Chereads / Selembar Surat Kontrak / Chapter 28 - Apa Kau Baik-Baik Saja, Rey?

Chapter 28 - Apa Kau Baik-Baik Saja, Rey?

Hari Minggu kemarin benar-benar melelahkan bagi Rey. Setelah melakukan eksperimen pemberian kayu manis pada kopi, malamnya justru Rey tidak dapat tidur. Karena terlalu banyak meminum kafein.

Rey lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya. Menutup matanya dan mencoba untuk tidur.

Namun, pikiran dalam kepalanya tak ingin pergi, tak ingin membiarkan Rey beristirahat.

Rey lalu membuka matanya dan mengambil ponsel yang terletak di atas mejanya. Membukanya dan mencari nama seseorang di kontak ponselnya. Kazura.

Rey berencana untuk menghubungi Rara. Menekan menu memanggil dan menempelkan ponsel itu ke telinganya.

Namun, belum sempat panggilan di sebrangnya terangkat. Seseorang masuk dengan terengah-engah. Nampak peluh membasahi pelipisnya. Rey segera memutuskan panggilan yang masih menunggu tersambung itu.

"Ada apa, Raditya?" Rey yang melihat Raditya berpeluh-peluh masuk ke kantornya. Sudah berpikir bahwa Raditya membawa sebuah kabar yang sejujurnya Rey tidak akan terkejut mendengar kabar itu.

Raditya lalu menyerahkan sebuah koran yang halaman depannya, dengan tulisan caps lock dan bold menuliskan berita tentang Satria.

"SUNGGUH MENGEJUTKAN! SATRIA SAMUDRA YANG MERUPAKAN CUCU TERTUA HENDRAWAN SAMUDRA MERUPAKAN PEMBUNUH DIREKTUR UTAMA HNS COMPANY SEBELUMNYA, RIKI SAMUDRA."

Rey membaca headline koran itu dengan tampang yang datar-datar saja. Lalu Rey membaca isi berita koran, yang mengatakan bahwa Satria saat ini sudah berada di dalam penjara dan akan segera melakukan sidang pertama.

"Sejak berita ini diturunkan, berbagai panggilan masuk sudah memenuhi kantor Public Relation. Dan sesuai arahan bapak, bahwa semua pertanyaan akan dijawab saat Konferensi Pers produk baru kita nanti. Dan juga para wartawan itu sudah berada di bawah sejak tadi menunggu konfirmasi kebenaran berita tersebut." Raditya berhenti sejenak. Dirinya ragu untuk mengatakan apa yang ada dipikirannya.

Rey melihat Raditya yang tampak ragu, dan berkata pelan

"Jika ada yang ingin kau katakan, katakan saja." Rey kembali melihat berita Satria di koran.

Raditya mengambil napas dalam-dalam dan berkata

"Saya pikir lebih baik bapak tidak pergi keluar. Saya tidak ingin mereka lebih jauh bertanya hal ini pada bapak."

Rey mengangguk cepat.

"Baiklah, saya mengerti. Kalau begitu saya akan pulang saja hari ini. Tolong semua berkas pekerjaan saya kirimkan lewat surel saja. Dan juga laporkan perkembangan saham perusahaan secara teratur kepada saya."

Raditya mengangguk.

"Baik, pak." Raditya membungkukkan badannya dan melangkah pergi meninggalkan ruangan Rey.

Begitu pun dengan Rey. Rey beranjak dari duduknya, mengambil tas kerja dan menyambar cepat kunci mobilnya. Rey tak bisa menunjukkan dirinya saat ini, karena sejujurnya Rey tak sanggup untuk melakukannya.

Rey berjalan cepat keluar kantornya, dan segera menuju tempat dimana mobilnya terparkir.

Setelah sampai, Rey langsung menghidupkan mesin mobil dan menginjak pedal gas dalam-dalam. Beruntung gerbang keluar perusahaan terpisah dari gerbang masuknya. Jadi para wartawan itu tidak akan melihat kepergian Rey.

Ketika keluar dari perusahaan terlihat para wartawan itu saling mendesak satu sama lain di depan pintu perusahaan, memaksa ingin masuk namun petugas keamanan menahan mereka.

Para wartawan itu juga mengatakan agar Rey segera keluar dan memberikan klarifikasi kasus yang menimpa Satria terkait kematian kedua orangtuanya.

Namun, Rey tak memperdulikan hal itu dan terus memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Saat ini, Rey sangat ingin bertemu dengan Rara, namun Rey takut akan ada wartawan yang tiba-tiba datang menghadangnya di rumah sakit

Berita tentang kakeknya yang masuk rumah sakit sudah tersebar, dan Rey yakin hal itu membuat beberapa wartawan berpikir Rey akan datang ke rumah sakit menjenguk kakeknya. Tentu saja itu kesempatan bagus bagi para wartawan untuk bertanya-tanya padanya.

Rey dengan cepat memutuskan apa yang akan dilakukannya.

****

Rara terkejut saat mendengar Lola membuka pintu dengan rusuhnya. Sepertinya Lola membawa kabar yang sangat menggemparkan sampai dirinya terengah-engah seperti itu.

"Apa kau baik-baik saja, Lola?" Lola segera mengibas-ngibaskan tangannya seraya berucap dirinya baik-baik saja.

"Kau harus melihat ini, Rara." Lola menyodorkan sebuah koran, dengan headline berita yang ditulis besar-besar. Begitu besarnya, dilihat dari jauh pun sepertinya sudah terlihat.

Rara membaca setiap kalimat berita itu dengan pelan. Rara juga tidak begitu terkejut. Justru dirinya lebih memikirkan tentang Rey.

"Apa Rey baik-baik saja" gumam Rara. Ternyata gumaman Rara itu terdengar oleh Lola.

"Apa kau baru saja bertanya mengenai 'Apa Rey baik-baik saja'" Lola sudah kembali bernapas dengan teratur.

Rara mengangguk pelan. Dirinya bertanya-tanya apakah harus menghubungi Rey atau tidak.

"Kurasa dia baik-baik saja." Lola mengedikkan bahunya pelan. Kemudian melanjutkan

"Rey pasti sudah mengetahui berita ini. Kau tak perlu khawatir" Lola memandangi Rara yang sepertinya tengah berperang batin apa sebaiknya menghubungi Rey atau tidak.

"Jika kau begitu khawatir, coba saja kau hubungi dia." Lola memberikan Rara jawaban yang sepertinya tak bisa diputuskannya.

"Baiklah, aku akan menghubunginya nanti." Rara menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Mengapa harus menunggu, bukankah semakin cepat kau menghubunginya, maka kau tidak akan semakin khawatir, bukan?"

Rara berpikir sejenak. Menang benar apa yang dikatakan Lola, namun sejujurnya Rara juga tak ingin mengganggu Rey. Bagaimana jika Ia sedang ada rapat penting, atau bagaimana jika Ia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bukankah jika Rara menghubunginya, itu hanya akan membuat Rey terganggu.

Rara menghela napas pelan.

"Aku pikir akan lebih baik jika menghubunginya saat Rey sudah pulang kerja."

"Baiklah, jika itu keputusan mu." Lola mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Hei, aku baru saja teringat. Apa yang sedang kau lakukan disini. Bukankah kau akan pergi ke Purwokerto?" Rara baru teringat jika Lola setuju untuk mengikuti kompetisi membuat olahan dessert itu.

"Besok aku akan pergi." Lola menghela napas. Rasanya dadanya sesak sekali, memikirkan kompetisi itu.

"Apa Beno tahu kau akan pergi?" Rara membuyarkan lamunan Lola.

"Tidak, aku tidak memberitahunya. Tenang saja, aku sudah meminta cuti untuk beberapa hari kedepan. Kau tidak perlu khawatir." Lola berkata gelagapan. Memang benar jika dirinya tidak memberitahu Beno. Tidak ada alasan khusus mengapa Lola memilih tidak memberitahu Beno, hanya Lola tidak ingin memberitahunya.

"Baiklah, aku mengerti."

Seketika keheningan menyelimuti keduanya, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Diam-diam Rara melirik Lola, walau Rara hanya melihat dari sudut matanya, namun Rara bisa melihat jelas bagaimana raut wajah Lola.

"Jadi, apa tema yang diangkat dalam kompetisi dessert ini?" Rara memecah keheningan. Rara tau apa yang Lola pikirkan dan itu pasti hal yang berkaitan dengan Beno. Ketika Rara menyebut nama Beno, raut wajah Lola berubah. Oleh karena itu, Rara ingin mengalihkan perhatian Lola.

Lola tersentak mendengar pertanyaan Rara. Bicara mengenai tema dessert, Lola saat ini tidak tahu apa yang harus dibuatnya.

"Temanya itu berkaitan dengan dessert tradisional Indonesia. Jujur saja, aku belum memikirkan ingin membuat olahan apa. Apa kau bisa memberikan ku ide?" Lola memasang raut wajah memelasnya.

"Hahaha.. Apa yang sebaiknya dibuat ya?" Rara mengetuk-ngetukkan jari di dagunya seraya berpikir dessert apa yang cocok untuk disajikan.

"Bagaimana jika kau membuat makanan penutup dari Kalimantan. Yang seperti Nagasari itu." Rara tiba-tiba mendapatkan ide itu, dirinya tadi berpikir tentang Nagasari, namun seketika dirinya teringat jika ada makanan yang hampir sama dan itu berasal dari Kalimantan

"Apa yang kau maksud itu amparan tatak?" Lola segera menyadari apa yang Rara maksud.

"Ya, kau benar. Itu dia yang ku maksud." Rara berteriak girang, karena dirinya sudah ingat apa nama makanan itu.

"Apa kau yakin? itu sangat sederhana, dan itu sama saja dengan nagasari. Hanya beda tempat pembuatannya saja. Jika nagasari memakai daun pisang, maka amparan tatak menggunakan loyang" Lola mengerutkan dahinya. Mengapa Rara bisa berpikir akan hal itu, bahkan Lola saja tak kepikiran

"Kau ini bagaimana, walaupun itu sederhana, tapi jika kau tidak pandai mengolahnya maka itu sama saja, tak akan berhasil. Kau sudah pernah membuat nagasari, dan aku yakin kau juga akan bisa membuat amparan tatak ini." Rara berhenti sejenak dan mengambil napas lalu melanjutkan bicaranya

"Temanya berkaitan dengan tradisional Indonesia, aku yakin masih banyak orang yang belum tahu mengenai makanan ini. Kalaupun mereka tahu, itu pasti mereka mengira ini adalah nagasari."

Lola masih menimbang-nimbang ide Rara. Memang benar bahan dan prosesnya hampir sama dengan nagasari, namun dirinya menginginkan hal yang bisa membedakannya.

"Jangan berpikir bahwa kau akan memberikan inovasi pada makanan itu." Rara menatap Lola penuh selidik. Rara sangat mengetahui bahwa Lola suka menambahkan inovasi pada suatu hal, tidak terkecuali pada makanan.

"Kau tidak bisa melakukannya, ini adalah makanan tradisional, dan itu harus tetap terjaga rasa aslinya. Kecuali jika kau ingin mengganti buah pisang dengan buah nangka sebagai pelengkapnya." Rara berpikir lebih baik tidak menambah inovasi pada makanannya, karena ini adalah makanan tradisional yang keaslian rasanya tetap harus terjaga.

"Baiklah, aku akan memikirkannya kembali." jawab Lola singkat

****

Setela Lola memutuskan untuk pulang. Tinggallah Rara yang termenung memikirkan bagaimana mimpi yang pernah diinginkannya menjadi kenyataan. Bahkan terlampau sangat menginginkannya hingga hal itu pun tak pernah terjadi. Mimpi yang Rara maksud itu adalah mendirikan kursus merajut gratis bagi siapa saja yang ingin belajar. Sejak kecil Rara sudah sangat menyukai hal-hal yang berbau rajutan, itulah mengapa Rara memiliki impian seperti itu. Tujuannya tidak lain agar bisa memberikan kesempatan bagi mereka yang ingin belajar.

Tapi sangat disayangkan, mimpi itu tak pernah terwujud. Sejak Rara hidup seorang diri, dirinya tak lagi memikirkan tentang mimpinya tersebut. Yang Rara tahu hanya bekerja dan bekerja.

Melihat Lola yang sudah selangkah lebih maju, membuatnya ikut terpacu untuk menggapai lagi mimpinya.

Mungkin dengan uang hasil menjual ginjalnya, Rara bisa mewujudkan apa yang diinginkannya itu. Memulai kembali dari awal, bahkan Rara tak ingat kapan terakhir kali dirinya menggenggam alat-alat rajut itu, hakkpen, jarum knitting, benang wol dan lainnya. Termasuk segala macam pola yang sudah dipelajarinya dulu.

Rara menganggukkan kepalanya dan meyakinkan dirinya, bahwa Ia yakin bisa untuk mewujudkan hal itu. Rara segera mengambil ponselnya untuk menuliskan rencana apa yang sudah ada di kepalanya.

Namun, pandangan matanya seketika menangkap sebuah koran yang tadi dibawa oleh Lola, dan saat itu jugalah Rara teringat jika ingin menghubungi Rey.

Rara pun mengesampingkan rencana yang sudah ada dikepalanya itu, dan mencari kontak Rey di ponselnya.

Semoga aku tidak mengganggunya. Pikir Rara

"Halo" Suara disebrang sana menyambut lembut panggilan masuk dari Rara.

"Hai, apa kau sedang sibuk atau aku mengganggu mu?" tanya Rara gelagapan, setiap mendengar suara Rey, jantung Rara jadi berdebar dengan kerasnya

"Aku tidak sedang sibuk dan kau tidak mengganggu ku." jawab Rey singkat, namun berhasil membuat Rara menahan napasnya

"Baguslah kalau begitu."

"Ada apa, Rara?" Rey bertanya pada Rara, namun Rara tidak langsung menjawabnya. Rara bingung bagaimana cara menyampaikan apa yang ada dipikirannya

"Ah, apa mungkin kau ingin bertanya tentang berita yang lagi panas itu?"

Rey dengan tepat sasaran membuat Rara terdiam. Apa sebenarnya Rey bisa membaca pikiran. Bagaimana Rey tahu jika Rara ingin bertanya hal itu.

"Ya, tentang itu." Rara menjawab singkat dan setelah itu keheningan melanda mereka berdua.

Tak tahan dengan diamnya diantara mereka, Rara memutuskan untuk memulai obrolan lagi, namun dirinya bingung memulai darimana.

"Apa kau baik-baik saja, Rey?" Kalimat itu meluncur mulus begitu saja dari bibir Rara, semulus jalan tol Semarang-Solo.

Rey yang mendengar itu, terkekeh pelan.

"Tentu, aku baik-baik saja, Rara. Kau tak perlu khawatir. Tapi terima kasih atas perhatian mu. Aku sangat menghargainya." Rey tersenyum ketika berbicara, walau Rara tak bisa melihat dirinya tersenyum. Namun Rey yakin bahwa Rara menyadarinya.

Kalimat sederhana itu membuat jantung Rara semakin berdebar-debar. Rara merasakan panas pada seluruh wajahnya, pipi, telinga bahkan tangannya juga ikut terasa panas. Tanpa sadar, tangan Rara yang bebas menekan jantungnya berharap bisa mengurangi detakannya yang bergejolak hebat.

Mengapa kalimat sederhana seperti itu bisa membuat Rara begitu bahagia bahkan berkali-kali lipat bahagia. Jawabannya sederhana saja, karena Rey memang tulus menghargainya.