Zekker University, Amsterdam Belanda.
Suasana kampus yang khas menjadi pesona tersendiri untuk Luna kala memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam area taman belakang kampus. Tempat ini sangat strategis. Hamparan rumput hijau yang terlihat sejuk, bersih, dan nyaman untuk dipandang. Air mancur kecil dengan beberapa ikan yang berenang di bawahnya serta hawa dingin khas Kota Amsterdam kalau siang datang seperti ini seakan menjadi penambah point penting untuk kenyamanan bagi Luna. Ia tak sendiri, ada Damian, Eva, juga Barend yang menemani. Ketiganya datang untuk alasan yang sama, menyerahkan hasil wawancara magang kepada dosen yang mengampu. Luna sudah melakukan tugasnya begitu juga Damian yang baru saja datang selepas menghadap dosen pembimbing. Eva dan Barend adalah si karet yang suka molor kalau disuruh segera mengumpulkan tugas kampus. Jam deadline masih lama, nanti sore kalau senja datang menjemput lelah.
Gadis itu menatap jauh ke depan. Sesekali tersenyum ringan dengan kekehan kecil yang sedikit menyeramkan untuk Eva dan Barend. Luna bukan orang suka melamun dengan tawa kecil yang menyela. Seakan sesuatu baru saja masuk dan meracuni otak bersih gadis berambut pendek itu.
Damian ikut menoleh. Di tatapannya gadis yang duduk dengan jarak sedang di depannya itu. Luna memang tergolong aneh pagi ini, sedang bahagia berbunga-bunga mungkin hatinya. Melihat ia tak pernah melunturkan senyum manis sejak dirinya datang menyambangi kampus dan menemui Damian.
Ada satu alasan Luna bersikap demikian. Pertama sebab sang kekasih baru saja memberi kabar padanya bahwa ia diterima kerja sebagai pegawai magang dalam masa percobaan. Kedua, sebab Tuan Ge menghantarkan dirinya datang ke kampus. Pria baik itu sudah dengan sabar menunggu Luna berbenah diri. Merapikan ini itu, mempersiapkan banyak hal dan ber-make up sedemikian hingga membuat wajahnya terlihat sangat cantik siang ini. Seperti mendapat dua bonus lotre besar dalam waktu yang bersamaan, hatinya bertubi-tubi dibuat bahagia oleh semesta.
"Kau baik-baik saja, Luna?" Damian mulai menyela. Membuka mulutnya dengan tatapan penuh pertanyaan untuk gadis yang kini menoleh padanya.
Luna seakan didiamkan paksa. Senyumnya menghilang seiring dengan tatapan teduh yang memblokir seluruh arah pandangannya. Dalam tatap mata itu, Damian seakan sedang bertanya pasal apa gerangan yang membuat Luna jadi seperti ini?
"Aku membawa kabar baik." Luna memutar tubuhnya. Menatap satu persatu orang yang duduk di sekelilingnya sekarang ini. Gadis itu terdiam sejenak matanya berkedip sesekali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam lensa cokelat mudanya. Semua menunggu, sebab Luna jarang datang bersama kabar baik.
"William diterima di sebuah perusahaan Diler mobil. Meskipun sedang magang dan masa percobaan, tapi bukankah kalian bangga?" Luna berbinar. Matanya menyala dipenuhi dengan beribu kebaikan dan kebahagian.
"Kau yakin?" Barend menyahut. Sigap menatap Luna dengan penuh keseriusan. Bertahun-tahun menjadi teman baik Luna tentunya membuat Barend paham benar bagaimana kisah percintaan sang sahabat. William terlalu banyak berdusta dan mengumbar janji. Bahkan Barend Antonius masih ingat benar jikalau William pernah berjanji pada Luna ia akan menjadi seorang karyawan tetap dan memindah jadwal kuliahnya menjadi mahasiswa kelas malam. Katanya juga, William ingin lebih serius membahagiakan sang kekasih. Ingin mulai menjadi seorang pria baik yang bisa menafkahinya dengan tulus tanpa kekurangan apapun. Akan tetapi semua itu hanya omong kosong semata! Barend, Eva, dan Damian tak pernah melihat kepastian dari janji yang diucapkan oleh dirinya.
Jadi siapa yang bisa menebaknya kalau ini hanya akal-akalan si pria mulut sampah itu?
"Kau yakin?" ulang Barend memberi penekanan. Sigap Eva menyenggolnya. Memberi isyarat pada Barend untuk tak mendesak Luna sekarang ini. Setidaknya dengarkan dulu Luna berbicara sampai habis. Baru kalau ada pertanyaan, bolehnya bertanya dengan cara yang sopan dana santun.
"Dia bahkan mengirimiku foto surat kontrak magang dan masa percobaan itu." Luna merogoh ponselnya. Menunjukkan layar berisi rekam gambar yang persis sama dengan apa yang dikatakan oleh gadis itu.
Damian tersenyum. Matanya berbinar kala melihat senyum tulus mengembang di atas paras cantik gadis yang amat ia cintai. Damian teringat akan sebuah adegan memilukan kala Luna menangis dalam pelukannya. Tentang sang kekasih yang berselingkuh dan berusaha memperkosa seorang pelanggan di tempatnya bekerja. Semuanya seakan hilang lenyap begitu saja hanya dalam satu malam. Luna pandai memakai topengnya. Menyimpan rapat luka di dalam hati sebab pedang sang kekasih sudah menggoresnya.
"Aku ikut senang Luna," ucap Damian memberi semangat. Luna mengangguk. Samar bibirnya berucap kata terimakasih untuk memberi respon.
"Semoga dia menetap di sana hingga nanti. Aku berharap kalian benar menikah," sahut Eva menimpali dengan suara manja. Gadis itu menggelayut di atas pundak sang kekasih, Barend. Sejenak meliriknya kemudian kembali menatap Luna penuh pengharapan
Dua kepribadian yang saling bertolak belakang namun saling menghargai dan mentoleransi adalah definisi hubungan yang terjadi di antara Barend Antonius dan Eva Marghreet. Jika Eva adalah di gadis penuh 'image' bagus yang selalu dijaga olehnya kala berbicara dengan lawan mainnya, maka Barend adalah si 'ceplas ceplos' yang tak canggung mengatakan apapun yang ada di dalam hatinya.
"Thank you very much, you guys supported me a lot!"
•••Imperfect CEO•••
Langkah keduanya ringan berjalan menyusuri rumputan hijau nan segar yang menjadi alas pijakannya sekarang ini. Barend pergi bersama Eva untuk segera menyerahkan tugas mereka selepas pembicaraan selesai dilaksanakan. Tak ada yang bisa dibahas lagi, sebab bagi mereka urusan dan keperluan sudah beberapa selepas kerja magang diputuskan tempatnya.
Kini hanya bersisa dirinya dengan Damian. Bukan hal aneh dan asing lagi sebab berduanya Luna dengan Damian sudah menjadi hal lumrah di kampus ini. Meskipun berpuluh pasang mata menatap mereka sekarang ini, namun Luna tak pernah mempedulikan itu semua. Ia tak menyukai semua orang di kampus ini, hanya bergaul dengan Barend, Eva, Noa, dan Damian saja sudah membuatnya nyaman dan bahagia.
"Aku senang melihatmu berbaikan dengan William." Damian menyela langkah. Melirik gadis yang ada di sisinya.
Dahi Luna mengernyit. Tatapannya aneh penuh tanda tanya, jika diingat dengan baik Luna tak pernah sekalipun mengatakan pada Damian bara ia bertengkar dengan sang kekasih, juga dirinya tak pernah menyebarkan berita bohong untuk membuatnya sendiri dalam kesusahan.
"Aku tak pernah bertengkar dengan William sebelum ini," bantahnya tersenyum aneh.
"Lalu, soal perselingkuhan dan—"
"Aku melupakan itu." Luna memotong kalimat Damian. Membuat lawan bicaranya kini bungkam tanpa bersuara. Benarkah ia mendengarnya? Luna ... melupakan kesalah terbesar yang pernah dilakukan oleh William padanya? Ya, William mengkhianati kepercayaan Luna. Lalu mengapa gadis itu dengan mudahnya memaafkan dan melupakan begitu saja.
"Aku takut jika membahasnya itu akan membuat hubungan kita hancur dan William pergi dari sisiku." Luna mengimbuhkan.
Benar! Mengapa Damian tak pernah memikirkan itu sebelumnya? Luna ... terlalu mencintai pria brengsek bernama William Brandy.
... To be Continued ...