Chereads / Masa Mudaku Kisah Cintaku / Chapter 10 - MKC 10 Harga yang Mahal

Chapter 10 - MKC 10 Harga yang Mahal

"Ya elah Res, Annalia itu kan tomboy. Mana dia paham begituan." sela Stefie. Dan langsung diaminkan oleh mereka dengan anggukan sebanyak tiga kali.

"Lo sih Nggi...punya temen cewek tomboy gitu. Bisa-bisa nanti lo juga ikutan tomboy." pekik Riska setengah tertawa.

"Duh, Ris... harusnya lo senang dong. Jadi berkurang saingannya." ledek Stefie.

"Lo juga kan Stef?"

"Gue? Jonathan itu terlalu sulit untuk digapai, mending buat cuci mata."

"Bener juga sih. Lagian ya, gue denger dia nggak ada minat sama cewek-cewek kampung kaya kita."

"Lo ajah kali...gue kagak. Gue ini dari ibukota loh. Catet itu." decit Stefie tidak terima disamakan dengan cewek asli Prembun.

"Iya maaf deh, cewek kota. Hihihihi..." kekeh Resti dengan mimik muka yang lucu.

Gue hanya bisa mendengarkan pembicaraan tiga cewek yang absurd ini. Sepertinya, dimana pun sekolah itu pasti akan ada topik-topik obrolan semacam ini.

Lalu, kemana saja gue?

Selama sekolah dulu apa saja yang gue obrolkan bersama teman sekelas?

Jawabannya tidak ada.

Dulu, gue nggak ada terbersit pemikiran seperti semacam itu sedetik pun. Gue hanya sibuk mengeluh perihal nasib gue yang tiap tahun pindah-pindah dan melampiaskannya dengan bermain badminton, atau bergaul dengan bapak tukang parkir, atau mengemis kasih sayang ibu-ibu warung dekat stasiun demi bisa menonton pertandingan olimpiade badminton.

Gue baru menyadarinya sekarang. Ternyata gue se-purba itu jaman dulu sampai detik ini. Gue fakir pergaulan yang modern. Itu juga yang membuat gue hanya bisa merasa nyaman berteman dengan Ana ketimbang Duo R maupun Stefie.

Tiba-tiba saja gue merasa terkucilkan dari golongan spesies cewek. Gue ternyata nggak semenarik itu untuk ikut serta dalam ajang pembicaraan dalam lingkup cewek-cewek kelas. Gue hanya sebutir debu di lautan padang pasir. Super kecil, hampir tidak terlihat dan nyaris tak teranggap serta bisa hilang kapan pun saat hujan turun.

"Nggi...Anggi...!" seru Ana yang tiba-tiba nongol dari arah pintu. Napasnya ngos-ngosan seperti habis berlari.

"Kenapa An? Kayak habis dikejar setan aja." celetuk Stefie yang juga ikutan kaget.

Kelas sudah bubar lima menit yang lalu, gue sedang siap-siap pulang bareng Stefie.

"Lo ke rumah gue ya sekarang. Penting." perintah Ana sambil berjalan mendekati meja gue.

"Ada apa?"

"Hari ini ada acara arisan dadakan. Mama minta gue pulang bantuin tapi sekarang gue harus ke Tamtam mau tanding. Jadi lo yang harus bantu ya?"

"Tapi gue udah janji mau main bareng Stefie." decit gue lalu menengok ke arah Stefie meminta pertolongan.

Gue dilema diantara dua pilihan.

"Stef, boleh kan kalo Anggi gue pinjem dulu hari ini?" tanpa permisi Ana langsung menyerobot.

"Hemmm...mau gimana lagi Nggi, kayaknya emang lo lebih dibutuhkan sama mamanya Ana. Kita bisa main bareng kapan-kapan." ucap Stefie yang langsung beranjak pergi. Gue yakin dia kecewa.

"Yuk." ajak Ana menyeret gue ke pakiran.

Kok, gue merasa nggak enak banget sama Stefie juga Ana. Gue merasa sedang berkhianat. Tapi, jujur saja dalam lubuk hati yang paling dalam gue lebih memilih bantu-bantu acara arisan ketimbang ngobrol-ngobrol cantik sambil menonton drama korea yang sudah direncanakan oleh Stefie dan Duo R.

"Lo ikut pulang dulu kan?" tanya gue masih binggung karena efek diseret paksa hingga parkiran.

"Duh, nggak bisa Nggi. Ini udah ditunggu. Nih kunci motor gue, sekalian dibawa pulang tas gue ya." ucap Ana yang tergesa-gesa sembari menyerahkan tas ransel dan kunci kontak motor, kemudian berlari menjauh. Menghilang dibalik tembok kantor TU.

Mungkin ada lima menit gue begong di parkiran. Suer, masih binggung. Bukan karena gue nggak bisa bawa motor, bukan juga karena gue belum punya SIM, atau karena gue nggak hapal jalan ke rumah Ana. Tapi, ini cerita gue pulang sekolah langsung ke rumah Ana tanpa bareng sama tuan rumah. Seumur hidup gue belum pernah mengalami kejadian semacam ini.

"Kok ngelamun?"

"Lah elo kok disini?"

"Gue berangkat pake motor, mobilnya udah penuh sama kakak kelas."

"Trus Edi sama Ebi mana?"

"Mereka ikut mobil pelatih sekaligus dokumentasi."

"Kenapa lo nggak ikut bareng?"

"Kenapa juga lo banyak tanya? Padahal tadi udah gue jawab." gerutu Jono agak kesal. Memandang gue lekat dengan tatapan ngeri.

"Oh..." gue kehabisan kata-kata.

"Kirain lo mau kabur gitu." tambah gue asal.

"Niatnya tadi gitu dan ternyata gue butuh balik ke rumah sebentar. Ada yang ketinggalan, juga Edi minta diambilin kaos ganti."

"Ya udah sana gih. Cepet pulang, ntar ketinggalan loh."

"Bukannya lo mau ke rumah Ana? Bareng yuk." ajak Jono sok perhatian.

"Nggak perlu. Gue bisa bawa motor kok."

"Iya gue tau. Yang gue khawatirkan keselamatan motor Ana-nya. Hahaha..." gelak Jono tanpa niat untuk tertawa, sehingga membuat suara tawa jadi aneh.

"Au ah gelap." ketus gue mendadak sebal sendiri. Gue sadar diri kok kalau gue bukan tipe yang musti dikhawatirkan. Tetapi Scoopy model terbarunya Ana yang harus gue jaga baik-baik sampai rumah dengan tetes darah penghabisan.

"Yee...gitu aja sewot. Ngomong-ngomong kapan mau beli HP yang kemarin gue tawarin?"

"Itu seri X kan?"

"Kayaknya sih iya."

"Gue nggak berani Jon. Terlalu mahal."

"Mahal gimana? Kan gue jual seharga seratus ribu rupiah Nggi."

"Ya itu dia...harga bekasnya aja lima jutaan. Masak gue bayar cuma seratus. Nanti gue dikira nyolong."

"Siapa yang berani bilang gitu?"

"Ya kali ada nantinya...udah deh gue nggak berani. Maaf." ada sedikit sesal sesaat gue ngomong begitu. iPhone X seharga seratus ribu? Mungkin kalau otak gue geser sedikit saja langsung gue ambil itu HP.

"Ya udah deh...jadi lo mau bayar berapa? Lo mampunya bayarnya berapa Nggi?" dasar ini anak masih ngotot juga.

"Lo cari pembeli yang lain aja deh Jono." decit gue, kelamaan ngobrol bisa-bisa gue nggak sampai rumah Ana deh.

Pada akhirnya gue mengabaikan ocehan Jono yang entah apa lagi. Secepat yang gue bisa, motor Ana gue pacu di jalanan yang tidak begitu ramai.

Sore hari sehabis hujan turun, bahkan gerimis masih sesekali turun hingga dikejauhan tercipta selengkung pelangi yang indah. Gue tahu Jono masih ada dibelakang motor yang gue bawa. Karena gue nggak peduli dan pelangi sore dikala gerimis terlalu sayang untuk tidak dinikmati, gue melaju motor dengan kecepatan sedang. Hingga lima belas menit berlalu, membawa gue sampai ke rumah Ana yang besar.

"Jon, nomer HP lo berapa?" tanya gue sesaat sadar dia memarkirkan motornya disamping motor Ana.

[]

Hari Sabtu dan Minggu bisa dikatakan sebagai hari kemerdekaan buat gue. Bagaimana tidak? Setelah satu pekan gue disibukkan oleh kegiatan sekolah yang menguras energi jiwa dan raga, akhirnya gue bisa menjadi seorang Anggi yang mencintai badminton dengan sepenuh hati.

-TBC-

cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705

Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?

Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.

Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/