Chereads / IMPERFECT CEO / Chapter 25 - 25. The Whole Nine Yards

Chapter 25 - 25. The Whole Nine Yards

Luna memilih bungkam. Tak banyak bisa ia katakan sekarang ini. Gadis itu cukup tahu bahwa Tuan Ge datang untuk mengambil sesuatu darinya, bukan ingin bertemu menyapa pegawai magang yang akan mulai bergabung di perusahaan besarnya minggu depan. Pria yang begitu tampan dan gagah dengan setelan jas mahal serta tatanan rambut rapi yang disisir naik ke atas itu mengambil kembali buku yang ia berikan pada Luna kala itu. Bukan tanpa sebab, namun alasan kuat menjadi pendorong pria pemilik nama lengkap Ge Hansen Joost itu untuk datang ke rumah Luna pagi hari begini.

Kalung! Kalung liontin cantik yang terselip di tengah buku adalah alasan Tuan Ge datang kemari. Sungguh, Luna tak tahu jikalau ada benda secantik itu di dalam buku yang ia simpan. Juga, ia terpesona! Ukiran yang ada di atas permukaan liontin sangat indah dan rapi. Satu berlian kecil menghias di ujung lengkungan nama yang terukir di atas sana. Elsa, ya kiranya itu yang bisa dieja oleh Luna kala netra cokelat miliknya menangkap tulisan kecil yang ada di atas gantungan liontin. Pragudanya sementara, itu nama istri Tuan Ge.

"Maafkan aku karena datang sepagi ini dan mengambil apa yang sudah kuberikan padamu." Tuan Ge menyela. Dengan suara berat yang khas menarik perhatian Luna yang terus saja menatap kepulan asap di atas permukaan cangkir di tengah meja kaca.

Aroma teh berbaur dengan manisnya madu terus saja menari di dalam lubang hidungnya. Gadis itu menaikkan pandangan. Sepasang netra tajam nan mempesona kini menyambutnya datang. Luna terdiam, senyum aneh mengembang seakan semuanya terasa lain. Suasana di rumahnya kembali hidup, kedatangan Tuan Ge menghidupkannya!

"Aku yang seharusnya meminta maaf karena tidak menyambutmu dengan sopan," tukas Luna tersenyum manis. Melirik sendiri penampilan 'ala-kadarnya' yang ia tunjukan pagi ini. Celana panjang kain dengan kaos polos yang kedodoran. Rambut basah sebab ia belum sempat mengeringkannya juga raut wajah aneh sebab tak ada make up yang mempercantik di atasnya. Luna benar-benar terlihat begitu kacau!

"Tak masalah, lagian aku datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu."

"Sebenarnya aku sudah meneleponmu beberapa kali, namun sepertinya kau masih tertidur atau sibuk dengan urusan rumah di pagi hari." Tuan Ge melanjutkan. Nada lembut nan sopan masuk ke dalam telinga Luna. Seakan angin laut yang sedang membelai setiap inci tubuhnya, gadis itu seperti sedang didendangkan. Suara Tuan Ge tergolong berat dan serak, namun sangat menenangkan.

"Aku baru membukanya beberapa menit yang lalu. Maafkan aku," timpal gadis itu mengernyitkan dahinya.

"Kenapa terus meminta maaf? Tak ada yang salah di sini." Tawa ringan menyertai kalimat singkat itu. Mengimbangi calon bos di tempatnya ia berkerja nanti, Luna ikut ber-haha hihi ringan untuk mengisi suasana.

Tuan Ge kini menarik secangkir teh yang disiapkan Luna untuk menyambutnya. Meskipun ia yakin bahwa penyambutan ini amat sangat biasa untuk orang penting seperti Tuan Ge. Akan tetapi, tak ada salahnya bukan untuk berbuat baik semaksimal mungkin? Ya, tak ada yang akan menyalahkan.

"Tehnya enak dan manis. Perpaduan yang pas." Pria itu kembali berpendapat selepas satu seruputan kasar teh yang masuk membasahi tenggorokannya ia rasakan begitu nikmat. Mengusir segala dahaga yang dirasa selepas setengah jam menempuh perjalanan untuk sampai ke rumah Luna. Menunggu gadis itu membukakan pintu dan berbincang ringan seperti sebelumnya, mungkin sedikit membuat tenggorokannya mengering.

"Kau memang pandai membuat ini," pujinya pada Luna. Gadis itu mengangguk. Hanya itu respon yang bisa ia berikan sekarang. Mau menyombong? Sudah pasti dirinya akan kalah! Apa yang bisa Luna sombongkan? Hanya secangkir teh madu yang nikmat dengan kepulan asap mengudara tak sebanding dengan gedung bertingkat, popularitas, kekayaan, kehidupan yang mewah, keluarga yang harmonis, prestasi yang tinggi, serta jabatan berpenghasilan luar biasa. Tuan Ge adalah segalanya. Si nomor pertama di Kota Amsterdam jikalau disinggung pasal bidang sastra, berita dan perfilm-an.

"Kekasihku yang mengajarinya. Aku hanya meniru." Luna menyela. Merendah untuk saat ini.

"Orang yang kemarin malam aku temui?"

Gadis itu mengangguk-angguk. Tersenyum untuk menyambut kalimat pertanyaan yang dilontarkan padannya. Luna tak bersuara. Hanya mengerang ringan sembari menatap lawan bicaranya penuh rasa canggung.

"Aku melihatnya keluar dari jalanan ini tadi, sepertinya dia ingin melamar kerja."

"Dia dipecat dari pekerjaannya baru-baru ini. Kabar baiknya, seorang teman membantu William untuk mendapatkan tempat kerja yang baru."

Obrolan terhenti sesaat selepas Tuan Ge menganggukkan kepalanya mengerti. Luna pun tak lagi berucap. Cukup jelas penjelasan dan jawaban yang ia berikan pada Tuan Ge, tak harus semua ia beberkan bukan?

"Kau hanya tinggal berdua dengan kekasihmu?"

Gadis itu mengiyakan. Lagi-lagi senyum merekah untuk memberi respon pada lawan bicaranya. "Terkadang aku tinggal sendiri, apalagi kalau akhir pekan. William akan kembali ke rumah orang tuanya."

"Orang tuamu? Masih hidup?"

"Tentu. Mereka mengurus bisnis di tempat lain. Mereka hanya mengirimi uang di akhir bulan. Tapi akhir-akhir ini bisnis sepertinya tidak lancar." Luna mengimbuhkan. Senyum kecut mengubah ekspresi gembira yang ditunjukkan olehnya sebelum ini. Seakan mengisyaratkan pada Tuan Ge bahwa hidupnya tak sebaik yang orang lain kira.

"Jadi aku harus mulai mencari pekerjaan."

"Kau akan digaji mulai bulan depan, jadi jangan khawatir." Pria itu menyahut. Nanar tatapannya mengarah pada gadis mungil yang ada di depannya. Berbeda jauh dari Amanda, sang putri. Meskipun rentang usia mereka tak terlalu jauh namun kepribadian dan cara pikir mereka terasa begitu berbeda.

Putrinya, Amanda Hansen Joost adalah gadis manja yang suka merengek kalau uang jajannya kurang. Selalu mengadu kalau ada masalah dengan sang kekasih di sekolah. Gadis itu pun tak pernah ingin membawa mobil atau melakukan semuanya sendirian, selalu harus ada yang menemani. Entah itu Elsa ataupun Tuan Ge.

Melihat Luna seperti ini, Tuan Ge merasa melihat dunia lain yang ada di depannya sekarang. Tak ada kehidupan mewah, meskipun rumah yang ditinggali Luna tergolong besar dan luas. Tak ada suasana ramai, sebab ia hanya hidup memperjuangkan masa depan sendirian. Sang kekasih? Tuan Ge yakin, William hanya sebatas menemani saja. Tak pernah benar ikut berjuang.

"Kau melakukannya sendirian? Maksudku memasak, membersihkan rumah, dan melakukan hal-hal lain yang—"

"Aku tak pernah memasak. Jikapun ingin, aku hanya makan mie instan." Luna menerangkan.

"Alasannya?" sahut Tuan Ge penuh penekanan.

"Aku tak bisa memasak. Dari pada menyia-nyiakan uang dan waktu, aku memilih yang instan saja. Di pagi hari aku terbiasa sarapan dengan roti selai dan kopi juga teh. Tak ada makan besar," sambung gadis itu menjelaskan.

Tuan Ge diam sesaat. Menganggukkan kepalanya mengerti. Kini ia paham, bagaimana kehidupan seorang mahasiswi rantau yang tak tinggal bersama kedua orang tuanya.

"Lain kali mampir dan makan malam di rumahku. Putriku terlihat sangat menyukaimu, Xena."

.... To be Continued ....