Gue hanya bisa mendengus kesal. Berusaha bersikap wajar alih-alih menutupi rasa tidak nyaman. Bukan seperti ini gue ingin diperhatikan orang-orang. Bukan dengan cara seperti ini gue ingin dikenal. Bukan gue juga harus paranoid.
"Lo kenapa An?" sungut gue sebagai tanda protes akan aksi hebohnya barusan.
"Iiish, sensi banget elo ya. Tenang saja, kejadian kemarin akan menjadi angin lalu. Secepat kilat kok. Kalau ada yang berani ganggu lo, jangan sungkan untuk lapor gue." tutur Ana penuh semangat, seolah hal krusial bagi gue tersebut hanyalah iklan lewat baginya.
Kami memasuki kelas yang sudah lumayan ramai oleh para buaya darat yang satu diantaranya ada makhluk berwarna hitam keriting tak terdefinisi bernama Budiman.
Cowok itu benar-benar jauh dari cerminan dan makna luhur nama yang disandangnya. Gue merasa kasihan pada orang tua Budi yang tentu saja tidak tahu kelakuan anaknya tersebut.
Jika boleh diibaratkan sesosok hewan maka akan gue sebut Budi dengan nama bunglon. Benar sekali. Kelakuan cowok hitam bin keriting itu sangat tergantung dengan habitat yang ia singgahi. Contohnya sekarang, dia asyik ber-ambyar ria tanpa beban padahal kemarian berucap akan menjadi asisten gue. Lain hari lain perilaku memang itu anak satu.
"Hai Jon. Tumben siangan." tegur Ana saat si bule kambing tersebut secara paksa memasukkan tiga botol besar shampo beraroma stroberi kedalam tas gue.
"An, akhirnya shampo ini bertemu dengan jodohnya. Setelah sekian lama bertapa di lemari."
"Jadi elo bilang tadi sibuk itu cari-cari itu barang?" tunjuk Ana ke tas gue. Lebih tepat yang barusan Jono masukkan.
"That's right." angguk Jono tanda setuju.
"Tapi lo belum minta ijin guenya mau apa tidak kan?" gue protes tidak terima. Walaupun itu The Body Shop yang katanya mahal.
"Harus terima Nggi. Nanti shamponya nangis karena terlalu lama menunggu." sanggah Jono sembari menahan tangan gue yang berusaha mengeluarkan botol shampo dari dalam tas.
"Namanya pemaksaan ini. Kemarin gue terima karena emang gak bawa shampo." harga diri gue terluka.
Tetapi, seolah apapun yang gue ucap tidak berkesan hingga bisa masuk kedalam otak Jono yang bersikeras. Dan gue Anggi Sekar Arum tanpa daya harus menerima apa yang terjadi. Bisa gue bayangkan saat shampo itu gue berikan kepada ibu pasti akan langsung histeris bersuka ria. Tipe ibu-ibu penyuka barang gratis garis keras.
---
Jika ekspektasi sebagai murid baru adalah jam kosong diawal ajaran baru maka sekolah kami merupakan pengecualian. Ibu wali kelas sudah siap duduk di singgahsana memberikan agenda pembelajaran di satu semester ke depan.
Tujuh puluh persen praktek dan sisanya teori. Mengerikan bukan!
Bukan karena takut kulit gue berubah menjadi gelap tetapi apa kabar rambut panjang gue ini?
Harus gue akui, beranjak remaja membuat gue merasa terlalu dibebani dengan perawatan rambut gue sendiri. Walau hanya keramas dengan shampo warung dan satu bulan sekali memakai creambath, tetap saja itu berat.
Memiliki rambut panjang berarti proses pengeringan rambut yang lama. Belum lagi ibu melarang keras menggunakan hair dryer!
Jadilah ide licik ini muncul. Gue harus menabung, dengan berusaha menyisakan uang saku yang tidak banyak untuk biaya potong rambut.
"Berapa sih ongkos potong rambut?" Ana mengeluh karena gue menolak ajakan untuk makan di kantin sekolah yang harganya lumayan.
"Bagi lo emang kecil An. Dua puluh ribu perak dibagi dua ribu itu sepuluh. Artinya gue harus hemat selama 10 hari." usaha gue menjelaskan kondisi keuangan gue yang sebenarnya.
"Kalo itu sih gampang. Nanti pulang sekolah ikut bareng gue ya." paksa Ana sambil terus menyeret lengan gue memasuki kantin.
"Gue traktir Nggi." usul Jono yang entah sejak kapan berada diantara kami. Mendorong kami berdua duduk disalah satu bangku kosong.
Benar saja.
Bel tanda pelajaran terakhir berbunyi Ana langsung menghampiri gue. Tidak memberi kesempatan untuk melarikan diri.
"Mau kemana?" tanya gue penasaran.
"Pokoknya ikut."
Mengikuti apa yang Ana katakan. Menuruti apa mau dia itu siaga satu.
Pertemanan kami memang baru seumur jagung tetapi menilik apa yang sudah-sudah bersama dengan Annalia itu seperti ikut ke dalam sebuah petualangan tanpa petunjuk. Lebih karena gue anak baru di Prembun.
Dengan membonceng motor matic Ana kami sampai di sebuah salon wanita dengan cat pink pastel, tidak banyak poster yang terpajang di dindingnya, hanya satu saja yang bisa gue kira sebagai artis korea terkenal dimana tertulis disampingnya aneka perawatan yang disediakan oleh salon Jelita tersebut.
Memasuki dalam salon yang memberi kesan cewek banget ditambah ruangan yang tertata rapi, pasti salon Jelita merupakan salon orang kelas atasnya warga Prembun. Gue hanya bisa menelan ludah, belum siap mengeluarkan uang gue yang pasti tidak akan cukup untuk sekedar potong rambut.
"Bu, ini teman Ana namanya Anggi. Boleh minta tolong gratisin potong rambut?" ucap Ana yang sontak membuat gue tercengang.
"Jangankan potong rambut An. Semua perawatan yang ada disini ibu bisa gratiskan untuk teman kamu yang cantik ini." kata ibunya Ana datang menghampiri. Gue salaman sambil gemetar karena gugup. Tanpa aba-aba mengenalkan gue dengan orang tuanya sekaligus pemilik salon.
Gue selalu merasa hanya butiran debu disaat-saat seperti ini. Punya teman anak orang berada menjadi satu beban berat tersendiri. Apalagi dengan acara begini.
"Gratis An?" bisik gue ke Ana dengan sangat pelan. Hanya untuk memastikan apa yang sekarang gue alami ini bukan mimpi di sore hari yang panas.
Annalia tersenyum seperti biasanya. Seolah bukan apa-apa. Yang bagi gue sendiri baru pertama kali menginjakkan kaki di salon untuk potong rambut.
…
Panas.
Haus.
Lemas.
Bukan karena hari ini gue puasa tapi jadwal praktek lapangan seharian yang mendadak membuat shock lambung gue yang sahur hanya dengan sepiring nasi goreng. Ditambah cuaca hari ini luar biasa panas, lengkaplah sudah cobaan yang gue hadapi.
Semoga saja gue bisa khatam puasa sampai bedug maghrib. Amiin.
Kembali lagi ke topik praktek lapangan alias di sawah. Karena angin puting beliung semalam membuat tanaman padi roboh hampir seluruhnya di area praktek sekolah, jadilah kami anak kelas sepuluh dikerahkan untuk membantu kakak kelas panen padi.
Jangan dikira kami boleh seenaknya. Bermain atau berlarian tanpa tujuan, itu sangat dilarang. Kami harus benar-benar membantu dan diawasi ketat oleh guru pembimbing. Bahkan Stefie pun tidak bisa berkutik.
"Tuhan, apa dosa hamba yang tak berdaya ini?" erang Stefie yang mukanya sudah memerah, penuh peluh bercucuran.
"Dosamu hanya satu yaitu telah lahir ke dunia." sahut Andi penuh penghayatan. Sontak mendapat gebukan keras dari Stefie yang tidak jauh dari posisi Andi sedang meng-ani padi yang menguning.
"Lo ya, bukannya bantu malah menabur garam diatas luka gue." sembur Stefie masih bersungut-sungut.
-TBC-
cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705
Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?
Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.
Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/