"Nah, itu, Damian." Oman menunjuk seorang laki-laki yang sedang menuruni anak tangga. "Damian! Ayo cepat kemari!"
Julia bangun dari kursinya. Laki-laki itu adalah orang yang semalam memarahinya karena tidak sengaja tertabrak. Ia ingin marah, tapi tidak bisa. Ia tidak mau membuat keributan di rumah orang apalagi masih pagi.
"Selamat pagi, Pa." Damian menyapa ayahnya. Ia tidak memandang tamu yang sudah duduk lebih dulu. Bahkan, ia tidak melihat Julia yang menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
'Sesempit inikah dunia ini? Kenapa harus bertemu dengan laki-laki itu?'
"Selamat pagi, Dam. Oh, iya, mereka adalah tamu Papa. Dia, Pak Dodit dan putrinya, Julia," ucap Oman memperkenalkan mereka.
"Selamat pagi, Pak Dodit." Damian menyapa Dodit dengan ramah dan mengulurkan tangan. Senyuman laki-laki itu sangat manis saat berbicara dengan Dodit. Namun, saat ia mengalihkan pandangan ke arah Julia, senyuman itu seketika lenyap bak asap rokok.
"Selamat pagi," sapa Julia dengan terpaksa.
"Kamu?!" Damian menunjuk gadis itu dengan gigi menggertak. "Kenapa dia ada di sini, Pa?" tanya Damian pada Oman. Sang ayah justru tersenyum melihat laki-laki itu seperti mengenal Julia.
"Kenapa? Tidak boleh kalau Papa mengundang calon istri kamu untuk sarapan bersama kita?"
"APA?!" Julia dan Damian membelalak. Saling tunjuk dan melirik tajam. Mereka terlihat seperti kucing dan anjing, musuh bebuyutan sejak pertemuan pertama.
"Aku tidak mau, Pa!" Damian menolak keras perjodohannya dengan Julia.
"Aku juga tidak mau. Memangnya siapa yang mau menikah denganmu," kata Julia dengan wajah merah padam.
Masih teringat jelas, kejadian saat laki-laki itu memarahinya semalam. Bahkan, Julia dituduh sengaja melakukannya. Parahnya lagi, laki-laki itu ternyata yang akan dinikahkan dengannya. Ia mengira, Oman-lah yang akan menikahinya.
"Julia!" Dodit menarik tangan Julia dan menyuruhnya duduk. Ia memegang tangan gadis itu dengan kuat, lalu berbisik. "Kau, mau aku menjual ibumu?"
Nyali Julia menciut seketika. Ia menunduk dan tidak berani lagi bicara. Meski ia sangat kesal, ia harus menahannya.
"Heh! Kau pikir aku tidak tahu. Gadis sepertimu yang berpura-pura tidak sengaja bertemu, dan meminta menjadi istriku. Hampir satu desa melakukannya."
'Sombong sekali laki-laki ini. Dia pikir, aku termasuk wanita seperti yang lainnya, yang mengejar-ngejar karena ingin dinikahi olehnya?'
"Damian! Cukup! Papa yang memilih Julia sebagai calon istrimu. Bukannya itu bagus kalau kalian pernah bertemu?" Oman dengan santainya menanggapi kemarahan Damian.
"Pah! Damian bisa memilih calon istri sendiri. Dan pastinya … bukan gadis desa itu!" Ia melirik tajam. Tatapannya seolah ingin mencabik-cabik gadis itu.
Julia sudah ingin menjawab, tapi Dodit mencubit lengannya. Ia menyuruh Julia untuk diam. Mereka tidak perlu ikut campur.
"Mana buktinya? Sudah tiga tahun, tapi kamu masih belum beristri lagi," ujar Oman.
'Lagi? Jadi, dia, duda! Pantas saja ditinggalkan istrinya. Pria kasar seperti dia, aku juga pasti melakukan hal yang sama.'
"Tapi , Pa …. Papa!" Ia berteriak panik. Damian tidak melanjutkan ucapannya karena Oman tiba-tiba kejang-kejang.
"Tuan besar!" Kimo segera menelepon dokter pribadi keluarga Sanjaya. Damian menggendong ayahnya ke kamar. Sementara Dodit segera menarik Julia keluar dan pulang ke rumah.
***
Bruk!
"Julia!" Ambar memekik saat melihat putrinya dilempar oleh Dodit ke lantai. Ia menghampiri Julia dan membantunya untuk bangun. "Ada apa lagi, Mas? Dia sudah menuruti keinginan kamu. Kenapa masih diperlakukan seperti ini?" tanya Ambar sambil memeluk gadis itu.
"Dia sudah membuat Tuan Oman dan putranya bertengkar. Tuan tiba-tiba kejang-kejang dan pingsan. Jika terjadi apa-apa pada Tuan besar, putranya pasti menyalahkan Julia. Itu artinya, dia bisa saja menuntut keluarga kita."
Julia dan Ambar terdiam. Mereka memang tidak akan bisa melawan, jika putranya tuan tanah itu menuntutnya. Dodit mengganti bajunya dengan yang lebih longgar, lalu pergi ke tempat judi.
"Julia … benar, kamu, yang membuat mereka bertengkar?" tanya Ambar setelah kepergian dodit.
"Julia hanya mengucapkan beberapa kata karena putranya Tuan Oman itu menuduh Julia sengaja memeras mereka. Dia pikir, Julia ingin menjadi orang kaya dengan menikahi keluarga kaya raya itu," jawab Julia panjang lebar.
"Kamu yang sabar, Sayang. Mama mohon, bertahanlah. Mereka setidaknya lebih baik dari bandar Judi."
Julia memejamkan mata sejenak sambil menarik napas panjang. Ia mengerti keinginan ibunya. Gadis itu memang lebih baik menikah daripada dijual di rumah perjudian.
Gadis itu mungkin akan dijadikan wanita penghibur jika masuk ke rumah judi itu. Walau tidak menjamin ia akan bahagia, Ambar harap hidup Julia lebih mulia dibanding menjadi wanita tuna susila. Julia masuk ke kamar dan berbaring menyamping, menatap jendela kamar.
***
"Bagaimana keadaan Papa saya, Dokter?"
"Usianya sudah enam puluh tahun, sudah sangat rentan. Jika dia sering mengalami syok seperti ini, saya khawatir hidupnya tidak akan lama. Saran saya, jangan membuatnya tertekan. Saat ini, beliau masih bisa bertahan, tapi bagaimana jika terulang lagi dan beliau meninggal? Saya yakin, Anda tidak mau hal itu terjadi."
Saat Damian menoleh ke arah ayahnya yang terbaring di di tempat tidur, dokter itu tersenyum tipis. Damian kembali menatap dokter itu dan kini Oman-lah yang tersenyum sambil mengacungkan jempol kepada dokter. Kimo tersenyum geli melihat kedua orang tua itu menipu Damian.
Dokter berpamitan dan diantar oleh Kimo sampai ke teras rumah. Sementara Damian duduk di tepi ranjang. Oman berpura-pura batuk dan sadar.
"Untuk apa kamu masih di sini? Kembali saja ke Jakarta sana! Kalau tidak mau menikah dengan gadis pilihan Papa, biar Papa sendirian saja sampai mati. Tidak perlu menjenguk papamu ini," kata Oman berpura-pura merajuk.
"Setidaknya, Papa, cari gadis yang sesuai untuk Damian. Pasti Damian setuju untuk menikah."
"Gadis itu dijual oleh ayahnya dan Papa sudah membelinya. Kamu mau, uang papamu terbuang sia-sia.?"
'Dijual? Heh, rupanya gadis murahan yang dijual ayahnya. Entah sudah berapa kali ia dijual ayahnya. Sekarang, aku yang harus menanggung getahnya, padahal orang lain yang makan nangkanya.'
"Oke! Damian akan menikahi wanita itu, jika itu yang bisa membuat, Papa, senang. Kapan pernikahannya?"
"Minggu depan," jawab Oman bersemangat.
Oman sudah mengatakan kepada Dodit jika pernikahannya akan dilaksanakan tiga bulan lagi. Namun, ia berubah pikiran dan memajukan tanggal pernikahan menjadi minggu depan. Ia tidak ingin menundanya lama-lama, khawatir Damian berubah pikiran.
"Atur saja pernikahannya." Damian keluar dari kamar ayahnya. Ia menelepon pegawainya di Jakarta. Biasanya, Damian hanya pulang tiga hari. Namun, kali ini ia tidak akan kembali dalam tiga hari. Damian tidak mengatakan pada pegawai bahwa ia akan menikah.
'Aku tidak akan menunjukkan dia pada orang lain. Memalukan. Bagaimana bisa, aku, seorang Damian harus menikah dengan wanita murahan seperti dia.'
Damian berdiri di balkon kamar. Ia menyulut sebatang rokok filter, menghisapnya dalam-dalam lalu mengembuskan asapnya ke udara. Ia tidak terlalu suka merokok. Hanya di saat ia banyak pikiran, baru ia merokok.
====BERSAMBUNG====