Chereads / Jangan Beritahu Alasannya / Chapter 4 - Receh

Chapter 4 - Receh

Selamat membaca :)

***

Malam itu, gelapnya datang dengan hujan yang menemaninya. Menunggu pagi untuk menggantikan posisi. Hawa dinginnya saat ini berguna untuk membuat gadis yang tengah melamun merasa nyaman.

Gadis itu terdiam, ia menatap langit kamar dengan berharap bahwa hari esok akan berjalan dengan semestinya, seperti hari sebelum di mana ia sudah lupa bahwa dulu ia pernah memiliki duka, duka yang perlahan menghilang diganti dengan suka. Lewat doa dan usaha kerasnya.

Lagi-lagi ia terbangun. Sedang, semua orang tengah tertidur dengan lelap. Rahel membuka laci buku meja belajar. Mengambil secarik kertas yang berhasil membuat tidurnya terusik.

Mengingat pertama kali ia menemukan kertas itu dibawah lantai rumahnya. Membuat gadis berpakaian rumahan itu selalu bertanya siapa pengirimnya. Tanpa Rahel sadari, air matanya menetes. Takut jika sosok yang dia pikirkan adalah sang pengirim.

Ia sungguh tidak ingin laki-laki itu kembali. Meski dari dalam lubuk hati ia masih menginginkannya. Mengesampingkan perasaannya, ia lebih memilih logikanya. Daripada masuk ke lubang yang sama ia lebih memilih masuk ke lubang lainnya. Hati yang lain yang mungkin lebih menyayanginya, tulus.

Gue udah capek. Air mata gue udah bener-bener ke kuras saat beberapa tahun lalu. Beneran nggak mau inget dia lagi. Semua yang dia inginkan, katakan, dan yang dia rencanakan berbanding terbalik dengan yang dia lakukan.

Terimakasih  gue ucapkan untuk kelakuan lo itu. Selamat, lo berhasil membuat gue jatuh. Menganggap lo yang sudah lenyap mungkin cara yang benar buat gue lakukan, dengan begitu gue berhasil mengembalikan tawa tulus gue, yang udah lama gue pendam, jadi bisa muncul lagi. Gue harap lo nggak akan menghancurkannya lagi. Tapi saat gue liat itu kertas, pertahanan gue roboh. Pikiran gue cuma satu, lo.

Rahel.

Setelah menulis apa yang tengah ia rasakan, Rahel kembali menuju tempat tidurnya. Menuntaskan malam ini supaya dapat menikmati hari tanpa kantuk yang menghampiri.

*****

Hari yang di tunggu-tunggu telah tiba. Rasanya menyenangkan menikmati coklat panas dan kue kering di pagi hari tanpa dikejar waktu ke sekolah.

Menonton film kesukaan di rumah atau membaca novel bertumpuk- tumpuk, sepertinya bukan ide yang buruk untuk melakukan kegiatan di hari libur ini, yaitu hari sabtu.

Nica tersenyum, mengambil coklat panas buatan kakaknya. "Makasih, kak."

"Iya. Habis ini cari cemilan ya Nic. Takut kehabisan, temen gue mau main ntar siang," balasnya memohon.

Nica mengerutkan dahi bingung. "Emang di kulkas masih dikit? Perasaan kemarin gue lihat masih banyak, deh."

"Iya, masih dikit. Mana cukup ntar? Orang temen gue nggak satu doang," jelas Rahel.

"Lo yang ngehabisin?" tanya adiknya menyelidik.

"Iya," ucapnya enteng.

"Oh, gue tau. Lo buatin minuman coklat ini karena ngerasa bersalah udah ngehabisin cemilan, kan? Pakai nyogok gue segala lo, kak. Basi!" jawab Nica percaya diri.

"Lah. Lo lupa kalau ini jadwal gue? Gue kan yang bakal masak hari ini. Otomatis kalau mau cemilan atau minum juga gue yang nyiapin. Harus gue jelasin lagi?" tanyanya santai.

"Iya, kok bisa gue lupa. Hehe. Nggak usah dijelasinlah, udah paham dan jelas banget," sahut Nica.

"Hem," gumamnya sambil memakan kue yang ada.

"Heran gue. Kenapa film kartun ini dari dulu nggak tamat-tamat yak," ucap Nica berkomentar. Tatapannya fokus ke benda pipih namun besar.

"Hahaha. Iyalah, biar semua anak-anak pada punya pengalaman nonton itu film. Film turun- temurun," balasnya tertawa.

"Lo suka ya? Semangat amat lo nontonnya," melihat Rahel yang antusias pada kartun yang di tonton mereka.

"Biasa aja," jawabnya singkat. Kakinya yang panjang ia selonjorkan.

"Lo udah masak nasi kan? Pengen makan gue. Belum kenyang kalau belum makan nasi," sambil mengelus perutnya.

"Udahlah. Tapi belum mateng deh kayaknya. Masih beberapa menit lalu," meraih coklat panasnya.

"Nggak pa, gue mau goreng telur dulu. Pengen telur goreng gue."

"Jangan-jangan elo," ucap Rahel sambil nyengir.

"Apaan? Sinting lo."

"Hahaha, bercanda sayang, hehe. Gue kan udah masak sawi sama telur balado. Ngapain goreng telur. Makan seadanya aja. Banyak petingkah lo."

"Idih, kayak jual mainan lo. Sayang anak sayang anak, kalau nggak beli enggak sayang," sahutnya asal sambil kembali duduk ke sofa.

"Serah," balas Rahel pasrah.

"Yang."

"Hah?" tanya Rahel heran.

"Yang digoyang, digoyang yang...."

"Hahaha. Apaan sih, receh." tawa Rahel.

"Yang."

"Gue tau. Yang haus, yang haus, yang haus, sepuluh ribuan," balas Rahel tak mau kalah.

"Iyalah lo tau. Lo kan yang jual. Jujur aja lo kak."

"Emang, tau aja lo. Oh, iya. Lo yang kemarin ngajak gue buat duel kan. Lupa gue."

"Hah? Duel apa?" tanya Nica bingung.

"Duel, siapa yang paling cepet habis jualannya."

Menggembungkan pipinya, "iyain biar seneng," ucapnya pasrah.

"Hahaha. Kalah juga kan lo. Senangnya hati gue ngalahin adek manis."

"Idih... Baru menang sekali aja bangga."

"Biarin."

"Gue naik dulu ya. Mau ambil baju sama siap-siap buat nganterin lo beli cemilan."

"Buru-buru amat. Gue aja nyantai."

"Pengen jalan-jalan juga gue kak. Bosen dirumah mulu."

"Yaudah, sejam sebelum mereka dateng kita harus udah ada dirumah," teriak Rahel karena adiknya sudah menaiki tangga.

"Oke," balas Nica singkat sambil memasuki kamar.

"Lah. Belum jadi makan nasi tu anak?" kata Rahel pelan.

Suara langkah kaki terdengar kencang dari tangga rumahnya. Ia terkejut, Nica kembali dengan nafas tersengal-sengal.

"Hhh. Guehh lupa makan hehh..." kata Nica ngos-ngosan setelah berlari menuruni tangga.

"Santai aja kenapa sih...!" kesal Rahel melihat Nica yang terburu-buru.

"Hehe."

*****

Setibanya di mall. Rahel dan Nica berniat untuk melihat- lihat pakaian. Banyak pakaian yang menarik hati dan menggoda untuk segera dibeli. Sayang seribu sayang, uang mereka belum cukup untuk membelinya.

Hanya dua cup ice cream yang ada digenggaman mereka saat ini. Tak butuh waktu lama untuk menghabiskannya. Mereka sudah sampai di tempat tujuan utama.

"Ini kak, enak," mengangkat salah satu makanan ringan berbahan dasar kentang.

Rahel melirik Nica, "iya. Masukin aja. Penting jangan lupa patungan."

"Iya-iya. Perhitungan lo jadi orang."

"Lah... Kan buat cemilan kita. Masa iya pake jajan bulanan gue doang."

"Iya kak... Ros...!" jawab Nica nyengir.

"Sialan lo, tuyul."

"Iyain biar seneng."

"Serah," Rahel menengok ke kanan. Tidak ada orang. "Ekh, kok gue ngerasa ada yang merhatiin? Apa cuma perasaan gue doang, gara-gara rame ini tempat jadi parno sendiri kan gu-" belum selesai Rahel membatin tiba-tiba Nica mengejutkannya. Memukul pundak Rahel.

"Lo milih apa aja? Taruh sini kak. Kayak keberatan gitu. Sok kuat lo."

Menerima keranjang pemberian Nica. Muka kesal Rahel masih terpampang jelas.

"Bilang apa? Sok kuat? Emang gue kuat dari dulu. Lo aja yang nggak tau, Nic! Eh... Kok jadi ngegas. Abaikan Hel! Santai, lo masih muda. Sayang hidup lo kalau marah-marah mulu." Teriaknya dalam hati. "Kenapa mesti nggak kuat..? Nggak sampai berpuluh-puluh kilogram kali... Emangnya lo, manja...."

Mengibaskan rambutnya, "terserah. Diperhatiin malah nyolot, diajak berantem mukanya asem. Serba salah gue."

"Jujur amat, lo."

"Heran gue punya kakak macem lo. Kak Ros versi nyata kalau ini mah," kata Nica pelan namun masih terdengar oleh Rahel.

"Emang tuyul, lo. Ngomong yang keras sekalian ngapain pelan-pelan."

"Gue masih punya malu, kak. Ini bukan ruma. Liat-liat dulu kalau mau cekcok sama gue. Belum profesional sih, jadi bukan tandingan gue."

Rahel menoleh ke samping kanan dan kiri. Memang benar kata Nica, ini bukan rumah. Banyak pasang mata yang sesekali melihat ke arah mereka.

"Mampus! Mamaaahhh, help me. Malu, mah. Pinter juga otaknya Nica. Waduh, merah dah ini muka." Betul sekali, mukanya memang sudah merah. "Argh! pulang sekarang," bentak Rahel kesal. Mencoba sok cuek terhadap sekeliling.

"Hahaha. Malu kan, lo. Muka lo kayak blush on gue, kak."

"Serah."

"Mungkin belum saatnya." Batin seseorang. Dia membalikkan tubuhnya setelah Rahel dan Nica berjalan ke kasir.

*****