Camilan tradisional khas Negara Belanda dipilih oleh Luna juga Damian untuk menghabiskan siang mereka kali ini. Berteman dengan secangkir susu hangat yang manis kalau mengenai permukaan lidahnya, Oliebollen adalah camilan terbaik untuk mengisi perut kala tak ada napsu untuk menyantap sepiring nasi atau makanan berat lainnya. Camilan yang terbuat dari kismis dan potongan apel beradonanan mirip donut, dengan topping icing sugar yang konon hanya disajikan tepat saat malam baru tiba ini adalah pesona terbaik yang membangkitkan selera di dalam diri Luna sekarang ini.
Luna menatap piring di depannya. Sesekali melirik Damian yang mulai menyantap apapun yang dipesan oleh keduanya sebelumnya. Udara tak lebih hangat dari sebelum hari ini datang. Masih menetap di angka 20 derajat dengan angin kencang yang mendatangkan gerimis di sepertiga malam. Siang ini langit cerah, namun tak ada yang menjamin untuk malam tiba nanti. Ingin rasanya Luna menikmati hari dengan hati yang bahagia. Berbunga-bunga dengan kelinci yang sedang melompat ria di dalam perutnya. Akan tetapi, naas! Semua itu hanya angan semata.
Ia berdusta jikalau berkata bahwa dirinya tak merasa khawatir sekarang ini. Pasal William Brandy, ya memangnya mau siapa lagi? Jika seseorang berani berkata kasar pada gadis itu, maka yang pertama kali dikatakan olehnya adalah William Brandy itu beban terbaik untuk seorang gadis bernama Luna Theresia Skye.
"Kau tidak makan?" Damian menyela. Meletakkan garpu dan pisau makan yang ada di sela jari jemari panjang miliknya sekarang ini.
Hanya ada satu respon dari Luna Skye, yaitu tersenyum sembari mengangguk ringan.
"Kau tak suka camilannya?" Damian kembali mengimbuhkan. Menatap Luna dengan penuh pengertian. Tak terelakkan lagi, kalau Damian adalah orang yang paling bisa diandalkan oleh Luna sekarang ini.
"Aku hanya sedang memikirkan sesuatu sekarang." Luna menjawab. Nada bicaranya ringan dan nikmat terdengar masuk ke dalam telinga. Suara gadis itu memang tergolong manis dan lembut. Sopan santun tak memekak kalau didengar dengan baik.
"Sesuatu? Tentang William?" Damian mencoba menebak. Benar, hanya itu alasan Luna tak napsu menyantap camilannya kali ini. Raga Luna memang bersama Damian kalau pagi dan siang hingga senja menutup hari, bermalam bersama sang kekasih adalah waktu yang singkat untuk dilakukan. Jadi bisa dikatakan dengan tegas bahwa Luna lebih sering menghabiskan hari dan kehidupannya bersama Damian Edaurus. Akan tetapi, hati gadis itu tak pernah benar bersamanya. Luna terus saja memikirkan sang kekasih. Berat rasanya, namun mau bagaimana lagi? Damian hanya tokoh kacangan di sini.
--cukup bagi dirinya untuk bahagia dengan posisi penting yang terkadang diabaikan oleh Luna. Dirinya adalah pendengar baik sekaligus pemberi motivasi yang paling bisa diandalkan.
"Sudahlah. Ini akan merusak hari baik kita," ucapnya tersenyum aneh. Gadis itu kini mulai memindahkan fokus matanya. Menatap camilan yang dibelikan Damian untuk mengisi perutnya siang ini. Tak ada bantahan dari Damian, Luna ingin mengakhiri pemikiran negatifnya, maka Damian harus mengikuti dan mempersetujui itu.
Laki-laki berambut klimis itu kini tersenyum ringan. Matanya tajam menatap segala gerak-gerik gadis pujaannya. Luna sangat cantik. Wajahnya memukau dengan riasan tipis seperti itu. Kulitnya putih bersih tanpa ada luka sedikitpun. Dirinya bak malaikat tanpa sayap yang diturunkan semesta untuk meluluhkan pendirian Damian.
"Wah, apa ini ... kita bertemu lagi, Nona Skye." Seseorang menyela keduanya. Damian menoleh. Tak lagi menatap Luna dalam diam, namun tepat mengarahkan sorot lensa cokelat tuanya itu pada pria berjas rapi yang baru saja masuk ke dalam area rumah makan.
Luna ikut mendongakkan pandangannya. Mengurungkan niat untuk memotong Oliebollen yang dipesannya bersama Damian. Terkejut bukan main kala mendapati perawakan jangkung bertubuh kekar yang terlihat amat sangat mempesona dengan tas kerjanya siang ini. Sinar mentari menerpa kedatangannya. Seakan memberi kesan betapa indah nan agungnya ciptaan Sang Kuasa.
"Tuan Ge," sapa Luna bangkit dari tempat duduknya. Penuh kesopanan gadis itu tersenyum singkat. Membungkukkan badannya untuk memberi salam penyambutan.
Tuan Ge menolak itu. Sigap menarik bahu Luna membuat gadis itu kembali berdiri tegap. Secara hukum perusahaan yang ada, Luna belum sah bekerja di perusahaan yang ia dirikan. Kiranya masih ada lima hari berselang sebelum gadis itu resmi menjadi karyawan magang di dalam perusahannya. Jadi, tak perlulah gadis itu untuk melakukan hal canggung semacam ini.
"Tidak, tidak. Kita belum resmi menjadi bos dan karyawan. Jadi jangan memperlakukan diriku seperti ini." Tuan Ge tertawa ringan. Kini tatapan mata tajam bak elang yang sedang membidik mangsa di atas udara itu menuju pada paras tampan yang begitu asing untuk Tuan Ge. Paras laki-laki berkemeja rapi itu yang digulung separuhnya itu bukan William Brandy, si kekasih hati yang tinggal satu atap dengan Luna.
"Ah, dia adalah temanku. Namanya Damian Edaurus." Luna memperkenalkan. Dengan senyum ramah penuh kesopanan seakan mengerti arti tatap dan mimik wajah pria di depannya itu.
"Dia bekerja di perusahan Lekken's property." Gadis itu mengimbuhkan. Menatap Damian yang hanya tersenyum ringan untuk saat ini.
"Itu perusahaan adik ipar ku," ucap Tuan Ge mempersingkat.
Luna terperanjat. Dalam diam ia terus memperhatikan paras tampan milik Tuan Ge. Tak menua, bak drakula juga vampir penghisap darah yang akan terus hidup abadi dalam masa mudanya. Hal mengejutkan yang baru saja didengarnya adalah seluruh keluarga Tuan Ge benar-benar orang kaya dan terpandang di tengah masyarakat yang biasa-biasa saja.
"Aku tahu itu." Damian kini menyahut. Tersenyum canggung kembali duduk dengan posisi ternyaman.
Tuan Ge menoleh pada laki-laki di sisi Luna. Menganggukkan ringan kepalanya tanda mengerti. Tentu, bos besar dari Lekken's property pasti sudah menceritakan banyak kehebatannya. Termasuk menyumbang dana untuk pembangunan Ge Sketchbook Company.
"Boleh aku duduk bersama kalian?" tanya Tuan Ge kembali menyela.
Luna terdiam sejenak dalam pikir gadis itu, Tuan Ge hanya akan mampir untuk menyapa dirinya yang sudah baik mau mengembalikan liontin hadiah untuk sang istri pagi ini. Ia tak menyangka kalau orang terpandang seperti Tuan Ge, mau bergabung dengan rakyat biasa seperti dirinya.
"T--tentu. Duduklah." Luna menjawab sedikit aneh rasanya makan dan berhadapan dengan orang asing meskipun ini bukan kali pertama ia bertemu dengan Tuan Ge.
Semua yang ada dan melekat di dalam diri pria itu benar-benar terlihat elegan dan mewah. Tak ada barang murahan yang dibeli kalau pasar lelang di buka. Semuanya asli dari desainer terkenal di Kota Amsterdam.
"Aku sudah menelepon istriku, katanya dia mengijinkan kau bergabung makan malam dengan kami." Tuan Ge mulai kembali membuka mulutnya.
Luna kembali terdiam. Kalimat itu ... membuat dirinya mati rasa. Ingin menolak? Entahlah. Rasanya sangat aneh.
... To be Continued ...