Emily mengikuti Sean yang akan membeli barang selanjutnya.
"Sekarang kita beli ke toko bunga" ucap Sean
"Bapak gak beneran mau santet orang kan pak?"
"Em, udah berapa kali saya bilang, jangan berburuk sangka sama saya"
"Tap... "
"Em, please saya mau ke toko bunga mau beli bunga untuk dihias dirumah saya. Paham kamu?" jelas Sean dengan wajah yang kesal
"Ohh, gitu ya pak, bapak sih coba bilang dari tadi kan saya gak bakal negative tingking sama bapak"
"Makanya lain kali mulut itu di jaga jangan
ngerocos aja kaya emak emak rempong"
What!! Sean bilang dia kaya emak emak rempong, pengen rasanya Emily menikamnya dari belakang.
Sesampainya di toko bunga Sean asik mencari bunga. dan pilihannya jatuh pada bunga lili. setiap minggunya dia selalu menghiasi rumahnya dengan bunga apa saja dan sekarang dia ingin bunga lili.
"Pak kenapa bunga lili, kenapa gak mawar aja?" tanya Emily penasaran.
Menurut Emily jika ada seseorang yang ingin memberi bunga pasti akan diberi bunga mawar karena mawar itu terlihat indah dan berani artinya.
"Karena bunga lili mengandung arti kesucian, kemurnian, ketulusan, kemuliaan, dan arti persahabatan"
"Oh gitu ya pak, kalau bunga yang cocok untuk saya pak?"
"Kamu?"sambil menunjuk Emily "kalau kamu cocoknya bunga bangkai" ucapnya tertawa
Enak aja nih boss cocoknya sama bunga bangkai, sialan.
Sean hentikan tawaannya, lalu memilih bunga lili dan membawanya ke penjualnya dan dirangkai dengan buket.
"Ini pak, sudah jadi. langsung kekasir aja pak" ucap pelayan di toko itu
"makasih"
Sean membayar bunganya setelah itu mereka menuju ke mobil. Diperjalanan mereka diam saja, sampai sampai Emily baru menyadari bahwa mobil yang ia tumpangi tidak menuju arah rumahnya dan dia sangat bingung.
"Pak, rumah saya bukan ke arah sana" ucap Emily
"Memangnya kenapa?" Sean tersenyum miring
Dengan Sean tersenyum miring, membuat Emily jadi lebih waspada.
"Bapak mau bawa saya kemana? bapak mau culik saya?"
"Saya, culik kamu. Gak ada faedahnya saya culik kamu, dasar apa saya culik kamu?"
"Tuh bapak senyum miring, serem tau pak"
"stop negative ke saya Em" ucapnya dingin
Pikiran Emily sudah kemana mana dia yakin akan di bawa ke rumah kosong dan disana ia akan di seret dari mobil dan dibunuh di rumah kosong itu dan membuang mayatnya di hutan. Membayangkannya saja dia sudah takut apa lagi kejadian benaran.
"Saya tau apa yang kamu pikirkan, tenang aja, saya gak akan membunuh kamu seperti difilm yang kamu tonton" ucapnya dengan santai.
Emily sontak kaget jika bossnya ini tau apa yang ia pikirkan.
"Kamu ikut ke apartemen saya"
"Tidak!!!!" teriak Emily
"Bisa gak, ga teriak di depan telinga saya" ucap Sean sambil memasukkan jari ketelinga yang sakit akibat teriakan Emily.
"Saya gak mau pak, perjanjiannya hanya menemani bapak kepasar gak harus ke apartemen pak" protesnya
"Kamu ikut saya atau gaji sama bonus kamu di potong!" ancam Sean. Sean tau kelemahan Emily. Sean tersenyum miring dengan muka seperti iblis
"Pak, ancamannya selalu itu" cemberut Emily
"jadi?" tanya Sean
"Mau gak mau saya harus ikut bapak, dari pada gaji saya dipotong mana bonus juga lagi"
"good girl" ucapnya
****************
Punggungnya menghempas sandaran kursi empuk yang Sean persilahkan duduki. Usai meletakaan kantong kresek berisi belanjaan, Sean memang tidak berkata panjang lebar. Laki - laki itu menyuruhnya untuk diam saja di kursi, menatapi tiga puluh tangkai lili yang diisikan kedalam vas besar ditengah meja makan sementara si bos bergerak lincah di dapur miliknya.
Emily bertopang dagu. Lili di depannya cantik sekali. Tapi kalau melihatnya terlalu lama rasanya membosankan juga.
"Hah..." Helaan napasnya terdengar berat. Tak tahan lagi, ia bangkit. Emiy berjalan mendekat menuju area peperangan Sean dengan pekakas untuk melihat apa yang sedang dikukus oleh si bos.
Sean terlihat diam saja meskipun bawahannya super keponya baru saja mengintip hasil masakannya.
"Bapak mau masak apa?"
Dilihat dari potongan ayam yang dikukus dan bumbu yang ada, sepetinya Sean akan membuat hidangan lezat.
"Ayam geprek"Jawab Sean singkat.
Laki - laki itu mengibaskan kain lap kemudian menyambar piring datar yang digunakannya untuk mencampurkan telur, garam, merica, tepung terigu.
Emily mengannguk. ahh, ternyata ayam geprek.
"Boleh saya aja yang ngocok, Pak?Saya nggak bisa masak, tapi sayabisa kocok - kocok"
Sean menatap lama sebelum mengangguk singkat. Ia juga tidak mau kalau Emily hanya makan saja tanpa membantunya.
Sean menyingkir dan memberikan jalan bagi sekretarisnya untuk menggantikan pekerjaan kocok - mengocok
Matanya ganti menatap Sean demi bisa mengalihkan pikirannya pada si merica. Si bos masih berdiri di depan panci tertutup. Celemek bewarna hitam melekat di dadanya. Emily yakin siapapun rela membayar mahal demi bisa melihat CEO Vargo Vers live memasak seperti ini.
"Bapak sejak kapan bisa masak?"
Sean hanya terdiam seribu bahasa. Sembari menunggu jawabannya dia melihat sekeliling ruangan disekitarnya yang ia pijak sambil menyelesaikan kocokannya.
Semua serba putih. Kichen set berada tak jauh dari wastafel, meja makan berada ditengan ruangan sehingga menimbulkan kesan sempit untuk dapurnya. Disana terdapat kulkas yang ditempeli stiker bergambarkan tengkorak. Menyeramkan sekaligus mampu membuat siapapun tercengan hebat.
Kesan pertama yang ia lihat apartemen bosnya sangat lah besih, rapi, dan tanpa sedikitpun debu. Manusia higienis pecinta antiseptik itu juga memiliki ruangan serba tetata seperti dapur pak bos.
Padahal dia sudah pernah kesini waktu bosnya mabuk, tapi saat itu ruangannya gelap jadi tidak terlalu jelas.
Setelah melihat, Emily menyelesaikan hasil kocokannya itu dan memberikan piring itu pada Sean kemudian kembali ketempat duduk.
Sean masih terdiam tanpa mengucapkan kata kata, mungkin jiwanya disini sedangkan rohnya sedang terbang kemana mana. Pertanyaan yang Emily lontarkan tidak ia jawab sekalipun.
Iseng Emily mengambil handphonen dari tasnya dan menghubungi bosnya yang sedang masak.
Dering ponsel tersengar tak lama kemudian. Sean tersentak. Laki - laki itu merogoh saku celananya tanpa melihat siapa yang menghubunginya.
"Bos lagi galau ya?" ucapnya melalui telpon
Sean mengernyit siapa ini, ia sangat familiar dengan suara ini. Dan ketika ia menoleh ke arah Emily ia tersadar bahwa itu ulah sekretarisnya.
"Emily, kamu kurang kerjaan sekali. tidak perlu menghubungi saya dengan jarak sedekat ini!"ucapnya.
Emily tetaplah Emily. Sejak kapan bawahan satu ini mau tunduk terhadap perintahnya?"
"Bapak diem aja, diem aja dari tadi" ucapnya yang masih menelpon bosnya.
Alis hitam laki laki itu menyatu, memang ia kalau melakukan sesuatu tidak berbicara apa apa karena baginya dengan diam mengerjakan sesuatu dia akan lebih nyaman tanpa terganggu oleh apapun.Mau tak mau ia harus menyertakan diri dalam permainan nona sekretarisnya itu, bertelponan satu sama laim padahal merekahanya terpisah jarak beberapa langkah saja.
"Saya malas, jika kamu mempertanyakan hal tidak penting"
Kurang ajar sekali bosnya berkata bahwa pertanyaannyatidak lah penting. Padahal ia cuma ingin tau aja.
"Gak sepenting itu bapak terhadap saya?"
"Ya, Emily, dan jangan memanggil saya 'bapak' diluar kantor karena saya bukan bapak kamu Emily!"
Tiba tiba saja senyum Emily mengembang sekilas ia tidak ingin bosnya melihat dia tersenyum. Sean sedang serius, sedangkan sekretarisnya menganggap sedang melawak. Wanita memang selalu memusingkan.
"Bapak kan bos saya. Ya wajarlah saya panggil bapak"
"Tapi, jam kerja sudah berakhir"
"Terus bapak mau saya panggil 'om'? atau 'mas'? tapi menurut saya bapak cocok dipaggil om"
Geraman rendah terdengar di seluruh penjuru dapur. Tatapan membunuh Sean layangkan pada elektronik ditangannya.
Sekretaris kurang asem!
"Peraturan baru kamu dilarang memanggil saya 'bapak' diluar jam kerja"
"Terus saya panggil apa kalau bukan bapak, atau saya panggil si Iblis boleh?"
Tatapan Sean menajam Ia mencermati kata kata yang diucapkan barusan melalui telponnya, namun hasilnya tetap sama. si Iblis, heh?
"Sejak kapan namanya berganti menjadi si Iblis, emang wajahnya seperti iblis"Geramnya
Emily terkikik geli. Melihat ekspresi bosnya disana.
"Dengar ya Emily Alexandria saya tidak mau nama saya di ubah seenaknya! Memangnya kamu mau membiayai saya selamatan ulang untuk mengubah nama saya? selamatan itu mahal Em, Apalagi ini tanggal tua yang mana menurut kamu katanya harus serba minimalis. Cabai rawit satu kilo tiga puluh ribu, ayam potong empat puluh ribu, bawang satu kilo tiga puluh ribu, belum lagi minyak gireng, gas, sabun cuci piring. Mahal Em"
Emily melongok dengan apa yang diucapka si boss. Sedetail itu?Ia menggeleng Sebenarnya Sean ini bekerja di Vargo Vers atau di pasar sih? kenapa sampai tau harga barang dipasar.
"No comment, pak hahahahaha..."
Kepalanya menelungkup diatas meja dapur. oh no boss macam apa sebenarnya ia?
"Em, saya ingin berterima kasih ke kamu"
"Terima kasih apa pak?" jawabnya bingung
"Jangan panggil saya pak"
"UPSS!!! Sean maksudnya
Sean melirik sekilas dengan senyum tipis. Ia membuka penutup panci kemudian
memindahkan ke sisi kompor. Dalam sekejap panci itu digantikan pleh wajan berukuran sedang yang segera diisi minyak goreng untuk dipanaskan.
Dia melanjutkan pembicaraan lewat telpon.
"Karena adanya peraturan baru yang saya buat barusan jadi kamu harus membayar denda karena kamu memanggil saya dengan sebutan bapak"
"Tap..."
"Gak ada kata tapi tapian utang harus dibayar tanpa pengecualian!"
Diam. Meresapi. Memahami. Peraturan baru yang baru saja dibuat itu....
Detik berikutnya, matanya membelalak. Emily memekik tidak terima.
"Kok gitu sih Pak? kan peraturannya baru dibuat kok bisa didenda pak"
"Kamu panggil 'bapak' lagi, denda dua kali lipat"
Sambungan telepon terputus begitu saja. Emily masih terdiam ditempat dengan apa yang baru saja ia dengar...
aarrgghhhh SI IBLIS!!!!!!!!!!!