Asap kopi mengepul di udara. Membawa nikmat dan manisnya aroma arabika yang menari-nari di dalam lubang hidung gadis yang kini menggeliat kasar sembari menggulung tubuhnya beringsut masuk ke dalam selimut. Cahaya mentari mulai merambah masuk kala tirai gorden disingkap dengan kasar. Bunyi nyaring khas kini masuk ke dalam telinga Luna. Perlahan matanya terbuka seiring dengan cahaya sang surya yang menusuk masuk ke dalam netranya.
Gadis itu mengedipkan matanya kasar. Beberapa mengembuskan napasnya untuk melepas apapun yang terasa berat untuknya. Luna melirik pria yang kini mengenakan kemeja polos berwarna pekat. Sesekali tatapannya melirik ke arah Luna. Seakan ingin menyambut, ia tersenyum kala gadis berbalut selimut tebal yang menutup hingga dadanya itu perlahan bangkit. Malam yang melelahkan, itulah arti tatapan dan senyuman Luna sekarang.
"Aku membuatkan dirimu kopi. Minumlah, teh di dapur habis dan madunya tinggal sedikit. Jadi aku membuatkan kopi." William menjelaskan. Singkat namun cukup bisa dimengerti.
Luna menganggukkan kepalanya. Tersenyum sembari merapatkan matanya kala sang kekasih kembali memutar tubuh dan berjalan mendekati dirinya. Seakan berharap mendapat kecupan manis sebelum William pergi, Luna diam. Mematung sembari merapatkan bibirnya.
"Aku membelikanmu hadiah kemarin sore, aku berencana untuk memberikannya kemarin malam. Tapi aku lupa."
Gadis itu membuka matanya. Percakapan berhenti saat suara aneh masuk ke dalam telinganya. William tersenyum dengan sebuah kotak yang sudah ada di depannya sekarang ini. Luna bisa menebaknya, bukan perhiasan mahal atau cincin pertunangan. Setidaknya yang ada di dalamnya adalah sebuah benda berukuran besar yang masih misterius hingga ia membukanya.
Perlahan gadis itu menarik kotak yang ada di depannya. Dibuka dan ditataplah sepasang sepatu high heels berwarna merah darah dengan satu pita yang menghias di ujungnya. Luna ber-wah ringan. Mengangkatnya satu sepatu dan menimang-nimangnya dengan antusias. Sangat cantik! Sesuai dengan selera dan ukuran kakinya.
"Thanks, Honey!" katanya bersemangat.
William tersenyum. Mengangguk ringan sembari mengusap puncak kepala sang gadis yang ada di sisinya. "Mandilah, kau terlihat kusut tapi menggemaskan," kekeh pria itu sembari mencubit bibir Luna. Ia bangkit dari posisi duduknya. Kembali berjalan menuju ke arah cermin depan yang ada di sudut kamar milik sang gadis. Merapikan kemeja, rambut, dan penampilannya pagi ini.
William bak seperti orang sibuk yang ingin segera pergi untuk menjemput kesibukannya. Meninggalkan Luna, sang gadis cantik yang masih menatapnya aneh. William tak bercerita apapun semalam tentang niatnya yang ingin pergi ke suatu tempat pagi ini.
"Kau ingin pergi?"
William mengangguk. "Hm. Aku ingin mencari pekerjaan paruh waktu yang baru lagi. Seseorang menawariku kemarin malam."
"Di bar?" tanya Luna melirih. William menolehkan kepalanya. Ia tersenyum. Seakan ingin memberi tahu Luna bahwa pekerjaannya sedikit lebih baik dari seorang penjaga atau pelayan di dalam bangunan bar dan klub malam.
"Aku magang di sebuah perusahaan mobil. Katanya mereka membutuhkan karyawan paruh waktu untuk melakukan marketing," ucapnya menjelaskan.
Gadis itu kini tersenyum ramah. Ditatapnya sang kekasih dengan penuh pengharapan. Ucapan William Brandy layaknya seperti angin segar yang menyejukkan hatinya. Tak lagi khawatir dengan dunia sang kekasih yang berisi tubuh seksi para gadis malam atau dunia gelap penuh minuman beralkohol, William seakan ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah berubah sekarang. Menjadi pria yang lebih baik dan ingin lebih mapan lagi.
"Katanya kau akan magang kerja minggu depan. Jadi pakailah sepatunya agar terlihat cantik dan mempesona di hari pertama. Kesan pertama untuk bertemu orang-orang baru adalah hal yang terpenting dalam membangun sebuah hubungan, Honey." William menarik mantel tebal yang ada di sisinya. Lagi-lagi manik mata indah berwarna cokelat gelap itu menyisir perubahan ekspresi wajah sang kekasih. Luna nampak lebih berseri pagi ini, tak seperti biasanya yang terlihat lelah dan lesu. William paham, sebab sang gadis mendapat dua bonus pagi ini. Pertama sepatu cantik yang diidamkannya, kedua sebab William bekerja di perusahaan yang baik.
"Tentu." Luna menganggukkan kepalanya.
"Aku pergi dulu, Honey. Aku mungkin akan pulang malam nanti. Jadi jangan menungguku."
Gadis itu mengerang ringan. Mengerti dan paham akan interuksi pria yang baru saja mengecup keningnya mantap. William pergi, tubuh kekarnya hilang saat suara pintu ditutup dengan tegas. Menyisakan aroma parfum khas yang dibelikan Luna minggu lalu. Gadis itu melirik cermin, wajahnya terlihat begitu bersemangat pagi ini. Hidup sendiri tak bersama kedua orang tuanya, ternyata tak seburuk yang Luna pikirkan selama ini. Ada William yang menemaninya. Meskipun terkadang mengecewakan, namun tetap saja kebahagiaan selalu ada dan mengiringinya sebab sang kekasih.
Luna menarik ponsel miliknya. Sebuah panggilan tak terjawab dari nomor asing pagi buta tadi. Gadis itu mengernyitkan dahinya samar. Sejenak matanya berkedip untuk menyesuaikan cahaya layar ponsel yang ada di dalam genggamannya. Selama ini Luna tak pernah mendapat panggilan dari nomor asing sebanyak ini. Seseorang sedang mencarinya?
•••Imperfect CEO•••
Segar dirasa selepas memutuskan untuk mencuci rambutnya pagi ini. Aroma mawar mengikuti setiap langkah gadis yang kini berjalan menuju ke arah jendela besar rumahnya. Satu persatu tirai Luna buka dengan kasar. Membiarkan surya masuk untuk memberi warna kehidupan di dalam kediaman peninggalan sang kakek. Luna menyukai pemandangan dan situasi rumahnya kalau pagi datang menyapa seperti ini. Seakan tak pernah ramai dan padat, kediaman keluarga Skye tergolong menepi dari padatnya Kota Amsterdam.
Ia mendesah. Merasakan hangatnya surya yang menerpa tubuh kurusnya. Luna berbalik. Menyambar secangkir kopi yang dibawanya dari lantai atas, khas buatan William dengan penuh cinta.
Gadis itu kini melirik jam dinding di sisinya. Masih cukup waktu sebelum ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke kampus dan membuat laporan magang. Setidaknya ada dua jam untuk Luna bisa bersantai. Menikmati pagi dengan cara biasa namun tak pernah membosankan. Acara televisi yang itu-itu saja memang, namun Luna menyukainya. Suasana sepi yang tak pernah ramai kalau William meninggalkannya. Juga hawa dingin sedikit hangat sebab surya tersenyum dengan riangnya pagi ini.
Gadis itu duduk. Rapi menyilangkan kakinya sembari mulai menyalakan televisi. Ia ingin bersantai! Akan tetapi seakan semesta tak ingin melihat Luna menikmati paginya, suara bel rumah nyaring berbunyi. Menandakan bahwa seseorang datang bertamu ke rumahnya pagi ini.
Siapa? Entahlah. Selama beberapa bulan terakhir, Luna tak pernah menerima tamu selain sahabatnya dan sang kekasih. Jika memang benar sahabatnya, membunyikan bel seperti ini bukan cara mereka untuk bertamu dan menginap.
William? Mungkin! Pria itu mungkin kembali untuk mengambil sesuatu.
Luna menekan gagang pintu. Menariknya perlahan sembari mencoba menatap siapa yang ada di depan pintu sekarang ini.
"Kenapa harus membunyikan belnya? Kau bisa masuk—" Ucapannya terhenti. Salah dugaan. Yang berdiri di depan pintu rumahnya adalah Tuan Ge. Ya! Ge Hansen Joost.
... To be Continued ....