Hari ini akan menjadi sangat berbeda bagi Lola. Untuk yang pertama kalinya, Lola berani selangkah lebih maju dalam menggapai angannya. Lola sudah menyiapkan segala keperluannya dari kemarin, jadi saat ini dirinya tinggal pergi saja.
Lola menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Lola meyakinkan dirinya sekali lagi, bahwa apa yang akan dilakukannya ini adalah apa yang diinginkannya.
Ah sudahlah lakukan saja. Batin Lola sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lola lalu menarik tas kopernya keluar kamar, mengunci kamarnya dan memeriksa kamar Rara dan ruangan lainnya agar tetap aman. Beruntung pintu rumah kontrakan yang rusak dapat selesai lebih cepat, sehingga Lola tak perlu lebih lama menginap di apartemen Beno.
Setelah memastikan semua aman, Lola kembali menarik tas kopernya menuju pintu rumah, membukanya dan mengeluarkan tas koper tadi. Setelah Lola kembali memastikan barangnya tak ada yang tertinggal, Lola menarik pintu itu hingga tertutup dan mengeluarkan kunci rumah.
Mungkin saking gugupnya Lola, ditambah dengan tangannya yang berkeringat membuat Lola kesulitan memasukkan kunci pada lubang kuncinya. Pada akhirnya kunci itu tergelincir dari tangannya sehingga mengeluarkan bunyi dentingan nyaring ketika menyentuh ubin lantai.
"Ah sial. Ada apa dengan diriku? Mengapa begitu gugup." umpat Lola seraya merundukkan tubuhnya untuk mengambil kunci itu, namun saat tangannya akan menyentuh kunci itu, sebuah tangan yang kekar sudah mengambilnya lebih dulu.
Buru-buru Lola menegakkan tubuhnya kembali dan melihat Beno sudah berdiri di depannya. Begitu terkejutnya Lola, sampai membuat dirinya mundur beberapa langkah.
"Apa aku mengagetkanmu? Maaf, aku tak bermaksud begitu" ucap Beno melangkah maju mendekati Lola. Namun tiba-tiba menghentikan langkahnya setelah melihat Lola yang juga semakin melangkah mundur.
"Aku akan mengunci pintu ini" Beno lalu memutar tubuhnya, dan berdiri tepat di depan pintu rumah itu, memutar kuncinya dan melepaskan kunci itu dari lubang kuncinya.
"Ayo, aku akan mengantarmu ke Purwokerto"
Entah mengapa Lola masih saja diam mematung, tak bergerak sama sekali. Jantungnya berdegup keras sekali, sampai Ia tak ingin Beno juga mendengar detakan jantungnya itu.
"Apa kau baik-baik saja, Lola? Kau terlihat pucat" Beno tampak khawatir melihat wajah pucat Lola.
Sedangkan Lola yang tak merasakan apapun, tanpa sadar meletakkan kedua tangannya di pipinya. Memastikan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih"
Setelah mengatakan itu, Lola melangkah maju mendekati Beno, dan meminta kunci rumahnya.
"Tolong, berikan kunci rumah ku."
Beno memberikan kunci rumah itu pada Lola dan setelah memberikannya, Beno langsung mengangkat koper Lola.
Lola terkejut melihat Beno yang tiba-tiba mengangkat kopernya, bahkan Lola sampai mematung. Ketika sadar, Beno sudah hampir sampai di mobilnya.
Lola berlarian mengejar Beno, namun tetap saja tertinggal, dirinya sudah terlambat. Beno sudah masuk ke dalam mobilnya.
Itu artinya tak ada jalan lain bagi Lola selain pergi dengan Beno. Ketika sampai di pagar rumah, Lola menguncinya dengan gembok dan terburu-buru masuk ke mobil.
Tanpa basa-basi, Lola mencecar Beno.
"Apa yang kau lakukan? Apa kau terbiasa berlaku sesukanya begini?" Lola menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya yang mulai emosi.
Beno hanya terkekeh pelan.
"Jika ada sesuatu yang berhubungan dengan mu, aku tak bisa membiarkannya begitu saja."
Mendengar itu, Lola merasakan panas pada wajahnya. Apa maksud Beno mengatakan hal itu. Lola tak mengerti, dan ketika Lola melihat ke arah Beno, dia tersenyum.
Oh Tuhan, mengapa Ia begitu mempesona. Batin Lola.
Lola seketika memalingkan pandangannya melihat keluar jendela, seraya mengipas-ngipaskan wajahnya yang terasa panas.
Ini gila. Ini sangat gila. Batin Lola berteriak memaki dirinya yang begitu terpikat akan pesona Beno.
"Ayo kita berangkat sekarang" Beno menyalakan mesin mobil, namun saat dirinya melihat Lola, tampak Lola belum memasang sabuk pengamannya. Mungkin karena sudah emosi melihat perlakuan Beno, sehingga kelupaan memang sabuk pengaman.
"Lola" panggil Beno pelan.
"Ya?" Lola yang sedang melihat kearah jendela itu pun menolehkan wajahnya agar bisa melihat Beno.
Seketika wajah Beno mendekat. Napas Lola tercekat melihat Beno yang tiba-tiba bergerak mendekati wajahnya.
Apa yang akan dilakukannya. Batin Lola berteriak, jantungnya berdetak dengan keras sekali dan tanpa sadar membuat tangannya mengepal kuat.
Wajah Beno semakin mendekat, tangannya yang kekar itu diayunkannya ke arah kepala Lola.
Lola merasakan keringat mulai menjalari pelipisnya, padahal mesin pendingin mobil cukup dingin. Tapi Lola justru berkeringat.
Saat wajah Beno tinggal beberapa centi lagi, Lola dengan cepat menutup matanya rapat-rapat. Mengatupkan kedua bibirnya dan mengepalkan tangannya begitu kuat.
Detak jantung Lola melonjak-lonjak dengan kecepatan tak beraturan. Rasanya ingin meledak. Tapi Lola merasa ada sesuatu yang aneh, karena tak ada sesuatu yang terjadi.
Satu detik. Dua tiga empat lima detik Lola menunggu. Tapi tetap tak ada yang terjadi.
Akhirnya, Lola memberanikan diri untuk membuka sebelah matanya, dan terlihatlah Beno yang cekikikan, tangan kanannya digunakan untuk menutupi mulutnya agar dapat menahan tawanya. sedangkan tangan yang satu lagi memegangi perutnya.
Lola yang melihat Beno begitu pun, lantas membuka kedua matanya lebar-lebar seraya melotot menatap Beno.
Saat ini Lola merasakan malu yang amat sangat, namun melihat Beno yang menertawai kebodohannya membuatnya marah dan salah tingkah. Membuatnya mengutuki kebodohan yang telah dirinya lakukan.
****
Awalnya Beno tak mengerti mengapa Lola tidak memberitahunya jika ingin pergi ke Purwokerto untuk mengikuti kompetisi membuat olahan dessert itu. Namun akhirnya, Beno menyadari bahwa Lola justru menghindarinya. Hal itu disadari Beno saat Lola dengan enggannya menerima penawaran Beno yang ingin mengantarnya pergi.
Kalau bukan karena manajer cafe yang memberitahu Beno. Beno sudah pasti akan melewatkan kesempatan ini.
Segala hal yang berhubungan dengan Lola, Beno tak bisa tinggal diam. Sejujurnya Beno juga tak tau bagaimana perasaan Lola padanya. Namun entah mengapa, Beno bisa merasakan bahwa Lola juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
Dengan keyakinan seperti itu, Beno pergi terburu-buru menuju rumah kontrakan Lola karena tak ingin tertinggal.
Dan saat Beno sampai di rumah kontrakan itu pun, Beno segera turun dan melihat Lola yang kesulitan untuk mengunci pintu rumahnya.
Beno membuka pintu kecil pagar yang tak terkunci itu dan saat itu juga merutuki Lola dan keteledorannya. Beno tak habis pikir bagaimana mungkin Lola tidak mengunci pagar, bagaimana jika ada sesuatu yang terjadi dan pada saat itu Beno tak ada disampingnya.
Beno pun menggelengkan pelan kepalanya dan mengetuk-ngetukkan tangannya pada pagar besi itu.
Berbisik pada dirinya sendiri agar hal yang ada dalam pikirannya tak menjadi kenyataan.
Namun saat Beno berhasil masuk ke halaman rumah Lola. Lola sama sekali tak menyadari keberadaannya. Mungkin juga karena Beno yang bertindak sangat hati-hati dan penuh waspada.
Beno masih memperhatikan Lola yang masih kesulitan memasukkan kunci pada lubangnya. Seketika Lola menjatuhkan kunci dan terdengar bunyi nyaring.
Saat itu juga, Beno berjalan dengan cepat dan dengan cekatan mengambil kunci itu untuk Lola.
Lola terkejut melihat keberadaannya yang datang tiba-tiba entah darimana. Membuat dirinya melangkah mundur.
Beno hendak memberikan kunci itu pada Lola namun saat berjalan mendekati Lola, Lola semakin melangkah mundur.
Jujur saja, saat itu hati Beno terasa sangat sakit, seperti ada duri di dalamnya.
Beno pun memutuskan untuk tidak melangkah maju lagi.
"Aku akan mengunci pintu ini" itulah yang bisa dikatakan Beno dan setelah mengunci pintu itu, Beno akhirnya mengatakan apa yang ingin dikatakannya.
"Ayo, aku akan mengantarmu ke Purwokerto"
Tapi Lola tak bereaksi mendengar ajakan Beno, dirinya hanya diam mematung. Dan itu semakin membuat Beno sesak. Beno melihat Lola yang terasa tidak baik-baik saja dan mencoba menanyakannya.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih" Lola berbicara pelan, namun nada bicaranya terdengar jika Lola masih syok akan kehadiran Beno.
Lola melangkah maju mendekati Beno.
"Tolong berikan kunci rumah ku" Lola sama sekali tak melihat Beno, malah sibuk memandangi ubin lantai itu. Beno sama sekali tak menyukai hal tersebut. Mengapa Lola berbicara namun tidak menatap matanya.
Beno akhirnya memberikan kunci itu pada Lola. Namun karena Beno yakin bahwa Lola tak ingin Beno mengantarnya pergi ke Purwokerto, Beno dengan nekat melakukan sesuatu yang pasti akan membuat Lola berang.
Beno tiba-tiba mengangkat koper Lola dan membawanya tergesa-gesa menuju mobil. Inilah kenekatan yang Beno bisa lakukan. Dan hanya itu cara yang bisa digunakannya agar Lola tak memiliki pilihan lain selain pergi dengannya.
Beno segera meletakkan koper itu dalam bagasi mobil lalu menutupnya, kemudian masuk ke dalam mobil. Beno tersenyum puas melihat aksinya itu. Tampak Lola yang tengah sibuk berlari menuju pagar dan menguncinya dengan buru-buru.
Lola masuk ke dalam mobil. Tanpa basa-basi lagi Lola meledakkan emosinya
"Apa yang kau lakukan? Apa kau terbiasa berlaku sesukanya begini?" Lola menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya yang mulai emosi.
Beno hanya terkekeh pelan.
"Jika ada sesuatu yang berhubungan dengan mu, aku tak bisa membiarkannya begitu saja."
Beno mengatakan hal itu tanpa pikir panjang. Namun memang itulah yang dirasakannya. Saat Lola menatapnya, Beno tersenyum tulus. Bahkan Beno melihat Lola yang wajahnya tiba-tiba tersipu malu.
"Ayo kota kita berangkat sekarang" Beno menghidupkan mesin mobil, namun pandangan matanya melihat Lola yang tidak memakai sabuk pengaman.
Beno pun berinisiatif untuk memakaikan sabuk pengaman itu.
"Lola" panggil Beno pelan.
"Ya" Lola memalingkan wajahnya menatap Beno.
Saat itulah Beno terpikir untuk menjahili Lola. Beno dengan sengaja mendekatkan wajahnya pada Lola, semakin dekat dan dekat dan membuat Lola tampak terkejut melihat aksinya.
Beno melihat Lola yang gugup, ingin rasanya Beno tertawa namun ditahannya keinginan itu.
Beno kemudian mengangkat tangannya hendak memegang kepala Lola dan Lola tampak memejamkan matanya. Bibirnya yang merah merekah itu terkatup rapat. Hanya tinggal beberapa centi saja dari wajah Lola. Beno bisa melihat dengan jelas bagaimana bentuk alis, bibir, mata, hidung dan wajah cantik Lola.
Beno sungguh menikmati hal itu. Jujur saja, Beno sangat ingin merasakan bagaimana rasa bibir Lola. Namun ditahannya keinginan itu. Beno tak ingin terburu-buru.
Tapi Beno tak bisa menahan perasaan gemas, manakala Lola memejamkan matanya. Mengapa Lola bisa berpikir seperti itu.
Beno pun segera menarik sabuk pengaman itu dan memasangnya lalu kembali pada posisi semula.
Beno sengaja tak memberi tahu Lola bahwa Beno sudah selesai memasang sabuk pengaman.
Beno malah sibuk menutup mulutnya dan memegangi perutnya menahan tawa. Barulah Lola tiba-tiba membuka matanya. Melihat Beno yang cekikikan membuat Lola membuka matanya lebar-lebar dan melotot kearah Beno.
Namun hal itu semakin tak bisa membuat Beno menahan tawanya dan akhirnya melepaskan tawa itu.
Lama sekali Beno tertawa dan dengan sekuat tenaganya, Beno menghentikan tawanya. Lalu menarik napas dalam-dalam dan dengan perlahan menghembuskannya.
"Mengapa kau menutup mata mu seperti itu?" Beno kembali ingin tertawa namun melihat tatapan sinis Lola, Beno segera menutup mulutnya dengan tangan.
"Aku hanya ingin memasang sabuk pengaman itu untukmu, mengapa kau sampai harus menutup mata" Beno pun menginjak pedal gas itu dengan pelan. Namun seringai senang tak bisa dihilangkannya.
"Jangan katakan apapun lagi" Lola berkata ketus dan dingin. Membuat Beno semakin gemas, dan benar-benar membuatnya ingin mencium wanita itu.
"Baiklah, maafkan aku" Beno melihat Lola namun yang dipandangi hanya menatap kesal ke luar jendela mobil.
"Lebih baik kau diam. Atau aku akan turun disini"
Mendengar hal itu, Beno tak berani lagi berbicara namun masih terkekeh pelan. Lalu memacu mobilnya menuju Purwokerto.