Chereads / Jangan Beritahu Alasannya / Chapter 12 - Kolor Ijo

Chapter 12 - Kolor Ijo

"Kalau gue sih suka daerah pegunungan, tapi gue ngikut aja," balas Andi.

Rahel dengan semangat ikut menjawab, "Gue suka pantai, tapi kalau mau coba hal baru ya boleh-boleh aja sih. Gue mau juga kalau diajak mendaki gunung, menyebrangi sungai."

"Kalau gue pribadi sangat suka pantai, tapi, pegunungan boleh juga," balas Rika tak kalah bersemangat.

Pelayan tiba-tiba datang. Sembari mengucapkan permisi, dia meletakkan pesanan Marcel satu persatu. Milik Andi yang telah Marcel pilihkan juga disuguhkan. Setelah selesai dengan tugasnya, pelayan tersebut pergi, tak lupa selalu memberikan senyuman sebelum undur diri.

Marcel nampak berpikir sebentar sebelum dia memutuskan. Beberapa saat kemudian dia bertanya, "Atau mending kita pilih dua-duanya aja. Biar sepadan gitu ... gimana ...?"

Rahel yang jarang sekali liburan, tentu senang. "Boleh tuh," ucap Rahel membalas dengan senyum.

"Ya nggak bisalah. Masa setengah-setengah ...? Maksud gue ... masa iya, habis beberapa hari main-main ke pantai, terus lanjut ke gunung?" sahut Rika bingung.

"Bukan gitu juga maksud gue. Kita kan libur panjang, pasti waktu kita cukup banyak, asal kalian semua gak ada acara keluarga, apalagi acara dadakan," ucap Marcel menjelaskan.

"Gini, gue tahu ... misal nih, kita ke pantai satu minggu. Terus kita pulang ke rumah dulu, kita nyiapin semua keperluan kuliah yang sekiranya ada yang belum komplit. Nah, kalau udah beres semuanya, kita liburan lagi, tapi ke gunung yang deket aja. Waktu masuk kuliah kan masih lama ... masih bisa santai lah kita," usul Andi.

Marcel memberi acungan jempol pada Andi. "Nah, bener! Itu yang gue maksud."

"Iya, bener juga. Saran yang bagus tuh ... dan mungkin gue bakal dikasih izin kalau kalian semua berani bilang ke mamah gue. Pasti dibolehin," balas Rahel dengan tangan menggapai pegangan gelas, lalu meminum jus tomat miliknya lagi.

Marcel mengangguk, sama sekali tidak keberatan. "Oke. Kita bakal minta izin ke mama lo."

"Berarti bener ini nih acara liburan kita?" tanya Rika. "Kalau kita ke pantai seminggu, terus ntar dilanjut lagi ke puncak, tapi ada jeda balik rumah," tambahnya. Marcel mengiyakan, dan Rika mengangguk paham bersamaan dengan Rahel.

"Jadi, mulai kapan nih kita berangkat?" tanya Andi setelah meminum minumannya.

"Lusa gimana?" usul Marcel mantap.

"Boleh. Gue sih ngikut aja. Kalau gue udah pasti dibolehin. Udah selesai ujian soalnya."

Andi yang menatap Rika lantas menggerakkan kepala ke atas dan bawah. "Ya udah, berarti lusa beneran ya ... tinggal besok kita minta izin orang tua Rahel."

"Iya ... besok bareng-bareng ke rumah Rahel. Besok gue sama Andi ke rumah lo ya, Rik. Jemput lo, terus ke rumah Rahel buat izin sama mama nya."

"Oke," sahut Rika, Rahel, dan Andi bersamaan. Marcel hanya menggelengkan kepalanya, sedangkan yang lain saling melirik lalu tersenyum. Mereka menghabiskan semua pesanan yang tersaji di atas meja. Sesekali bercanda untuk melengkapi perbincangan.

***

Rahel sudah menceritakkan rencana mereka pada Ana. Sang mama ternyata mengiyakan, tetapi tetap mengingatkan bahwa liburan mereka harus jelas. Siapa saja yang mengajaknya, dan ingat untuk tetap pada batasan.

"Rahel, temen kamu dateng jam berapa? Mamah berangkat kerja jam sembilan."

"Eh, itu, Mah … mungkin bentar lagi. Tadi bilangnya udah pada siap-siap mau ke sini." Rahel pun lanjut memakan makanan ringan yang terbuat dari singkong.

"Ya udah. Mamah mau mandi dulu."

"Iya Mah, yang cepet ya nanti keburu temenku pada dateng."

"Iya-iya." Ana lantas menyiapkan pakaian di atas ranjang. Setelah itu ia beranjak dari kamar menuju kamar mandi.

"Emang lo mau kemana kak?" kata Nica yang sedang berjalan menuruni tangga.

"Mau liburan, sama temen-temen doang."

Sambil memasang muka melas, Nica memekik, "Ih! Kok lo ngeselin sih! Gue nggak diajak?!"

"Ya bener lah, Nica. Siapa bilang bercanda?"

"Pelit amat lo! MAH, KAK RAHEL GAK USAH DIKASIH IZIN, AJA, MAH!" teriak Nica kencang, agar sang mama mendengar suaranya.

"Apa sih … gue kan pengen sekali-sekali pergi liburan sama temen. Jarang banget gue, Nic. Eh, baru kali ini malah."

"Tapi masa gue nggak diajak? Jahat banget sih lo sama gue, Kak. Lo tega ninggalin gue berhari-hari? Nanti gue nggak ada temen dong di rumah," rengek Nica yang merasa iri dengan sang kakak.

"Dih. Kenapa jadi alay gini sih? Lo kalau udah libur juga bisa main, 'kan? Nunggu waktunya aja, apa susahnya sih menunggu."

"Tau ah. Kesel gue sama lo, Kak Ros." Nica pun berlalu dari ruang tv, menuju ke arah dapur dengan menghentak-hentakkan kakinya. Rahel menggelengkan kepala melihat tingkah laku adiknya itu. "Mulai deh, ngambek. Lagi dapet kali ya tuh anak," gumamnya.

Ana yang sudah selesai mandi, segera berjalan ke kamar. "Rahel, kayaknya ada tamu, tolong dibuka dulu pintunya, Mamah mau siap-siap," katanya yang mendengar ketukan pintu. Rahel beranjak dari sofa. Ia berjalan ke pintu depan, membuka lebar-lebar untuk tamu yang datang. Lalu mempersilakan teman-temannya untuk duduk dan menunggu sang mama di ruang tamu.

Ana yang sudah kelar berpakaian dan berdandan pun ikut bergabung di ruang tamu bersama teman-teman Rahel. "Eh, ini Marcel? Udah lama Tante nggak lihat kamu."

"Iya Tante," jawab lelaki itu gugup.

"Ya udah langsung aja, Tante udah buru-buru. Kalian ini mau izin pergi ya?"

"I-iya, Tan," kata Andi mencoba tenang.

"Iya, sekitar satu mingguan tante. Kira-kira Rahel boleh nggak, Tan?"

"Iya, boleh kok. Dia juga butuh main sama temennya, yang penting nggak ada yang aneh-aneh aja. Tante percaya kok, tapi kalau sampai ada apa-apa … Tante nggak bisa maafin kalian dengan mudah."

"Bener dibolehin, Tan?"

"Iya. Makasih ya, udah ajak Rahel liburan. Tante berangkat dulu."

Marcel dengan tersenyum lega membalas, "Iya, Tante. Terima kasih, Tan. Hati-hati."

"Iya Tan, makasih. Hati-hati, Tan."

Ana dengan tersenyum ramah mulai mengayunkan kaki. "Iya. Duluan, ya." Tak lupa Andi dan Marcel bersalaman dengan Ana. Mencium punggung tangan Ana layaknya ibu mereka.

***

"Akhirnya, ya, Hel … mamah lo ngasih izin, baik banget ngasih izin ke elo. Gue seneng bisa liburan bareng, hehe."

"Iya." Rahel tertawa kecil. "Gue juga nggak nyangka kalau mamah ngebolehin gue liburan lama, apalagi bareng kalian. Gue beneran deg-degan tadi. Eh, akhirnya diiyain."

"Oh iya, lo udah packing buat besok?"

"Belum, tapi sebenernya gue udah mau nyiapin. Cuma gue takutnya kalau mamah nggak ngebolehin kan gimana … udah terlanjur siap-siap, masa enggak jadi berangkat?"

Rika tertawa ngakak karena membayangkan sesuatu. "Bener tuh, yang ada lo marah. Terus baju yang udah lo siapin lo berantakin, habis itu lo nangis guling-guling. Iya, 'kan? Lucu sih kalau lo bakal gitu, Hel."

"Enak aja. Gue udah besar."

"Berarti dulu lo kayak gitu dong." Rika belum bisa berhenti tertawa.

"Enggak! Dih, kok malah ngeledekin gue sih!"

"Jujur aja, nggak usah malu. Gue kan sahabat lo, Hel. Di sini kita juga lagi berdua doang."

"Enggak. Gue bilang enggak ya enggak. Ngeselin lo, Rik."

"Hehe, ya udah gue pulang dulu. Packing buat besok. Udah malem, nih."

"Ya udah. Pesen dulu."

"Iya," singkat Rika patuh.

Tak butuh waktu lama ojek online pesanan Rika tiba. Mereka yang sudah di ruang tamu segera menuju ke luar rumah. Rahel mengantar Rika hingga halaman rumah.

Tinggal menunggu hari ini berakhir. Iya, hanya hari ini, bahkan cuma malam ini, rencananya untuk berlibur bersama dengan teman-temannya akan segera terlaksana. Rahel sangat tak sabar akan hari esok, rasanya ia ingin begadang hanya demi menanti liburannya. Akan tetapi, ia butuh istirahat untuk memulai perjalanan panjangnya besok.

Langsung saja ia naik ke ranjang untuk coba tidur. Tidur yang nyenyak, supaya besok bisa menyambut pagi hari dengan penuh sukacita.

***

Segera Rahel menutup pintu rumah, tak lupa juga dengan pagar rumahnya. Memasuki mobil Marcel dan duduk di samping sahabat kecilnya itu.

"Kenapa di bawa kesini koper lo?"

"Eh. Iya lupa, buru-buru, hehe."

"Mana, gue taruh ke bagasi dulu."

"Nih, hehe makasih."

"Iya sama-sama." sambil mengambil koper Rahel dari genggamannya. Berlari kecil lalu membuka bagasi dan meletakkannya di situ.

"Kita ke rumah Rika dulu?"

"Iya, tapi coba tanya dulu mereka tahu tempatnya nggak? Kalau misal tahu, kita berangkat sendiri-sendiri aja."

"Oke. Gue telfon Andi aja deh." Rahel pun segera menelepon Andi. Menunggu beberapa detik, barulah tersambung. "Halo."

"Halo. Kenapa, Hel?"

"Gini, lo tahu tempat tujuan kita nggak? Kalau misal lo tahu, mending kita berangkat sendiri-sendiri aja."

"Iya, gue tahu. Cuma gue mikirnya kalau kita berangkat sendiri-sendiri, ntar nggak bisa gantian nyetirnya."

"Oh gitu. Coba gue bilang Marcel deh. Ntar gue telfon lagi."

"Oke, Hel."

"Gimana?" tanya Marcel setelah Rahel mematikan panggilannya.

"Andi bilang, kalau misal kita berangkatnya nggak barengan ntar nggak bisa gantian nyetir."

"Halah, kayak bocah aja tuh orang."

"Tapi ya bener juga, biar lo nggak capek, 'kan?"

"Udah mulai perhatian nih?" tanya Marcel dengan alis yang naik-turun, bermaksud menggoda.

"Ha? Eh, bukan gitu. Maksud gue, ntar kalian capek kalau nyetir nggak gantian."

"Iya-iya. Udah, nggak usah malu."

"Apa? Biasa aja."

"Itu. Pipi lo tuh, merah." Marcel memberitahu sambil mengulurkan jarinya ke pipi Rahel.

"Apaan sih, mana ada!" pekik Rahel dengan kepala yang sedikit menjauh, hatinya merasa tidak nyaman saat pipi kanan ditoel-toel oleh Marcel. "Fokus di jalan aja deh."

"Tuh kan, lo nggak berani gue lihatin."

"Bisa diem nggak?!"

Marcel tertawa cekikikan saat dilihatnya Rahel makin cemberut. "Kalau gue diem, kita nggak sampai-sampai rumah Rika, Rahel."

"Bukan mobilnya! Tapi tangan lo!'

"Hehe. Habis pipi lo lucu. Empuk banget, jadi enak deh dipencet-pencet." Sedangkan Rahel hanya memutar bola matanya malas.

"Lo kenapa bisa buat gue jantungan sih? Pake keceplosan lagi! Aduh, mulut-mulut. Malu kan gue jadinya. Mana dibuat mainan lagi nih pipi, udah lah, Cel ..." batin Rahel yang susah dikendalikan.

Memukul tangan kiri Marcel yang tengah menempel di pipinya, mencubit pelan, dan memainkan pipinya dengan gemas. Rahel pun merengek dengan wajah kesal. "Lepas, Cek!"

"Lama-lama sakit tahu nggak ...! Tambah merah ntar."

"Hehe. Cie ... Ngaku berarti kalau tadi pipi lo merah? Haha."

"Serah. Bodo amat. Mau merah, mau biru, mau hijau sekalian nggak masalah!"

"Kolor ijo dong, hehe. Bagus merah aja, manis."

"Apaan sih," sahut Rahel dan mengarahkan kepala ke samping kiri, ia enggan melihat muka jahil Marcel yang ditujukan kepadanya. "Siapa yang suka sama siapa. Yang ngegoda siapa, yang salting siapa, sialan emang," umpat Rahel dalam hati.

Marcel justru dengan tidak merasa bersalah, tertawa puas. "Udah, nggak usah dibuat kesel gitu mukanya. Kalau salting, ya, salting aja."

"Diem nggak ...! Gue nggak jadi ikut aja kalau gitu!"

"Dih, gitu aja ngambek ... yakin nih nggak jadi? Gue turunin di sini mau?"

"Kok lo yang jadi ngancem? Ya kali gue nggak jadi ikut?! Sekalinya dibolehin, masa iya gue batalin?"

"Enggak-enggak, mana tega gue nurunin lo di sini. Gue suka aja lihat pipi merah lo ...."

"Terserah. Gue tunggu di mobil aja, ya," kata Rahel ketika mereka sudah sampai di depan rumah Rika. "Lo aja yang nemuin mereka."

"Ya udah deh." Marcel membuka pintu, turun dari mobil lalu menutupnya. Segera ia masuk ke rumah Rika. Dia membantu mengambil barang-barang Rika.

Sementara Andi sudah masuk duluan ke jok belakang. Membiarkan Rahel yang menemani Marcel di samping kirinya, karena Andi tahu tugasnya. Dia akan membantu Marcel untuk dekat dengan Rahel kembali seperti dulu.

"Gimana? Udah yakin? Barangnya udah cukup?" tanya Marcel yang sudah kembali dan tengah duduk di depan setir. Ia menoleh ke belakang.

Rika tak langsung menyahut, tapi benar-benar memastikan dulu. Berbeda dengan Adi yang asal menjawab tanpa mengecek lagi. "Udah kok," jawab Rika setelah mengecek barangnya.

"Oke."

"BERANGKAT ...!" seru Rahel dan Rika bersamaan dengan mengangkat kedua tangan mereka ke atas. Sedangkan para lelaki hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua perempuan itu.

"Seneng gue, Hel, bisa lihat senyum lo lagi. Gue bersyukur lo mau liburan sama gue. Maafin gue yang pernah ninggalin lo dulu. Gue nggak nyangka kalau lo mau nerima gue lagi. Gue janji, gue nggak bakalan pergi dari lo. Kalau lo masih menganggap gue sahabat lo, izinin gue untuk membuat lo bahagia, ya. Gue pengen jadi salah satu alasan lo bisa tersenyum … kayak sekarang ini," batin Marcel saat melirik sahabatnya itu.