Jadi sebenarnya gue merupakan tumbal demi kepentingan Ana sendiri.
Merasa jadi tumbal atau bukan itu masalah nanti, yang penting gue bisa mandi air hangar di shower kamar mandi rumahnya Ana. Semua pikiran tidak baik gue hari ini luruh bersama peluh yang terbasuh air hangat. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Nggi?
"Nggi, tolong panggil Ana gih." pinta ibu Ana dari arah dapur.
"Iya bu." balas gue masih dengan handuk membalut rambut.
Satu jam yang lalu Ana pamit mau berenang di kolam renang belakang rumah Jono, jadi itu tujuan gue sekarang.
Ada pintu samping yang menghubungkan pekarangan rumah Ana dengan rumah Jono dan berada tidak jauh dari teras samping.
Untuk pertama kali gue menginjakkan kaki di rumah itu. Dengan halaman belakang yang cukup luas, ada banyak pohon palem tumbuh mengelilingi rumah berlantai dua bergaya maroko yang dicat serba putih. Disudut pekarangan ada pohon bambu kuning yang terawat dan sebuah bangku kayu dimana berdiri bangunan rumah yang ukurannya lebih kecil dimana tampak kaca-kaca besar transparan memperlihatkan isi ruangan yang ternyata dapur.
Kolam renang ada di antara dapur dengan rumah yang dihubungkan oleh selasar seperti di rumah sakit.
"An, dipanggil ibu." seru gue ke Ana yang masih sibuk berenang di kolam ukurang sepuluh kali lima meter tersebut.
Sambil menuggu Ana yang katanya mau berbilas lalu masuk ke belakang dapur, gue duduk di tepi kolam. Memasukkan kaki gue ke dalam air. Segar dan dingin.
"Hai..." sapa sebuah suara dari arah rumah. Saat gue menenggokkan kepala ternyata Jono.
"Hai, Edi dan Ebi mana?" ucap gue berbasa basi.
"Lagi edit video diatas. Mau lihat?" tapi orang yang bilang malah duduk disamping gue.
"Kapan-kapan deh, nunggu Ana doang lagian ini sudah mau buka puasa." gue merasa canggung banget ini, hanya berdua sama tuan rumah. Kenapa Ana lama banget mandinya sih?
Biasanya gue banyak omong tapi kali ini gue seperti kehabisan kata-kata. Pertama karena puasa, kedua karena capeknya kelewatan dan ketiga gue belum terbiasa melihat Jono selain dengan seragam sekolah atau kaos olahraga. Di rumah, dengan pakaian santai Jono tampak seperti bule sungguhan.
"Nggi, nanti pulangnya pake mobil Jono ya." kata Ana saat kami masuk ke rumah.
"Eh? Lo nggak berani anter gue sampai minta tolong dia?"
"Ya nggak lah dodol. Gue minta Jono temenin ke Jadi Baru, ada perlu dan butuh juga bawa barang banyak."
Apapun kepentingan Ana itu gue tidak peduli. Tetapi pulang dianter selain Ana ditambah itu adalah Jono yang tadi membuat gue kehabisan kata-kata merupakan bencana tersendiri.
Hari ini gue sudah banyak memakai stok kesabaran, dan sekarang gue harus menggunakannya lagi yang tinggal remahan?
Anggi...
Dosa apa yang telah engkau perbuat hari ini?
Salah satu personil trio kibul yang bernama Edward van Joseph alias Edi sekarang ini sedang keranjingan Dolalak. Hampir setiap hari, sepulang sekolah dia dan Ebi pasti sudah kabur lebih dulu berburu pertunjukan Dolalak disekitaran Prembun yang tengah naik daun.
Dolalak itu sendiri merupakan seni tari tradisional daerah asal Purworejo. Konon pada awalnya tarian yang dilakukan oleh kaum laki-laki tersebut dipentaskan untuk menyambut tamu saja, namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman serta alasan melestarikan kesenian daerah, Dolalak bertransformasi menjadi lebih modern dan kekinian.
Sekarang, Dolalak bisa dipentaskan juga oleh penari perempuan dan lumrah dipentaskan di acara hajatan. Sehingga, kini terkenal luas hingga keluar kabupaten Purworejo. Dari Kebumen hingga ke daerah Banjarnegara.
Namun, bagi gue pribadi sangat menyayangkan saat Dolalak dibawakan oleh penari perempuan. Selain dandanan penari yang menor juga celana yang mereka pakai sangat mini. Seolah-olah dengan sengaja memamerkan paha putih mulus si penari.
Seperti saat ini, entah bagaimana ceritanya gue dan Ana ikut terseret oleh Edi menonton Dolalak dari sekolah Tamtam. Gue sebagai cewek tentu risih saat para penari perempuan tengah berlenggak lenggok dengan celana mini mereka. Apalagi penari-penari tersebut masih sekolah. Hati wanita gue menjerit tidak terima.
"An, pulang yuk. Panas ini." rengek gue ke Ana yang malahan ikut berjoget ria.
"Hah? Apa?" balas Ana berteriak. Suara musik di salon terlalu nyaring hingga omongan gue tidak sampai ke otak dia.
"Ya udah deh. Gue pulang dulu." pamit gue langsung kabur. Mata gue hampir saja menangis menyaksikan celana-celana mini di atas panggung bergoyang-goyang.
Biarlah hari ini gue pulang dengan mengorbankan tabungan uang saku untuk naik angkot.
Sambil menunggu angkot lewat gue bersandar di salah satu pohon depan sekolah Tamtam. Cuaca terik yang tidak bersahabat ditambah perut keroncongan gue berusaha sabar menantikan angkot yang entah masih lewat atau tidak.
Gue menyesal seribu persen untuk rayuan Ebi dan Edi yang akan traktir nasi padang setelah menonton acara yang mengumbar aurat tersebut. Kalau tahu begini jadinya lebih baik gue pulang mengerjakan PR supaya dipuji anak rajin oleh ayah.
"Kok kabur Nggi."
Gue kenal betul suara itu tanpa perlu menengok kearah asal suara. Jono. Berdiri tidak jauh dari gue dengan muka yang memerah.
"Tau ah. Udah panas, laper eh malah nontoh celana mini begitu. Mending pulang."
"Jadi karena laper?"
Gue terdiam. Tidak wajib juga harus menjawab pertanyaan yang sudah ada jawabannya.
"Kalo gitu jangan pulang dulu. Ikut gue yuk." ucap Jono lagi dan tanpa permisi menggandeng tangan gue pergi menjauh dari sekolah.
"Kemana?"
"Makan. Katanya laper."
Tidak berapa lama kami berhenti di depan rumah makan Padang. Jono membawa gue masuk dan memilih tempat duduk yang dekat wastafel.
"Kan Edi yang mau traktir. Lo nggak perlu repot gini Jon." sela gue setelah memesan nasi dengan lauk perkedel dan telor dadar, sedangkan Jono nasi rendang.
"Sama aja Nggi, ujung-ujungnya gue juga yang bayar." sahut Jono sembari berdiri menuju wastafel.
Gue hanya bisa tertegun. Teringat akan cerita Ana kalau di trio kibul itu Jono adalah penyandang dana terbesar. Kedua sepupu Jono punya jatah bulanan yang tetap namun tidak cukup banyak untuk berfoya-foya. Sedang si Jono bak seperti mempunyai kartu debit tanpa batas penarikan. Dan yang menarik adalah kenyataan itu tidak membuat Jono sombong apalagi berlagak songong. Dia lebih membumi dan terlihat sederhana secara alami. Mungkin inilah yang disebut sebagai karakter. Lahir dengan sendirinya tanpa perlu dipaksakan, apalagi dibuat-buat.
"Kok belum pesen minum?" tanya Jono membuat gue yang sedang memandang jalanan kaget.
"Es jeruk ajah kalo maksa." padahal gue sudah mengambil air putih.
Masih dikata belum pesan minum?
Ini anak satu memang tajirnya keterlaluan.
-TBC-
cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705
Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?
Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.
Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/