Di salah satu sudut ruangan, gadis itu berada. Ditemani dengan segelas likeur yang disajikan di dalam gelas kecil berbentuk bunga tulip. Rasa likeur yang masuk ke dalam tenggorokannya sukses membuat bibirnya sesekali mengecap ringan. Ber-ah lirih kala semua minuman habis dalam satu tegukan saja. Lampu remang tak cukup memberi sinar penerangan untuknya. Membuat Luna terasa sedikit tersisih dari keramaian saat ini. Selepas berpisah dengan Damian, Luna beralasan ingin segera pulang dan beristirahat seorang diri. Tak perlu dihantarkan juga tak tak perlu ditemani. Gadis itu ingin sendiri hari ini. Merenungkan hal buruk yang terjadi dengan terus berusaha mengambil satu sisi positifnya saja.
Damian tak tahu jikalau William menyelingkuhi dirinya. Sedih yang ditunjukkan Luna hanya sebatas dipecatnya sang kekasih dari tempat ia berkerja, itulah kiranya yang ada di dalam pikiran William. Alasan Luna tak ingin bercerita bukan sebab gadis itu tak mampu percaya. Ia hanya tak ingin membebani hari Damian. Terlihat dari paras tampan laki-laki itu bahwa ini adalah hari baiknya. Diterima magang kerja di sebuah perusahaan properti tentu menjadi kebanggaan tersendiri untuk Damian Edaurus. Untuk itu Luna tak ingin merusak kebahagian Damian dengan harus memikirkan rasa sakitnya malam ini.
Luna menghela napasnya. Melirik beberapa gelas likeur yang sudah tak berisi lagi. Puas? Tentu belum. Akan tetapi, ia tak boleh mabuk malam ini. Dirinya datang seorang diri, jadi ia harus pulang seorang diri pula. Lima gelas likeur cukup untuk memanjakan lidahnya malam ini. Tak akan ada lagi minuman beralkohol yang masuk dan membasahi tenggorokannya.
Luna bangkit. Mengemasi barang-barang miliknya. Sejenak merapikan baju yang terlipat sebab posisi duduk yang diambil olehnya beberapa jam lalu. Gadis itu mengeluarkan satu lembar uang. Bukan untuk membayar, namun untuk meninggalkan tips-nya.
Matanya menerawang dan meneliti. Suasana bar terkesan ramai oleh manusia namun sepi untuk suara. Luna menyukai tempat ini. Bukan hanya harga alkohol yang sedikit lebih miring dari tempat lain, namun juga pasal suasananya. Bar ini tak pernah sela oleh pengunjung, namun selalu terasa sepi sebab tak ada suara yang menyela. Semua yang datang membawa pasangan mereka. Hanya segelintir saja yang datang seorang diri, seperti Luna sekarang ini. Pelanggan yang berkunjung adalah mereka yang mencintai ketenangan. Berbincang ringan dengan nada yang tak mengganggu adalah cara mereka menjaga suasana tetap tenang. Membosankan memang bagi orang-orang penyuka dunia malam dan lampu diskotik yang berkelip, namun untuk Luna itu sangat nyaman dan menenangkan.
Luna kini berjalan keluar bar. Mendorong pintu kaca yang ada di depannya. Udara dingin nan segar kini ia rasakan masuk merambah melalui celah kancing mantel yang dikenakannya. Amsterdam, tak pernah benar-benar hangat kalau malam tiba seperti ini.
Luna mengamati sekitarnya. Mencoba mencari apapun yang bisa menjadi alat transportasi yang bisa menghantarnya pulang ke rumah. Kosong! Di sekitar bar tak ada bus atau taksi yang menepi di sisi jalanan. Gadis itu kembali berjalan. Menyusuri trotoar jalanan untuk bisa menemukan taksi sebelum larut benar datang menyapa.
Luna tinggal sendirian, namun yang ditakutkan oleh gadis itu bukan penghakiman dari kedua orang tuanya sebab pulang malam tak memberi kabar. Hal yang paling ditakutkan Luna malam ini adalah 'hukuman' dari William, sang kekasih.
"Kau benar ingin pulang?" Suara samar terdengar masuk ke telinga gadis itu.
"Dan melaporkan ini pada papa kesayanganmu?" Masih berlanjut. Suara itu kini diiringi dengan tawa ringan yang menyertai. Sukses menarik perhatian Luna untuk menoleh ke sisi gang gelap nan sempit. Hanya ada satu lampu jalan yang remang. Tak bisa benar memberi akses untuk pandangan Luna menangkap siapa kiranya yang berada di bawah kegelapan malam.
"Laporkan! Buat kita dikeluarkan dari sekolah!" Seseorang menyentak. Menarik rambut panjang gadis yang terpojok di sudut gang.
Luna bereaksi kala tamparan sukses mendarat di pipi kiri gadis itu. Sigap tangan Luna menarik tubuh siapapun yang sudah dengan kurang ajarnya menampar teman sebaya.
"Siapa kau ikut campur urusan kami? Huh!" Seseorang menyela aksi heroik Luna. Menarik tubuh gadis itu untuk menjauh dari hadapan mereka.
"Apa yang kalian lakukan di tempat umum seperti ini? Membuli?" tanya Luna geram. Menatap satu persatu gadis yang terlihat lebih muda darinya.
"Bukan urusan bibi!"
"Bibi?" Luna memprotes. Menatap dirinya sendiri dari bawah kaki hingga setengah dadanya. Penampilan Luna tak kuno! Masih bisa dibilang cukup stylish dan mengerti bagaimana cara berbusana yang modern.
"Wah aku kesal." Luna mengumpat. Sigap merogoh ponsel yang ada di dalam kantong mantelnya. Menekan beberapa nomor dan menunggu panggilan yang dibuatnya terjawab.
"Halo, polisi. Aku ingin—" Suara Luna terhenti kala beberapa gadis yang ada di depannya saling tatap satu sama lain. Berbisik dan pergi selepas melirik Luna dengan sinis. Tentu, siapa yang mau berurusan dengan polisi? Tidak ada!
Luna menghela napasnya kasar. Kembali mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam mantel. Menatap gadis muda yang masih memegang pipinya yang memerah. Luna berjalan mendekat. Menembus kegelapan malam sebab hanya lampu remang yang sudah usang lah yang menjadi sumber penerangan utama di tempat ini.
"Kau tak apa?" tanya Luna melirih. Mengulurkan tangan untuk meraih jari jemari gadis di depannya itu.
"Pipimu memerah," paparnya kala sepasang lensa indah milik Luna Skye merekam warna lain yang ada di atas paras cantik gadis di depannya.
"Tak apa. Terimakasih karena sudah membantuku." Ia berucap. Lirih nada bicara hingga terdengar samar masuk ke dalam lubang telinga Luna.
"Aku harus kembali ke tempat les, sebelum papa menjemputku." Ia mengimbuhkan. Tersenyum pada Luna dan beranjak pergi.
Luna mengekori. Ikut berjalan keluar dari gang dan menuju kembali ke dalam keramaian Kota Amsterdam. Langkah kakinya ringan. Mengikuti gadis cantik yang sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa Luna masih ada di belakangnya sekarang ini.
"Kau masih takut?" Luna menyela pada akhirnya. Sukses membuat gadis di depannya menghentikan langkah dan menoleh padanya.
Gadis itu menundukkan pandangannya sejenak. Menghela napasnya kasar kemudian kembali mendongak untuk menatap Luna. Jelas terlihat bahwa Luna menunggu jawaban dari sang gadis.
"Kau mau menghantarkanku ke tempat les. Aku takut jika mereka kembali lagi." Ia berkata dengan nada lirih. Sembari memainkan ujung jari jemari bercat kuku merah tua. Dari penampilan gadis ini, ia terlihat seperti anak orang berada. Penuh harta dan tak kurang kasih sayang. Caranya bersikap sedikit manja, menegaskan bahwa ia pastilah anak semata wayang yang menjadi ahli waris di sebuah keluarga konglomerat.
"Tentu." Luna tersenyum. Menarik lengan gadis itu dan membawanya kembali berjalan seirama. Menerjang padatnya sisi jalanan Kota Amsterdam kalau malam tiba.
"Amanda!" Seseorang memanggil. Sukses membuat gadis yang ada di sisi Luna menoleh.
"Kau di sana rupanya!" susul suara berat mengimbuhkan. Seorang pria berjas mahal datang dengan langkah yang dipercepat. Merentangkan tangannya seakan memberi celah untuk gadis datang dan memeluk tubuh kekarnya itu.
"Daddy!" teriak sang gadis menimpali.
Luna menatapnya. Semakin dekat jaraknya, paras pria itu tak asing untuk Luna. Dia adalah Tuan Ge Hansen Joost, pemilik perusahaan Ge Sketchbook Company.
... To be Continued ...