan. Ini kita cuman ada di jawa, di Prembun. Kampungnya orang ngapak, ya gak cocok." jelas gue.
"Tapi disini orang-orang bicaranya pakai bahasa Kedu, Nggi. Yang belakangnya ada o-nya." aduh gusti...ini anak satu memang kelewat pinternya! Kenapa juga harus diperjelas soal bahasa daerah sih?
"Iya deh profesor, gue nyerah. Tapi tetap saja gue nggak bisa panggil lo lebih dari Jono. Titik." sela gue sebelum Jono membahas soal bahasa lebih panjang lagi.
"Oke, oke. Mending makan aja. Kasian perut lo udah bunyi dari tadi." timpal Jono tertawa kecut. Kecewa pasti dia.
"Sebelumnya makasih ya buat traktirannya." kata gue lagi sebelum mulai makan.
"Ya."
Kita makan dalam diam. Selain karena memang gue sudah lapar banget dan tidak ada lagi topik atau pun bahan sebagai obrolan, mungkin juga karena Jono tengah kecewa gue tidak bisa memanggilnya dengan nama Nathan.
Duh, untuk membayangkan saja saat gue memanggil Jono dengan Nathan itu otak dan nurani gue tidak mampu. Apalagi harus diwujudkan di kehidupan nyata. Gue minta maaf ya Jono. Sekali pun sudah di tranktir makan, gue tetap nggak bisa.
Kemudian Jono mengantar gue sampai sekolah lagi. Pagi tadi gue berangkat sekolah naik sepeda dan akan menjadi aneh jika pulangnya sepeda tidak ikut dibawa. Pasti akan ada rentetan pertanyaan yang keluar dari mulut ayah melebihi panjang kereta api.
"Yakin cuma sampe sekolah?" ulang Jono untuk ketiga kalinya. Masih berusaha menawarkan diri mengantar sampai ke kontrakan.
"Kan udah gue bilang tadi. Gue berangkatnya naik sepeda. Lagian ini hari masih terang benderang, gue nggak pasti pulang selamat sampai tujuan." elak gue untuk yang kesekian kali.
"Sepedanya nanti gue anter setelah lo, Nggi." duh buset ini anak masih tidak mau menyerah.
"Kenapa sih ngotot banget pingin anterin gue pulang? Jangan bilang lo pengin liat stasiun?"
"Ya nggak lah. Hanya saja...mastiin lo sampai rumah."
"Ngomong-ngomong soal rumah nih, kenapa bisa lo nyasar sekolah di Prembun? Bukanya Surabaya lebih enak?" gue mengalikan pembicaraan yang pasti nggak akan selesai. Dan karena gue penasaran dengan cerita Ana yang katanya Jono lama tinggal di Surabaya lalu tiba-tiba pindah ke Prembun. Aneh kan?
"Oh itu. Mau denger ceritanya?" tanya Jono malas.
"Iya, iya." ucap gue yakin dan penuh semangat. Dari pada tolak menolak penawaran pengantaran sepeda gratis.
"Sebenernya nggak ada yang spesial juga. Cuman, Surabaya itu membosankan. Tapi...karena gue minta pindah ke Praha nggak boleh, akhirnya gue asal sebut nama Prembun deh. Lalu, seperti yang lo lihat gue sekarang disini. Ternyata kota kecil jauh lebih menyenangkan dari Surabaya." tutur Jono dengan mimik serius.
Asli, gue sampai menggaruk-garuk telinga sendiri karena merasa ada yang salah dengan pendengaran gue. Pasalnya Jono bilang kalau Surabaya itu membosankan dan Prembun menyenangkan. Itu kebalik kan? Setidaknya berbanding terbalik dengan apa yang Stefie rasakan.
"Lo lagi nggak demam kan Jon? Tadi itu lo nggak salah omong kan?" tegas gue memastikan kebenaran ucapan seorang cowok bernama Jonathan Marthies Hyedt, yang karena frustasi tidak bisa balik ke kampung halaman di Praha hingga melayangkan pilihan yang asal-asalan ke Prembun.
Kayaknya sedikit mirip ceritanya dengan seseorang. Siapa ya?
"Gue sehat Nggi. Surabaya itu panas, polusi, macet dan nggak mungkin kalo terus disana gue bakal ketemu lo---"
HP jadul gue berbunyi dengan suara keras sesuai setingan gue saat ada di luar ruangan, mengagetkan jantung gue yang langsung ambyar. Aseli, nada deringnya berhasil membuat orang ingin bersumpah serapah.
Siapa sih yang berani mengubah-ubah volume suara HP gue?
"Nggi, lo dimana?" suara Ana dari seberang telepon terdengar panik.
"Kan tadi gue udah pamit mau balik." sembur gue dengan memegang dada karena detak jantung gue masih kacau sebab bunyi HP yang enggak banget.
"Tapi lo dicariin Edi, mau ditraktir nasi padang katanya." seru Ana. Gue masih bisa mendengar suara musik Dolalak sebagai latar belakang, walau suaranya tidak sekeras tadi.
"Udah kenyang." gue menutup telepon dengan kesal. "Pokoknya, mulai besok gue nggak akan bawa HP jadul ini lagi." lanjut gue lebih kepada diri sendiri.
Tetapi gue lupa. Jono masih ada didekat gue. Jelas terlihat cowok itu sedang senyam senyum nggak jelas.
"Nggi, sebegitu terganggunya lo dengan bunyi HP sendiri?"
"Nggak gimana coba? Suaranya saja berhasil membuat orang pengin ngomel."
"Mau tukeran sama HP gue yang dirumah? Kebetulan nggak ada yang pake tapi masih bagus."
"Nggak. Ini HP warisan ibu gue tau. Apa mau dikata kalo suatu hari ibu gue tanya HP pemberiannya?"
"Ya udah. Nggak jadi tukeran, HP gue yang di rumah buat lo aja. Mau kan?"
"Nggak."
"Yakin?"
"Ih... lo modus banget sih."
"Modus dari mana?"
"Dari Hong Kong."
-TBC-
cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705
Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?
Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.
Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/