Malam telah pergi, dan mentari bersinar lagi. Entah sampai kapan bumi ini terus berputar. Sinar matahari yang menembus jendela kamar, membuat seorang gadis terbangun dari tidur lelapnya. Dia coba mengumpulkan seluruh nyawa agar fokus untuk menjalani rangkaian aktivitas sepanjang hari ini.
Gue nggak tahu sama semua yang datang di setiap hari-hari gue. Sebelumnya, seseorang dateng tiba-tiba terus pergi ninggalin satu jejak. Secarik kertas. Nggak lama, ada kejadian aneh di mall. Aneh? Mungkin biasa aja menurut orang yang dengerin cerita kejadiannya. Mungkin mereka akan bilang, 'kamu mungkin salah dengar', tapi nggak! Nggak mungkin gue tuli!
Suaranya cukup kedengaran. Manggil nama gue dengan jelas. Hanya aja volume suaranya seakan tertelan keramaian. Memang suasana di mall waktu itu cukup rame. Jujur, gue masih bingung sama dua kejadian itu, lagi-lagi seseorang membuat gue heran.
Apa mungkin orang yang beda? Entahlah, gue belum bisa memastikan siapa dia sebenernya. Ngirim bingkisan tanpa mau nyebutin nama. Gue cuma pengen satu, kalo memang itu lo, pulang aja. Gue udah cukup sama kepergian lo. Jangan membuat gue pusing sama kedatangan lo yang nggak gue harapin lagu.
Lebih baik pergi daripada datang hanya untuk menyakiti. Sudahi drama mu Pergilah, aku tidak akan mencarimu. Memang itu lah yang kamu inginkan dari dulu. Tanpa bercerita, kamu memutuskan pergi tanpa aba-aba.
Rahel.
Gerah. Itulah rasanya setelah menulis apa yang tengah dia rasakan di buku mungilnya. Buku kesayangannya. Buku yang menemani hari-harinya. Tempat untuk menuangkan semua isi hati dan pikirannya. Hanya dirinya lah yang mengetahui isi dari buku itu.
Melihat sahabatnya yang masih tertidur lelap, Rahel tidak tega untuk membangunkannya. Ia masih punya hati. Meskipun ia sadar kalau otaknya kadang tidak berfungsi dengan semestinya. Membuat orang lain merasa geram dengan apa yang ia katakan.
Rahel pergi ke dapur. Mengecek kira-kira bahan apa yang bisa ia masak. Pilihannya jatuh pada benda bulat berwarna orange kecoklatan. Sederhana saja, ia membuat telur mata sapi dan menggoreng beberapa nugget.
Ia menata semua yang sudah selesai di buatnya ke atas meja makan Rika. Minuman hangat juga tak lupa ia siapkan. Minuman cokelat hangat yang baru saja ia hidangkan, tapi sudah diminum tanpa sisa oleh sahabatnya yang tiba-tiba datang.
"Lancang! Ya meskipun itu punya lo. Seenggaknya ngomong dulu dong," batin Rahel seraya mengepalkan tangan, menahan emosi.
"Eum, enaknya ...! Lagi dong!"
"Lagi dong, lagi dong. Enak banget lo ngomong?! Mentang-mentang punya lo gitu ...? Udah syukur gue buatin sarapan. Eh, masih nyuruh juga."
"Bercanda Rahel, gitu aja sewot."
"Serah."
"Iya-iya. Udah paham gue sama sifat lo. Nggak kaget gue, udah jadi makanan gue sehari-hari itu kalo ngomong sama lo."
"Hem."
"Alah. Bodo amatlah. Udah tahu jawaban lo ... cuma, ham-hem-ham-hem …." Rahel hanya diam. Tidak menanggapi perkataan Rika. Membuat Rika, gadis pemilik rumah itu mendengus sebal.
"Rasain. Enak nggak gue kacangin?! Katanya udah paham sama sifat gue, ya udah … HA … HA … sorry, ya, Rik!" pekiknya sembari tertawa jahat yang pasti cuma di dalam hati.
Mereka menikmati sarapan dengan keheningan. Rika kesal karena dirinya sudah tahu bahwa Rahel tengah menggodanya. Alhasil, Rika sekarang enggan menjawab segala apa yang dikatakan Rahel padanya.
"Bodo amat. Kesel! Gue marah dulu, ya, bentar. Mana bisa gue marahan sama lo," batin Rika terpaksa menahan senyum agar tak terlihat oleh Rahel yang saat ini tengah menatapnya.
Biarkan saja Rahel mengira Rika sedang marah dengannya. Rika juga bisa mempermainkan Rahel, bukan cuma Rahel saja yang memiliki benih-benih kejahilan.
***
Rahel meminta beberapa camilan untuk diletakkan di ruang tv Rika. Menikmati dengan bersantai di depan layar hitam itu, ditemani Rika yang sedang asik bermain ponsel.
Mereka memilih ruang tv untuk bersantai karena menurut Rahel suasananya lebih hangat. Tidak terlalu banyak hiasan di sana. Tema alam yang di gunakan keluarga Rika di ruang tv menurutnya terlihat lebih segar. Rahel sangat kagum dengan desain itu.
Rika merasa bosan setelah tidak lagi menemukan keseruan dalam ponselnya. Melirik Rahel yang sedang memusatkan pandangan ke televisi. Dia heran, apa serunya dengan benda itu, padahal biasa saja. Ia angkat suara, "Rahel."
"Ya?"
"Lo nggak bosen apa gini-gini aja?" tanyanya dengan tubuh bersender lemas di sofa.
"Ya bosen. Emang mau ngapain lagi?" tanya Rahel masih dengan pandangan ke benda besar pipih itu.
"Lo beneran nggak ada acara apa gitu?"
"Iya, beneran. Kenapa, sih? Kok lo jadi aneh gitu?" tatapannya beralih ke sahabatnya yang super aneh itu, jadi wawancara dadakan.
"Nggak. Gue cuma pengen tahu aja. Siapa tahu lo disuruh ke mana, apa ada acara ke mana gitu, kan gue nggak tahu. Bisa jadi, 'kan?"
"Iya, tapi emang beneran gue nggak ada acara."
"Ya udah ... lo tidur rumah gue lagi aja. Gimana? Mau ...? Ntar ikut gue."
"Tidur di sini lagi? Lo emang mau minta izin ke mamah gue? Kalau mamah ngebolehin sih, ya, gue nginep lagi ...."
"Oke deh. Gampang! Ntar gue ijin ke nyokap lo kalau gitu. Asalkan nanti lo temenin gue pergi."
"Oke. Boleh, setuju deh."
"Baju lo masih ada nggak?"
"Oh iya. Kemarin gue cuma bawa baju buat hari ini doang."
"Pinjem baju gue aja nanti. Ukuran baju lo sama gue nggak jauh beda, 'kan?" tanyanya lalu memakan camilan.
"Kayaknya sih iya." Rika mengangguk. "Eh, emang lo mau ajak gue ke mana?" tanya Rahel bingung.
"Lihat aja nanti. Gue mau ke kamar dulu, tidur bentar. Acaranya sampe malem. Jam enaman kita baru berangkat," jawab Rika yang sudah beranjak dari sofa, ingin masuk kamar.
"Bentar," cegah Rahel.
"Emang selesai acara jam berapa?" tanyanya.
"Mungkin jam sepuluhan. Gue tidur dulu," sambil berjalan menjauhi ruang televisi.
"Lah, jam segitu udah lewat bates maen gue, dong. Kelewat jauh malah! Kalau mamah tahu, bisa nggak dibolehin maen lagi gue! Bisa mati bosen di rumah ...! Mampus!" Rahel menepuk bibirnya tiga kali. "Sial! Udah setuju aja nih mulut."
Langit berubah warna. Senja ingin berganti posisi dengan malam. Jarum jam serasa cepat berlari, tak terasa kedua gadis remaja sudah siap menghampiri dunia malam.
Rika bernapas lega karena berhasil meminta ijin Ana. Tidak perlu berpikir keras untuk meminta ijin, sebab Rika sangat dekat dengan orang tua Rahel. Mereka memutuskan untuk bersiap-siap jam lima sore.
***
Hanya dengan waktu kurang lebih dua puluh menit, mereka sudah selesai. Rika yang lebih dulu selesai segera memanaskan mobil. Gadis ramping itu memilih menggunakan mobil karena tahu bahwa selesai acara cukup malam.
"Loh, kita kenapa ke sini?" tanya Rahel panik.
"Emang gue mau ngajak lo ke sini. Ayok masuk! Udah mulai kayaknya," ajak Rika santai.
"Serius lo?! Mamah gue bakal marah, Rik. Lo juga ngapain ke sini sih?! Omongan kasar boleh, tapi jangan masuk ke tempat kayak gini."
"Buktinya lo udah dikasih izin, 'kan? Kita coba hal baru dong, Hel. Yang penting kita tetep hati-hati."
"Lo aja sana! Gue mau di dalem mobil aja," tolak Rahel mentah-mentah.
"Nggak gitu dong! Lo kan temen gue, Hel. Udah capek-capek gue ajak ke sini loh, Hel. Kita cuma seru-seruan aja, kok. Nggak aneh-aneh deh, beneran ...."
Menggigit bibirnya kuat-kuat Rahel menggeleng. "E-enggak yakin gue."
"Lo ikut gue terus. Jangan sampe pergi tanpa bilang gue. Biar kita nggak lepas dari rombongan ...."
"Rombongan apaan?"
"Gini ... ini pesta temen gue. Pesta pasti banyak orang, 'kan? Nah, kita ikut temen-temennya. Dijamin nggak aneh-aneh. Cuman pesta biasa. Ayok!"
"Bener, ya?" tanyanya memastikan, dan dibalas dengan anggukan mantap dari Rika. Keduanya keluar dari dalam mobil, saksi bisu mereka debat sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke tempat yang paling Rahel takuti.
Sampai di dalam, keduanya menyusuri kerumunan orang yang sedang berjoget santai di bawah lampu yang terang, jago membuat pusing kepala Rahel. Mata Rika tak lepas mencari teman dekatnya sejak SD dulu. Rika memutuskan untuk mengecek ponsel dan bertanya di mana posisi temannya itu berada.
"Nah, itu dia ...! Ayok ke sana! Buruan deh, udah ditunggu, Hel!" ajaknya, menarik tangan Rahel kencang, sebab Rahel masih takut-takut masuk lebih dalam.
"Rame banget ih, Rik. Perasaan gue jadi nggak enak. Gue kan nggak kenal sama temen lo," ujarnya sedikit keras karena suasana ramainya mirip dangdutan orang nikahan. Dada Rahel serasa ikut berdetak kencang, mungkin yang di dalam juga ikut berjoget.
"Santai aja, kenapa? Bisa, 'kan? Lo biasanya juga cuek," hibur Rika.
"Ya kalau ini beda cerita dong, Rik! Ini kan pesta temen lo, dan lo itu sahabat gue. Mana bisa gue cuek sama temen dari sahabat gue sendiri?"
"Iya deh, tapi lo santai aja, oke?! Anggap kayak udah kenal lama gitu ...."
"Ih! Enak aja lo ngomong!" sambil menyikut pinggang Rika. Mendadak waktu seakan berhenti sementara.
Pandangan Rahel jatuh pada sosok lelaki yang kini tengah menatapnya, intens. Tubuh Rahel mematung. Kedua matanya pun membola, bersama ibirnya yang terkunci rapat. Jarak Rahel dengan laki-laki itu masih lumayan jauh. Mungkin sekitar empat sampai lima langkah lebar.
"Mampus!" Ia tidak menyangka akan bertemu dengan laki-laki bertubuh tegap itu secepat ini. Pemuda tinggi itu mulai berjalan pelan menghampiri Rahel. "Sialan!"
"Lo kenal cowok yang mau ke sini itu, Hel?" tanya Rika mengarahkan pandangannya pada laki-laki yang menatap Rahel lekat-lekat. Kebetulan arah pandangnya dan Rahel sama, jadi ia tahu bahwa laki-laki itu sedang menatap Rahel.
"Hel?" tanya Rika yang tak kunjung digubris. Di pegangnya bahu Rahel pelan. Masih membisu. Sedikit menggoyangkannya, agar sang pemilik sadar, tapi Rahel tetap saja diam.
Rahel benar-benar membisu. Arah matanya terkunci pada orang itu. Namun, tatapan yang ia tunjukkan bukanlah tatapan yang mendamba, tapi kecewa.
"Hai, apa kabar? Akhirnya kita ketemu. Kangen nggak?" tanya laki-laki bertubuh atletis itu santai. Rahel yang masih terkejut hanya menutup mulut dan menatap. Beberapa detik kemudian ia langsung mengalihkan pandangan dari laki-laki yang ada di hadapannya itu.