Luna tersenyum. Mengimbangi kedatangan sang kekasih yang kini tegas melangkahkan kaki berjalan mendekati dirinya. Perawakan tubuh dengan paras asing kini tertangkap jelas oleh sepasang netra cokelat milik William. Ingin tersenyum, namun aneh rasanya. William tak pernah melihat sang kekasih bersama dengan orang asing. Apalagi kalau hampir setara usia dengan ayah kandung gadis itu.
"Tuan Ge, perkenalkan ini kekasihku. William Brandy." Luna tersenyum. Masih sama dengan ekspresi wajah yang bersahabat. Mencoba mengakrabkan suasana kala canggung benar dirasa sesaat kehadiran William menyela keduanya.
"Selamat malam, Tuan William." Pria berjas rapi itu mengulurkan tangannya. Berasa ada di dalam suasana formal, senyum dan tatapannya sedikit canggung. Meskipun Tuan Ge sudah bertemu dengan puluhan orang asing pagi ini, namun tetap saja Luna dan kekasihnya membuat pria itu tak nyaman.
"Dia bos baruku di tempat magang." Gadis itu mempersingkat. Mencoba menjelaskan pada sang kekasih yang belum juga mengulurkan tangan untuk menerima kebaikan dan kemurahan hati Tuan Ge.
William kini ber-oh ringan. Sigap memutar bola matanya untuk menatap pria dewasa yang setara tinggi dengannya itu. Penampilan Tuna Ge mirip bos besar pemilik perusahaan ternama, meskipun sampai sekarang William belum benar mendengar kabar baik perihal Ge Sketchbook Company. Wajahnya? Memang, jelas dikatakan bahwa Tuan Ge tak lagi muda. Akan tetapi paras itu berkata lain. Muda dan segar. Penuh energi berkharisma tinggi, itulah kesan awal kala senyum pria pemilik nama lengkap Ge Hansen Joost itu tertangkap jelas oleh kedua netra William.
--dan satu lagi, mobil mewah itu seakan menegaskan bahwa Tuan Ge bukan kaum rendahan setara dengan laki-laki pengangguran seperti dirinya itu.
"William," sapa William dengan nada ringan nan singkat. Meraih telapak tangan besar sedikit dingin sebab hawa Amsterdam kalau malam memang tak pernah diajak bersahabat.
Keduanya saling melempar senyum canggung. Tak banyak kalimat yang menyela sesaat kemudian. Luna ikut terdiam. Menatap jauh ke dalam mobil tempat di mana sang putri pria berjas di depannya itu menunggu. Alasan yang tepat untuk mengusir Tuan Ge!
"Amanda sepertinya sudah menunggu. Kau bisa kembali," ucap Luna lemah lembut. Ia memang ingin mengusir pria itu malam ini. Bukan sebab tak suka kehadiran Tuan Ge yang menyapanya dan menghantarkan dirinya sebagai sopir gratis kompensasi dari perilaku baiknya pada sang putri, namun gadis itu hanya tak ingin suasana canggung semakin tegas menjadi atmosfer tambahan selain udara dingin dan sepinya suasana malam di sekitar kediaman Luna. Yang dibenci gadis itu bukan Tuan Ge, namun suasananya.
"Kau benar. Terimakasih karena sudah menyelematkan putriku. Seminggu ke depan kita akan bertemu di kantor," jawab pria itu dengan nada enteng. Luna menganggukkan kepalanya. Seakan setuju, meskipun sebenarnya ia tak tahu harus menjawab dan menanggapi bagaimana lagi?
"Hati-hati di jalan Tuna Ge. Sampaikan salamku pada Amanda." Luna kini membungkukkan badannya. Memberi salam perpisahan formal diikuti dengan William yang diminta untuk melakukan hal serupa oleh sang kekasih.
Tuan Ge mengangguk. Paham dengan apa yang dimaksudkan oleh Luna, ia tersenyum. Mengerang ringan kemudian memutar langkahnya. Pergi meninggalkan Luna bersama William Brandy.
Pertemuan keduanya hanya sampai senyum manis yang menutup percakapan. Menyisakan keheningan yang terpecah kalah suara mesin mobil menggema di udara. Seseorang kini mengemudikannya. Mengarahkan mobil mewah mengkilap itu dengan begitu lincah tanpa kesalahan apapun. Sekarang Luna benar hanya bersama sang kekasih. Saling tatap sejenak. Kemudian William merangkulnya. Membawa tubuh Luna untuk masuk ke dalam rumah.
•••Imperfect CEO•••
William menatap pemanas ruangan yang ada di sudut ruang tamu. Sejenak matanya menyipit kala benda yang dituju sudah menyala. Kini ia mengubah arah tatapan. Menatap paras cantik sang kekasih yang masih sibuk menata makanan ringan yang dibelinya sebelum datang kemari.
"Honey," panggilnya menarik tatapan milik Luna. Gadis itu menaikkan pandangannya. Ditatap sang kekasih dengan penuh kehangatan. Meskipun hatinya jelas sedang hancur dan resah.
"Seseorang baru saja datang?" tanya pria itu sembari menunjuk pemanas yang ada di sudut ruang tamu.
Luna tersenyum ringan. Seakan paham dengan maksud sang kekasih ia berjalan mendekat. Berdiri tepat di depan William sembari melebarkan tangannya. Luna ingin diberi pelukan hangat malam ini. Untuk sang kekasih Luna ingin mengatakan bahwa ia sangat merindukan William lewat cara gadis itu menatap.
"Kau tak tahu? Selama ini aku selalu menyalakan pemanas sebelum aku pergi. Atau kalau lupa, aku menyalakannya saat kembali dari kampus." Luna mulai menerangkan. Merengkuh tubuh sang kekasih untuk mulai mengambil jarak intim dengannya.
"Untuk apa?"
"Aku takut setelah kau pulang bekerja paruh waktu kau lelah dan merasa kedinginan. Jadi aku berpikir untuk selalu menyalakan pemanas ruangan. Agar saat kau kembali, kau akan langsung merasa nyaman dan hangat." Luna mempersingkat. Menutup kalimat indah yang sukses membuat hati William bergetar hebat. Senyum dan suara lembut sang kekasih benar-benar menenangkan jiwanya yang sedang kalut.
"Bagaimana jikalau aku tak kembali? Maksudku, bagaimana jikalau aku pulang ke rumah orang tuaku?" William menyahut. Baginya apapun yang dilakukan oleh sang kekasih adalah hal baik yang tak pernah didapatkan oleh William kala bersama sang keluarga. Untuk itu, dirinya akan selalu merasa bersalah jikalau tak menggunakan kebaikan yang diberikan oleh Luna Skye.
"Aku tinggal mematikan pemanasnya. Toh juga, biaya listrik tak mahal. Rumah ini memang besar, tapi hanya beberapa ruangan yang dipakai dan dialiri listrik." Luna mengimbuhkan. Ramah senyum bersama nada bicara yang benar-benar meluluhlantakkan pendirian William.
Sekarang satu pertanyaan terbesit di dalam benaknya, bagaimana bisa gadis sebaik dan se-polos Luna Theresia Skye bisa bertemu dan menjalin kasih dengan pria brengsek pengangguran seperti dirinya itu? Bukankah candaan semesta terkadang tak berbatas?
William kini memeluk tubuh sang kekasih. Mengusap puncak kepala gadis yang kini meletakkan jari jemarinya di atas puncak dada bidang milik William. Mengusapnya perlahan sembari bermain jari di atasnya. Luna tak ingin menggoda, ia hanya ingin menikmati posisi seperti ini.
"Ngomong-ngomong, untuk apa kau pergi ke mantan tempat kerjaku?" tanya pria itu sukses menghentikan aktivitas sang kekasih. Tak lagi bermain jari, Luna kini mencoba untuk mencari kalimat untuk bermain kata bersama sang kekasih. Tak lucu jikalau dalam keadaan romantis dengan merelakan rasa sakitnya terpendam begitu saja hilang sudah hanya sebab pengakuan dari Luna perihal cerita Nona Odile tadi siang.
"K--kau mengikutiku?" paparnya dengan nada lirih. Mencoba tetap tenang sembari mendengarkan detak jantung sang kekasih. Masih normal, belum muncul tanda-tanda bahwa ia sedang berbohong pada Luna.
William melepas pelukannya. Menatap sang kekasih dengan penuh pengharapan. Tersenyum ringan seakan tak ingin Luna merasa aneh sebab pertanyaan darinya itu. "Kau mencurigaiku?"
... To be Continued ....