"Jika keadaannya tetap seperti itu tanpa ada pengambilan tindakan, mungkin Ge Sketchbook Company akan bangkrut dan karirnya akan buruk. Tentu akan berdampak bagi semua rekan bisnis dan untuk Tuan Ge sendiri tentunya."
"Aku menaruh banyak rasa iba untuk pria itu, tapi sepertinya dia sedang bersembunyi sekarang ini."
"Ge Sketchbook Company bukan perusahan bodoh yang akan bergerak ceroboh seperti itu, aku rasa seseorang ada di balik semua kekacauan ini. Maksudku, bukan Tuan Ge. Pria malang itu pasti sedang dimanfaatkan."
Rentetan kalimat tak berujung itu masih melekat kuat di dalam ingatan Luna. Gadis berambut pendek yang kini melangkahkan kakinya untuk keluar dari bangunan kampus. Tak ada lagi alasannya untuk tetap di sini, selepas meninggalkan Barend juga Eva yang mengajak dirinya untuk makan di food court kampus, Luna kini berada di halaman utama bangunan tempatnya menimba ilmu selama tiga tahun terkahir ini. Tak ada lagi Barend juga sang kekasih. Tak ada Damian sebab pria itu meminta ijin untuk bertemu dengan dosennya siang ini. Luna sendirian, namun cukup nyaman jikalau dalam perjalanan pulang adalah statusnya sekarang ini.
Gadis itu tak ingin lagi mendengar kabar buruk tentang Ge Sketchbook Company. Bukan hanya membenci keramaian yang terus saja menerobos masuk ke dalam lubang telinganya, Luna juga membenci perasaan aneh yang kini bergelut di dalam hatinya. Ada rasa iba, tentunya. Tuan Ge yang menghantarkan dirinya tadi pagi selepas mengambil barang miliknya itu adalah pria yang ramah dan baik. Tak mungkin Tuan Ge melakukan kesalahan sebesar ini. Dari setiap jejak karir yang dibaca oleh Luna belakangan ini, gadis itu tak pernah menemukan celah kesalahan seorang Ge Hansen Joost. Sama sekali!
"Honey!" Seseorang memanggil Luna. Tegas gadis itu memutar tubuhnya. Tepat mengarahkan pandangan pada seorang pria yang berjalan tegas dengan lambaian tangan ringan tanda sedang memberi salam hangat untuk kedatangannya kali ini.
Netra gadis itu mulai merekam siapa gerangan yang baru saja menyebutnya dengan manis seperti itu. Tak hanya mencuri perhatiannya, namun suara lantang William Brandy juga mencuri perhatian semua yang ada di sekitar Luna.
"Kau datang?" tanya Luna ikut berjalan mendekat. Memang, dihampiri oleh sang kekasih di tempatnya berdiri akan terasa lebih romantis. Akan tetapi untuk Luna, ia memilih bertemu di tengah-tengah dengan rangkulan manja yang kuat melingkar di pinggang sang kekasih.
William menganggukkan kepalanya. Meraih tubuh Luna dan merangkulnya dengan hangat. Langkah keduanya kini beriringan. Membelah padatnya suasana berserta semilir hawa bayu yang akan terasa dingin kalau siang sudah usai begini. Senja akan datang, langit indah malam dengan harap taburan bintang dan rembulan datang segera hadir beberapa jam lagi. Tak salah, jikalau William sudah berada di sisi Luna sekarang.
"Bagaimana kerjanya? Ini adalah hari pertamamu bekerja sebagai pegawai magang di sebuah perusahaan besar." Luna menyela langkah keduanya. Mendongakkan pandangan sebab ia hanya setinggi dada bidang William Brandy.
Pria itu menaikkan kedua duduk alisnya bersamaan. Sejenak melirik Luna kemudian menundukkan pandangannya untuk menatap langkah kaki gadis cantik dengan sepasang high heels yang menghiasi kakinya sekarang ini. Itu adalah pemberian William tadi pagi. Warna merah sangat cocok untuk Luna kenakan.
"Kenapa memakainya sekarang? Aku memintamu untuk memakainya kalau mulai bekerja nanti." William menggerutu. Mencubit kasar pipi Luna yang kini mengerang ringan. Gadis itu meronta. Ingin melepaskan rangkulan sang kekasih yang kuat membebani pundak dan tengkuknya sekarang. Akan tetapi, jika dibandingkan Luna adalah batu kerikil yang sedang ditimpa oleh balok kayu besar di atasnya. Sekuat apapun tenaga yang diberikan olehnya, William akan selalu menang jikalau itu pasal beradu fisik.
"Karena kau yang memberikannya. Jadi aku memutuskan untuk segera memakainya," ucap Luna tersenyum hangat. Gadis itu tak sedang beralasan. Ia memang menyukai barang-barang baru. Ber-napsu untuk segera mengenakannya dalam situasi dan kondisi apapun.
Akan tetapi, kali ini lain. Ini adalah barang mahal pertama yang dibelikan William untuk dirinya. Sepatu heels bermerek dengan Kilauan cahaya kala sinar sang surya menerpa permukaan sepatu itu. Ada pita kecil di ujungnya. Dengan warna merah itu, membuat kesan manis, cantik, dan elegan menjadi satu sekarang ini. Luna sangat menghargai pemberian sang kekasih.
"Aku sudah mendengar beritanya." William kembali membuka suara berat. Menoleh pada gadis yang kini mulai melunak. Tak lagi meronta untuk lepas dari cengkramannya, kini Luna diam sembari menerka arti kalimat yang dilontarkan sang kekasih baru saja.
"Berita soal Ge Sketchbook Company," susul William mengimbuhkan.
Gadis itu kini tersenyum kaku sembari menganggukkan kepalanya mengerti. Ya, memangnya berita tentang apa lagi? Hari ini yang bisa membuat Luna merasa sedikit kacau hanya pasal Ge Sketchbook Company yang sedang dilanda masalah.
"Mau aku bantu ajukan kerja magang ulang? Maksudku, mungkin saja saat kau datang ke sana masalah ini belum selesai dan—"
"Aku baik-baik saja. Toh juga, aku hanya akan magang di sana bukan menjadi pegawai tetap. Aku hanya perlu mendapat ulasan baik, nilai baik, dan catatan baik. Syukurlah kalau Tuan Ge menggajiku." Gadis itu menyela. Menjelaskan situasi yang sudah 'salah kaprah' di sini. Luna tak akan pernah terpengaruh dengan apapun yang tak bersangkutan dengan dirinya sekarang. Tuan Ge hanyalah orang baru yang akan menjalin hubungan dengannya selama satu semester ke depan. Tak lebih. Pun Luna tak berharap untuk melebihkan itu.
"Baiklah jika begitu." William tersenyum ringan. Kini langkah keduanya kembali lurus berjalan untuk keluar dari area kampus. Gadis itu masih kokoh dan nyaman berada di dalam rangkulan sang kekasih. Mengabaikan ribuan mata memandang sebab gadis cantik seperti Luna, akan lebih mudah mendapatkan kekasih yang lebih baik dari seorang William Brandy. Akan tetapi, ia sudah menyia-nyiakan kecantikannya hanya untuk mengabdi sebagai selir pria bodoh itu.
"Kau cemburu?" Seseorang menegur diamnya Damian kali ini. Pria yang terus menatap Luna dan William dari jarak yang amat jauh. Kini ia menoleh. Tepat mengarahkan pandangannya pada laki-laki berambut sedikit ikal dan senyum aneh nan menyebalkan yang selalu datang kala Damian menatapnya.
"Untuk apa aku cemburu?" kelitnya menolak. Damian bukan pria yang suka berterus terang akan apa yang sedang dirasakan oleh dirinya. Damian tergolong pria yang tertutup dan mengambil pilihan untuk membatasi jarak dengan orang-orang di lingkungan luar. Bahkan untuk Luna sekalipun.
"Karena kau menyukai Luna." Barend menyahut. Menepuk pundak pria yang ada di sisinya. Damian adalah pria bodoh yang tak pandai mencintai seorang gadis. Diam dan melihat seperti ini? Ah, bodohnya dia.
"Sudah aku katakan, Damian. Bahwa aku dan Eva akan membantumu jikalau kau—"
"Terimakasih tawarannya. Luna pasti kecewa jika mendengar ini," sela Damian menepuk punggung lawan bicaranya. Pergi begitu saja selepas senyum aneh ia berikan pada Barend Antonius.
Sekali lagi, Damian memiliki cara terbaik dalam mencintai seorang Luna Theresia Skye.
... To be Continued ...