Tak ada suara yang menyela keheningan. Suasana sepi nan damai dengan alunan musik Ballad yang menemani. Api menyala di dalam sebuah kotak kaca khusus di sudut ruangan berukuran besar. Menemani seorang pria dewasa yang masih sibuk mengotak-atik tumpukan dokumen yang ada di atas meja kerjanya malam ini. Ada satu yang dicarinya, buku tua pemberian sang kakek perihal bacaan yang berisi kiat memulai hidup sebagai seorang pebisnis muda. Di dalam buku itu, banyak hal penting yang dicatatkan oleh Tuan Ge. Juga sesuatu tersimpan di dalamnya. Liontin hadiah pernikahan yang akan diberikan untuk sang istri dua hari lagi.
Ada satu kesalahan kecil yang dilakukan oleh Tuan Ge sebelum ini, ia mengambil liontin itu dari kotaknya, namun tak kunjung mengembalikannya dan menyelipkan benda itu di antara halaman buku yang sekarang entah kemana perginya!
Membeli lagi? Tentu dirinya bisa melakukan itu. Bahkan membeli satu toko sekalipun, namun bentuk itu hanya ada satu di Amsterdam, dipesan khusus untuk sang istri sebagai tanda cinta yang menggebu di dalam dirinya. Jika hilang ia harus memesan lagi. Kiranya dua hingga tiga bulan pria itu baru bisa mendapatkannya kembali. Sial benar, bagaimana bisa ia menghilangkan benda berharga seperti itu?
"Kau sedang sibuk?" Kini suara seseorang lembut menyela. Dari balik celah pintu yang sedikit terbuka, intipan mata indah mencuri perhatian Tuan Ge. Pria itu bangkit dari tempat duduknya, memutar kursi dan berjalan ringan menuju ambang pintu.
"Tidak, masuklah." Tuan Ge menyela. Tersenyum hangat kala tegas pintu ruang kerjanya didorong oleh seseorang. Jari jemari bercat kuku merah tua yang amat dikenalnya. Satu cincin melingkar apik di jari manis identik dengan lingkar cincin yang dikenakan olehnya juga. Cincin pernikahan mereka.
"Aku membawakan mu teh madu. Aku pikir kau akan lembur setelah penerimaan pegawai magang baru," ucapnya dengan lembut. Masuk membawa satu nampan berisi cangkir kecil dengan sendok berukir indah yang terlihat mahal dan cantik. Bisa dikatakan, apapun yang ada di dalam rumah mewah Tuan Ge adalah benda elegan, cantik, mewah, dan berharga fantastis.
"Letakkan di atas meja." Pria itu memerintah. Tersenyum menyambut anggukan kepala dari sang istri. Tuan Ge kini duduk di atas sofa yang melingkari satu meja kotak di atasnya. Dimana sang istri meletakkan secangkir teh bercampur madu manis minuman langganan kalau ia sedang lembur.
Pernikahan Tuan Ge dan sang istri, Elsa tak seusia dengan sang putri. Bisa dikatakan Elsa hamil sebelum berjalan di altar pernikahan bersama sang suami. Menunggu kelahiran sang putri selama satu tahun berselang sebelum akhirnya ucapara sakral itu dilaksanakan. Jikalau Amanda berusia 19 tahun di akhir tahun ini, maka pernikahan keduanya baru berusia 17 tahun kurang lebihnya.
"Kau sedang mencari sesuatu?" Seakan sudah hapal dengan benar kebiasaan sang suami, selepas tak sengaja melirik meja yang berantakan tak karuan bentuknya itu Elsa berjalan mendekat. Meninggalkan sang suami yang kini mulai menyeruput teh di depannya. Seduhan teh bersama madu yang mengepulkan asapnya di udara dengan racik jari jemari sang istri memang luar biasa nikmatnya.
"Kenapa mejamu berantakan sekali?" imbuhnya mulai merapikan meja kerja sang suami. Elsa tak peduli meskipun selepas ini akan berantakan kembali.
"Aku mencari buku yang hilang," tutur Tuan Ge selepas menyeruput teh dan ber-ah ringan untuk mengeluarkan sensasi puas dari dalam mulutnya.
Elsa menghentikan sejenak aktivitasnya. Menatap sangat suami yang juga menoleh ke arahnya. "Kau menghilangkan buku?"
"Aku mungkin lupa meletakkannya atau tertinggal di kantor. Besok pagi aku akan mencoba mencarinya lagi."
Elsa tersenyum manis. Menganggukkan kepalanya lalu melanjutkan aktivitasnya. Satu kertas dokumen berisi biodata karyawan magang mencuri perhatiannya malam ini. Nama yang tertera sedikit tak asing untuk Elsa. Ia sempat mendengar nama itu dari Nona Bella, sekretaris pribadi sang suami.
"Luna Theresia Skye," ejanya tegas. Membuat Tuan Ge menoleh menatap sang istri.
"Aku dengar pegawai magang ini membentak Bella dan bersikap tak sopan padamu," paparnya sembari mengangkat selembar kertas berisi biodata dan foto gadis cantik berwajah polos.
Tuan Ge tersenyum. Bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat pada sang istri. Kabar yang didengar oleh wanita itu tak selalu utuh. Jikalau Bella yang mengatakannya, maka bisa dipastikan bahwa Tuan Ge akan sangat menaruh banyak kekecewaan pada sang sekretaris.
"Siapa yang mengatakannya?" tanyanya lembut.
"Sebelum aku keluar dari gedung, beberapa pegawai mengatakan itu." Elsa menjeda kalimatnya. Memutar tubuh sembari meletakkan dokumen kertas yang ada di dalam genggamannya. Menatap sang suami yang masih diam sembari menganggukkan kepalanya mengerti. Ini yang paling disukai Elsa dari sang suami, penuh pengertian dan mampu menempatkan dirinya dengan baik.
"Aku ingin menanyai Bella, tapi dia terlihat sibuk mengurus semuanya."
"Namanya Luna," sela Tuan Ge dengan suara bariton khas yang menenangkan.
"Aku tau itu." Elsa menyahut.
"Dia gadis yang unik. Hampir seusia putri kita." Tuan Ge menarik tubuh istrinya. Memeluknya hangat sembari sesekali mengusap punggung sang istri.
"Dia tidak bersikap tak sopan atau kurang ajar padaku. Dia tak membentak Bella tanpa alasan yang jelas. Kepribadiannya mirip seseorang," jelas pria itu semakin kuat mendekap sang istri. Kini Tuan Ge menundukkan pandangannya. Menatap puncak kepala wanita yang mendongakkan kepalanya. Ia paham siapa yang sedang dimaksud oleh suaminya itu.
"Caranya menatap dan berbicara mirip denganmu." Tuan Ge memungkaskan kalimatnya. Mencium kening sang istri yang kini perlahan merekahkan lengkungan bibir yang indah.
"Amanda juga mengenal gadis itu."
Perlahan pelukan itu lepas dari jangkauan Tuan Ge. Memaksa pria itu harus sedikit mengambil satu langkah mundur agar sang istri mampu bergerak dengan bebas dan leluasa. Tak lagi terkurung di dalam pelukan hangat tubuh kekarnya.
"Bagaimana bisa?"
"Dia gadis yang baik, menolong Amanda dan menghantarkannya padaku."
Elsa memincingkan matanya. Aneh, ada satu hal yang aneh di sini. "Amanda keluar dari lingkungan sekolahnya lagi?"
"Jangan memarahinya. Dia pasti punya alasan untuk itu, Honey." Tuan Ge menyela. Meredam amarah yang mungkin timbul dari dalam diri sang istri. Memeluknya hangat seakan dari pelukan itu tersimpan satu makna bahwa Tuan Ge merindukan sentuhan seorang perempuan. Elsa memang istri yang baik dan patuh. Mengurus segala keperluannya dengan baik. Menjadikan dan mendidik sang putri menjadi gadis yang mapan dan mandiri adalah hadiah terbaik yang diberikan Tuhan untuknya berwujud seorang istri.
Akan tetapi Elsa bukan wanita yang sempurna dalam menjalani kewajibannya sebagai seorang wanita yang bersuami. Kebutuhan biologis Tuan Ge jarang ia dapatkan sebab dalam tiga hampir empat tahun terakhir ini, Elsa selalu menolak untuk 'melakukan' itu dengannya. Bukan membenci satu alasan terbaik yang terucap dari mulut wanita itu adalah sebab lelah dan sibuk adalah alasannya.
Elsa terlalu lelah untuk 'bermain' di penghujung malam. Wanita itu juga mengatakan bahwa ia terlalu sibuk untuk membuang malamnya tanpa bekerja. Berani taruhan, kalau wanita itu akan kembali ke ruang kerjanya selepas keluar dari ruang kerja milik sang suami.
... To be Continued ...