[LUCY]
[SATU MINGGU SEBELUMNYA]
Aku tengah berjalan-jalan di kampus. Lalu, tiba-tiba ada yang menarikku dari belakang dan mendorongku ke dinding. Aah, ternyata dua berandal ini lagi.
"Biasa, setoran."
Aku mengambil selembar uang dari saku celanaku. Dan si Rius langsung mengambilnya.
"Bagus. Kau memang junior yang tidak perlu paksaan, untuk kita tagih jatah."
Aku berusaha tidak melihat wajah mereka. Menjijikkan!
Lalu, mereka pergi.
"Haha, andai saja semua junior di kampus ini seperti dia. Kita tidak harus menunjukkan kekuatan kita pada mereka."
Iya, benar. Mereka manusia iblis. Senior di kampusku. Mereka menggunakan kekuatannya untuk memalak semua junior yang terlihat lemah.
Aku bisa saja melawan mereka. Tapi, aku tidak ingin terlihat mencolok dan jika itu terjadi aku bisa diburu oleh polisi. Aku lebih baik merelakan uangku untuk mereka.
***
[MASA KINI]
"Kenapa kita berlari?"
"Jangan banyak tanya. Larilah saja!"
Aku melihat ada sebuah celah di antara dua bangunan toko. Dan ada seng yang menutupinya. Kami pun bersembunyi di sana.
"Hah, sial! Ke mana larinya dia?"
"Jika saja kita mendapatkannya, kita bisa memalak dia buat main game di mall tadi."
"Tanganku jadi gatal ingin mencekiknya."
Si Gojila mengeluarkan tangan iblisnya. Hingga membuat tubuh wanita ini gemetar. Dan dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya sendiri.
"Ah, sudah. Kita cari saja nanti di kampus."
Mereka berdua sudah pergi. Aku menghela nafas lega. Begitu juga wanita ini.
Kami keluar dari celah tersebut.
"Sebenarnya, siapa mereka?"
"Aku jelaskan nanti. Sekarang kita pulang."
***
Aku membaringkan tubuhku di sofa.
"Hah, menyebalkan sekali. Kenapa harus bertemu mereka di luar kampus?"
"Mmm, Lucy."
"Apa?"
"Aku ingin membereskan dapurmu sekarang."
"Sana dan jangan ganggu aku."
"Aku tidak tahu di mana kau menyimpan sapu dan alat pelnya."
Aku bangkit dengan perasaan gusar.
"Hhaaahh, merepotkan saja. Aku tidak punya sapu atau semacamnya. Karena, dapurku tidak pernah sekotor itu. Kalau kau mau membersihkan dapur, kau pakai saja sarung tangan karet yang ada di laci sana."
"Baiklah."
Aku kembali membaringkan tubuhku di atas sofa.
"Jam berapa sekarang?"
Aku melihat jam dinding.
"Astaga! Sudah lewat jam sepuluh. Aku harus cepat mandi."
***
"Ah, segarnya."
Memang, kalau sudah mandi, badan jadi segar kembali.
Aku melihat wanita itu masih membersihkan dapurku dan tampak sedikit kesulitan. Karena, tidak memakai alat apa pun.
"Yah, salah dia sendiri membuat dapurku berantakan."
Aku masuk ke kamar dan aku sedikit terkejut pakaianku yang akan kupakai hari ini tertumpuk rapi di atas kasur.
"Pasti wanita itu yang menyiapkan bajuku ini."
Dalam sekejap aku sudah memakai kemeja dan celanaku. Lalu, yang terakhir sepatu.
Ketika membuka pintu kamar...
"Aaahh!"
Aku sedikit terkejut mendapati wanita ini berdiri di depan pintu seraya senyum-senyum sendiri.
"Apa yang kau lakukan?"
"Menunggumu keluar."
Hhaaahh, ada-ada saja.
"Aku akan pergi kuliah. Kau tetap di sini. Nanti aku pesan makanan buatmu. Biar kau tidak mengacaukan dapurku lagi."
"Terima kasih!"
Lagi-lagi dia bilang seperti itu. Menjijikkan!
"Kunci pintu. Jangan keluar sebelum aku pulang."
"Baik."
Senyum itu lagi. Hhaaahh. Apa semua wanita seperti dia?
***
Sudah kuduga, dua berandal itu pasti menungguku di lorong ini. Menyebalkan sekali senyum menjijikkan mereka.
Aku memegang uangku di udara saat melewati mereka. Lalu, si Rius mengambilnya. Aku merasakan kebingungan di wajah mereka.
"Itu uang tambahan, karena aku berusaha kabur tadi."
***
"Hey, aku punya kabar mencengangkan buatmu."
"Apa itu?"
"..."
"Apa kau yakin itu dia?"
"Tidak. Karena, yang lihat itu kakakku."
"Jika memang benar, aku jadi takut padanya."
"Ya sudah, kita pergi saja."
Aku bisa langsung menebak jika mereka sedang membicarakanku. Aku tidak menyangka, kejadian semalam ada yang melihat. Semoga saja yang melihatku itu tidak melapor ke polisi!
Aku hampir lupa untuk memesan makanan buat wanita itu. Ah, sial! Gara-gara tugasku banyak hari ini. Aku jadi lupa.
Aku mengambil ponselku dan memesan beberapa makanan untuk wanita itu. Sudah. Lalu, aku kembali memakan makananku.
Aura ini? Hah, kenapa mereka menemuiku lagi?
Si Gojila duduk di sampingku seraya merangkulku. Sedangkan, si Rius duduk di depanku.
"Hey, boleh kita gabung?"
"Jangan so' akrab!"
"Fine."
Si Gojila kembali mengangkat tangannya dari bahuku.
"Aku hanya ingin tanya. Wanita yang ikut lari bersamamu. Siapa dia?"
"Dia..."
Sial, hampir saja aku menyebut namanya.
"Dia hanya kenalanku saja."
"Kenapa kau ajak dia lari?"
"Kenapa? Kau ingin menyantapnya juga?"
Si Rius tertawa.
"Hahaha. Kau ini. Tidak mau akrab, tapi tahu apa yang kuinginkan."
Cih!
"Kalau begitu, jika kau bertemu lagi dengannya, aku titip salam buat dia."
Malas sekali aku menyampaikan salamnya itu.
"Ayo kita cabut. Yang penting kita sudah tahu, jika wanita itu tidak ada hubungan sama sekali dengan dia."
"Baiklah."
Mereka pergi.
Aku harus semakin waspada. Aku tidak ingin Lun..., Ah sial! Kenapa aku menyebut namanya? Dan untuk apa aku peduli padanya?
***
"Buka pintunya! Ini aku."
Terdengar kunci pintu diputar.
"Akhirnya kau pulang juga."
Aku masuk tanpa memedulikan sambutannya.
"Apa ini?"
Banyak bekas bungkus makanan di meja.
"Itu makanan yang kau pesan. Aku sisakan satu porsi untukmu."
"Padahal habiskan saja. Aku sudah makan."
"Ya sudah."
Wajahnya tampak kesal saat mengambil makanan tersebut. Lalu, memakannya seraya cemberut.
Ah, sudahlah. Aku tidak peduli.
Aku masuk ke dalam kamar, menaruh barang-barangku di atas meja.
"Hey, aku membelikanmu baju lagi. Sepasang, celana dan kaos. Ini, tangkap."
"Apa kau tidak membelikanku sepatu juga? Sepatu yang aku pakai sudah tidak nyaman."
Hhaaahh, dasar wanita.
"Kau tidak akan ke mana-mana, kau tidak butuh sepatu baru."
Dia lagi-lagi memasang wajah cemberut. Menyebalkan!
***
Sudah berhari-hari aku tidak membiarkannya keluar dari apartemenku. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin dua berandal itu menemukannya. Akan sangat merepotkan bagiku jika itu terjadi.
Tapi, sekarang aku merasa bodoh. Kenapa aku menolongnya waktu itu? Dasar!
"Hey, aku ingin jalan-jalan. Bosan di sini terus."
Aku kira dia tidak akan bilang bosan. Selama ini dia tak pernah mengeluh.
"Aku yang bosan keluar. Yang kutemui di luar hanya manusia iblis saja."
"Ayolah, aku mohon!"
Aku benci jika dia sudah memohon.
"Tolonglah!"
Hhaaahh!
"Baiklah. Tapi, hanya sebentar. Cari makan. Habis itu, kita langsung pulang lagi."
"Yeeey!"
Dasar!
***
Aku dan wanita ini hendak masuk ke dalam restoran. Namun...,
"Kenapa kita berhenti? Eh, itu bukannya..."
Aku menutup mulutnya dengan tanganku.
"Diam, nanti kita ketahuan oleh mereka."
Aku membawa wanita ini mundur. Bersembunyi di balik mobil.
"Aku masih penasaran pada wanita itu. Tubuhnya kecil, tapi berisi. Pasti enak jika kusantap."
"Apa kita paksa saja manusia lemah itu?"
"Aah, buang-buang tenaga saja. Kita cari cara lain."
Aku tidak ingin berurusan dengan mereka.
"Sebaiknya kita pergi saja dari sini."
"Baik."
***
"Mereka itu berandal di kampus. Dan mereka berdua adalah manusia iblis. Yang satu suka "menyantap" wanita. Yang satunya lagi suka menyiksa siapa pun."
"Jika waktu itu mereka mengejar kita. Kenapa kau baik-baik saja di kampus?"
"Di kampus, mereka tidak akan berani berulah. Polisi pasti datang untuk menangkap mereka. Dan lagi, aku selalu memberi mereka uang."
"Memberi uang?"
"Iya, agar aku tidak diganggu oleh mereka."
Ngomong-ngomong soal uang. Uangku mulai menipis sekarang. Haah.
"Oi... Anak iblis!"
Teriakan siapa itu?
"Kau ke mana saja? Aku membutuhkanmu!"