Chereads / Jangan Beritahu Alasannya / Chapter 8 - Makin Gemes?

Chapter 8 - Makin Gemes?

"Woi! Itu, lo lagi di sapa sama orang, Rahel! Malah diem aja, lo kenal kan sama dia?!" geram Rika setengah berbisik tepat di belakang kepala Rahel.

"Iya. Gue kenal," balas sang sahabat terpaksa.

"Emang dia siapa?"

Laki-laki itu mengulurkan tangan, dan membuka mulut. "Hai. Kenalin, gue sahabatnya Rah--" ucapannya terputus karena Rahel pura-pura batuk.

Rahel tersenyum kecil setelah itu. "Dulu, dulu dia sahabat gue, tapi itu dulu," potongnya menahan kesal, dan menekan kata terakhir sambil melirik mantan sahabatnya.

"Sorry, Hel."

Rika menerima uluran tangan pemuda di depan Rahel sambil mengangguk. "Emang namanya siapa?" tanya Rika mencoba untuk mendinginkan suasana yang ia rasa hampir memanas. Bukan karena kondisi kelab malam yang ramai, tapi karena tatapan Rahel yang tidak ramah.

"Nama gue Marcel. Salam kenal. Ngomong-ngomong, lo berdua ngapain ke sini?"

"Gue ada pes--"

"Bukan urusan lo!" sembur Rahel yang menyela Rika angkat bicara.

"Please, Hel. Lo jangan kayak gini sama gue, Hel. Gue kan udah minta maaf."

"Kalau kalian mau ngobrol berdua, gue tinggal dulu aja, ya, gue ngerasa nggak enak kalau kayak gini. Gue permisi, deh," ucap Rika mulai buru-buru hendak mengayunkan kaki, jauh dari dua manusia yang tak lama jumpa.

"Rik," cegah Rahel sambil menahan lengan perempuan itu.

Tentunya Rika menolak, ia memahamai situasi yang benar-benar akan tidak nyaman jika dirinya ikut mendengar. "Udah, selesaiin dulu. Gue mau ketemu temen, Hel, nggak enak kalau lama muncul. Lo sama Marcel, oke? Gue yakin lo aman." Rika pun berjalan menjauhi keduanya.

Rahel mau tidak mau harus meladeni Marcel, sahabat kecilnya. "Ya udah. Mau ngomong apa?! Gue buru-buru."

"Halah, gayaan buru-buru. Bukan pesta temen lo, 'kan?" Marcel dengan senyum mengejek menggeleng, geli sendiri dengan tingkah Rahel.

"Gue serius. Lo mau ngomong apa? Cepetan!" bentak Rahel penuh penekanan.

"Iya deh. Gue beneran mau minta maaf. Asal lo tahu, gue udah hubungin lo waktu itu, tapi sialnya, nomor lo nggak aktif. Padahal gue udah coba telepon lo beberapa kali. Lo ngilang gitu aja, gimana cara pamitnya, Hel? Gue juga dadakan pindah ke luar kota."

"Tapi lo tahu kalau lo itu satu-satunya sahabat gue dari dulu. Kenapa nggak dari jauh-jauh hari lo cerita sama gue? Gue sendirian waktu masuk sekolah yang baru. Lo pernah bilang kalau kita bakal bareng ke sekolah, tapi nyatanya, habis lulus lo malah ninggalin gue gitu aja, Cel."

"Gue juga nggak tahu, Rahel. Orang tua gue langsung bawa gue ke Jogja. Gue nggak tahu kalau mau di sekolahin di sana sampai SMA."

Rahel seketika merasa luluh dengan penjelas Marcel. "Kalau emang gitu ceritanya, terus kenapa lo ke sini lagi?" tanyanya heran.

"Gue mau kuliah di sini."

"Kita pisah lagi, dong …," jawab Rahel agak memelas.

"Hah?! Maksud lo apa?"

"Gue nggak kuliah di sini, Cel, tapi di Solo. Gue pengen mandiri."

"Percuma dong gue minta orang tua gue buat balik ke sini lagi. Gue ke sini cuma pengen baikan sama lo, Hel."

"Santai aja Cel. Gue percaya sama lo. Kita masih sahabatan kayak zaman kita pas masih bocil," jelasnya yang membuat Marcel menarik sudut bibir ke atas.

"Lo emang yang terbaik, Hel." Marcel menjawabnya dengan jujur, sambil memeluk Rahel.

Rahel lantas membalas dengan senyum lebarnya. Ia sungguh merindukan Marcel. Sahabatnya sejak di bangku kanak-kanak hingga sekolah dasar.

Namun, ketika ujian nasional usai, Marcel ternyata sudah meninggalkan kota kelahirannya. Kota masa kecilnya bersama gadis yang kini tengah berada dalam dekapannya. Meskipun Rahel sedih dan marah, tetapi kini ia merasa sangat lega karena sahabat masa kecilnya telah kembali.

"Malah pelukan di sini. Gue yang jomblo bisa apa," goda Rika yang muncul tanpa diundang.

"Hehe, melepas rindu, Rik."

"Halah. Tadi aja sok-sokan marah. Sekarang nempel-nempel ...."

"Bilang aja lo pengen."

"Nggak."

"Idih, salting lo." Rahel tertawa-tawa melihat wajah cemberut Rika, tampak seperti orang cemburu di matanya. Suka sama Marcel lo?" Rika spontan mendelik.

"Rahel, udahlah. Kasihan temen lo, lo ejekin mulu. Ngomong-ngomong nama lo siapa?"

"Rika," singkat Rika dan mengarahkan tatapannya pada Rahel sepenuhnya. "Ayo ke sana, temen gue pengen ketemu sama lo, Hel. Tadi gue cerita kalo lo masih ngobrol sama temen lo," ucap Rika.

"Oh iya. Gue juga pengen kasih selamat ke temen lo."

"Bareng! Dia juga temen gue, temen SMA dan sekarang gue satu kampus sama dia," beber Marcel dan berjalan bersama dua perempuan di depannya.

Dengan dahi mengerut, Rahel menanggapi, "Nggak ada yang tanya."

Marcel yang terkejut akan jawaban sahabatnya itu pun terheran-heran. "Sejak kapan lo jadi suka nyolot, Hel? Perasaan nggak kayak gini deh sifat lo dulu." Dia sampai menyamai langkah Rahel, agar bisa berjalan berdampingan.

"Gara-gara Da, eh .... itu, gara-gara lo yang ninggalin gue dulu. Makanya gue suka nyolot."

"Bisa gitu ya ... maaf deh, Hel."

"Iya, santai aja, Marcel. Udah gue maafin kok."

"Duh, makin gemes!" goda Marcel mencubit pipi Rahel pelan.

"Buruan ...! Jalan lamanya, astaga! Cuma beberapa langkah aja dari situ ke sini," ledek Rika yang sudah dekat pada bar tempat temannya berada. Rahel hanya tersenyum, sedangkan Marcel menggelengkan kepalanya.

"Hai ... gue Rahel, temennya burik. Selamat ulang tahun, ya," ucap Rahel sambil mengulurkan tangan di depan Nesya, teman Rika.

"Oh, hai! Gue Nesya. Makasih, Rahel."

"Lo bilang apa tadi? Burik? Jahat lo!" sela Rika yang sudah memasang wajah kesal.

"Artinya burik itu bu Rika. Emang menurut lo burik apaan?"

"Halah …! Emang pinter cari alesan di balik hinaan lo, Hel. Padahal gue juga belum ibu-ibu …! Ngeselin emang."

Yang lainnya hanya tertawa geli melihat tingkah dua perempuan itu. Hingga Marcel berdeham untuk meminta perhatian cewek-cewek itu. "Gue ke sana dulu ya," pamit Marcel sambil menunjuk perkumpulan laki-laki.

"Oke," jawab Rahel mengangguk setuju.

"Pamitnya sama Rahel doang nih …," suara dari bibir Nesya yang terdengar pelan dan membuat Macel terkekeh.

"Gue ke sana dulu Nesya cantik. Cemburu, lo?"

Nesya membulatkan matanya, terkejut. "Ha?! Siapa juga yang suka sama lo? Kepedean ...!"

Marcel mengacak-acak rambut Nesya sambil menyahut, "Bercanda." Sebelum akhirnya memutuskan pergi.

"Ayo Hel, dinikmatin hidangannya," ujar Nesya ke Rahel.

"Ada air putih nggak? Gue pengen air putih aja."

"Ada kok. Gue pesenin dulu."

"Makasih." Nesya tersenyum tulus, dan beberapa detik kemudian ia menyingkir.

"Gimana? Bahaya nggak di sini? Nggak percayaan sih lo."

Rahel dengan singkat menggeleng, tapi ia memohon, "Nggak bahaya sih, tapi habis ini kita pulang, ya …."

"Baru juga sampek, Hel, masa udah mau pulang aja. Hargain temen gue dikitlah. Paling nggak pulang jam sembilan."

"Oke."

Nesya yang tadi memesan minum untuk Rahel, kini ikut bergabung lagi dan mengulurkan tangannya. "Ini," ucap Nesya menyodorkan botol mineral pada Rahel.

"Makasih."

Waktu semakin larut. Melihat jam di ponselnya, Rika merasa bersalah dengan Rahel karena mereka pulang melebihi jadwal yang sudah disepakati. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, dan mereka masih duduk di tempat yang sama.

Rika memberanikan diri untuk berpamitan pada banyaknya orang di sekitarnya, terutamaterutama pada Nesya pemilik acara. Sebelumnya ia melirik ke arah Rahel lebih dulu. "Guys ... gue sama Rahel pulang duluan, ya, makasih Nes buat semuanya."

Rahel yang tahu maksud Rika, ikut menambahi, "Iya. Sebelumnya gue minta maaf. Ini pertama kalinya gue ke tempat semacem ini. Gue juga dijadwal kalau maen, dan sebenernya gue harus pulang ke rumah maksimal jam sembilan."

"Oh, maaf-maaf, gue nggak tahu, tapi makasih ya udah ngeramein pesta gue. Sekali lagi gue minta maaf," sesal Nesya.

"Gue yang seharusnya bilang makasih, karena udah diajakin ke pesta. Bahkan sama orang yang baru gue kenal. Makasih udah ngasih gue pengalaman yang belum pernah gue lakuin. Gue nggak nyesel gabung bareng kalian. Gue yang seharusnya minta maaf udah pamit pulang duluan, padahal pestanya belum kelar." jelas Rahel merasa sangat tidak enak hati pada yang berulah tahun.

"Udah, santai aja. Lo pulang sekarang nggak pa-pa kok. Ini udah malem, mau gue anter?" tanya Marcel.

"Gue bawa mobil, tenang aja," sela Rika.

"Jangan! Nggak baik kalo cewek-cewek yang masih polos bawa mobil malem-malem," celetuk Andi, salah satu teman Nesya yang ikut-ikutan bersuara.

"Modus lo, Ndi. Biar Marcel aja yang nemenin kalian pulang," perintah Nesya.

"Ya kan harus ada mobil satu lagi buat Marcel pulang. Gue kan cowok, gue niat mau bantuin."

"Ya udah, gini aja. Lo sama Rika naik mobilnya si Rika. Gue naik mobil gue sama Rahel. Gampang, 'kan...?" usul Marcel. "Ayok!"

"Eh-eh, masa iya sahabat gue si Rika diboncengin sama playboy cap kutil kayak Andi? Nggak setuju...!" ucap Nesya sambil tertawa.

"Enak aja, ayok Rik, gue nggak ngegigit kok," ucap Andi dan Rika hanya mengangguk pasrah. "Paling pulang-pulang cuma lecet dikit." Marcel yang mendengar itu langsung menimpuk kepala Andi.

"Gue duluan ya, Nes. Makasih," pamit Rahel.

"Iya, hati-hati. Hati-hati juga lo sama playboy cap kutil, Rik!" sambil melirik Andi. Sedangkan Andi hanya melambaikan tangan dan berjalan menuju pintu keluar.

***

"Ini ke rumah lo atau ke mana?" tanya Marcel yang sudah menyalakan mobil.

"Ke rumah Rika, gue nginep di rumah dia."

"Ya udah lo tunjukin jalannya, ya."

"Oke."

Beberapa detik tidak ada perbincangan lagi karena Rahel tampak cuek, Marcel berpikir untuk mencari bahan obrolan agar tidak sepi. "Lo ngapain nginep di rumah temen lo? Ada masalah sama keluarga?" tanyanya.

"Nggak. Ini kan libur sekolah, mumpung masih ada waktu. Gue pengen maen aja sebelum gue ke luar kota."

"Lo nggak bisa gitu batalin kuliah lo di sana?"

"Nggak bisa. Gue udah pasti keterima, Cel. Sekitar empat bulanan lagi gue udah masuk."

"Bakal kangen dong gue."

"Halah. Udah enam tahun lo nggak bareng sama gue. Bisa kali nggak ketemu lagi."

"Emang lo nggak kangen sama gue?" tanya Marcel sambil menatap Rahel, walau singkat, sebab ia harus fokus menyetir.

"Kangen, tapi sekarang udah nggak. Lo kan udah ada di sini," jawab Rahel santai.

"Di sini mana?" tanya Marcel yang dengan bibir tersenyum menggoda.

"Ya di sinilah," jawab Rahel cuek.

"Di hati lo, nggak?"

Rahel yang belum siap menerima gombalan receh sahabatnya itu menggeleng. "Apaan sih ... aneh!" jawab Rahel sambil membuang muka.

"Cie, salting."

"Mana ada?! NGACO!" balasnya sambil menengok ke arah Marcel dengan muka kesal.

"Iya. Bercanda."

"Nggak lucu!"

"Galak amat."

"Biarin."

Mereka berdua terus saja ribut, apalagi dengan kondisi hati Rahel yang tidak sebaik dulu. Gadis itu bukannya merasa senang digoda Marcel, tapi justru kian kesal. Tak lama mobil yang ditumpangi mereka akhirnya di rumah Rika. Rahel dan Marcel menunggu kedua teman mereka di teras pemilik rumah.

"Makasih, ya," kata Rika yang baru saja turun dari mobilnya.

"Iya. Ini kunci lo. Ayok Cel, balik!" Andi menjawab seraya berjalan ke arah Marcel.

Marcel mengangguk setuju. "Ya udah. Gue pulang dulu ya, Hel. Inget, gue ke sini besok pagi. Good night," ucap Marcel sambil merusak tatanan rambut Rahel.

Rahel yang tak terima akan perlakuan Marcel langsung saja memukul tangan Marcel dengan cukup keras. "Apaan sih lo. Udah sana pulang!" usirnya dengan tangan menunjuk ke arah jalanan di depan rumah Rika.

"Galak. Ayok Ndi! Duluan ya Rik ...! See you!"

"Iya Cel. See you."

Rika menutup pagar rumah setelah mobil Marcel meninggalkan halaman. Mereka berdua masuk ke dalam secara bersamaan. Salah satu gadis segera tertidur usai mereka tiba di kamar. Namun, berbeda dengan gadis yang lain. Dia masih bingung dengan kehadiran seseorang. Satu tangannya tiba-tiba merogoh teman mungil di dalam tas. Mulai menulis sesuatu, merangkai kata.

BUKAN

Ya, lega menghampiri

Ya, resah menjauhi

Ya, damai menghinggapi

Sayang, bukan ia yang kucari

Bukan aku tak suka

Bukan aku tak sayang

Bukan aku tak merasa

Ya, aku tak cinta

Maaf sudah terucap

Tingkah sudah terungkap

Laku sudah tertangkap

Tetap, bukan ia yang kuharap

Rahel.

Selesai sudah ia menuang perasaan. Gadis berpakaian piyama milik temannya itu segera melepas kantuk. Sebelumnya, berdoa pada Sang Pencipta, meminta keselamatan selepas membuka mata.

***

Terang matahari berhasil menembus kaca kamar. Sedangkan dua orang gadis masih anteng di atas kasur, ya, pemalas. Keduanya kesiangan bangun. Sadar diterpa sinar, salah satu gadis membangunkan yang lain.

"Woi! Bangun woi! Mau pergi jam berapa lo?! Ini udah nggak pagi lagi, Rahel!" Rika mengoncangkan bahu Rahel pelan. "Rahel ...!" panggilnya menahan kesal. Menggoyangkan badan Rahel, menggelitik pinggang, dan berbagai cara sudah dilakukan untuk membuat sahabatnya yang malas itu agar terbangun dari tidur lelapnya.

"Kayak orang mati, nggak gerak sama sekali. Untung masih napas," batin Rika terkikik dalam hati. Rahel yang sedikit sadar hanya melihat Rika sejenak dengan tampang polos tanpa dosa, ia melanjutkan tidurnya lagi karena kantuk yang melanda belum juga hilang.

Rika yang terlalu kesal dengan sikap Rahel itu langsung saja turun dari kasur. Melangkah di mana meja tempat ia meletakkan air minum berada. Ia membawa gelas kaca itu dan menuangkan airnya sedikit di telapak tangan. Membasuh muka Rahel dengan air di tangannya itu tanpa merasa bersalah dan takut. "Hem, tuh! Enak nggak?! Dingin?! Anget?! Apa biasa aja?! Kurang banyak?" tanya Rika setelah melakukan ide konyolnya itu.

Rahel gelagapan. Sontak membuka mata lebar dan berteriak lantang, "Argh! Ganggu banget sih lo! Sialan ...! Orang lagi tidur, Rik! Ngantuk banget malah dibangunin! Biarin tidur dulu kenapa sih?! Jangan usir gue dulu dari rumah lo! Gue masih butuh tidur sekarang … mentang-mentang gue numpang ...."

Selesai berteriak Rahel kembali masuk ke dalam selimut yang tengah merosot hingga ke pinggang. Kepalanya juga sekalian ikut masuk. Membuat Rika yang tengah berdiri, menatapnya kesal. Semua emosinya sudah naik sampai ke ubun-ubun. Menghentak-hentakkan kaki seperti orang kesetanan, lalu menarik selimut yang membungkus Rahel.

"KEBO! TaHu nggak ini jam berapa?! Kesel gue lama-lama bangunin lo, RAHEL …!"

Rahel tak ingin ambil pusing saat tubuhnya tak tertutup selimut. "Bodo amat, ngantuk berat," batinnya.

"RAHEL!" panggil Rika mendelik.

"Ya udah sih, nggak usah dibangunin. Gue numpang tidur dulu di kasur lo," jawab Rahel masih dengan mata tertutup.

"Bukan masalah gue nggak bolehin! Ini udah siang Rahel! Udah jam sepuluh ...!"

"Itu masih pagi. Kalau emang lo mau pergi atau gimana, ya udah nggak masalah. Gue sendirian nggak papa kok. Gue juga nggak akan nyolong apa-apa di rumah lo."

"Lo lupa apa pikun sih ...? Lo kan ada janji sama Marcel!"

Rahel yang sadar dengan nama Marcel tiba-tiba duduk tegak. Mengucek matanya singkat. Ia berlari menuju tempat pakaian. Sesegera mungkin memilih baju untuk ia pakai pergi bersama Marcel.

"Tuh kan, nah ... mulai bingung kalau udah kayak gitu. Kenapa nggak dari tadi aja, ya, gue nyebut nama Marcel, biar lo bangun? Susah-susah bangunin, teriak-teriak sampai tenggorokan gue serak. Apa jangan-jangan darah tinggi juga nih?! Duh, amit-amit!"

"Iya-iya. Maaf, makasih udah bangunin gue. Dari pada berdiri aja, ngomel-ngomel, mending pilihin baju buat gue. Baju gue udah abis."

"Iya deh gue bantuin."

"Dia udah dateng belum? Belum, 'kan?"

"Belum sih. Udah deh, mending lo pergi sana, mandi aja. Habis itu sarapan."

"Oke. Makasih, BURIK!" Rahel cepat-cepat berlari kilat ke kamar mandi. Takut jika Marcel marah dengan dirinya yang malas. Bisa-bisa Marcel berpikir bahwa Rahel tak mau bertemu dengannya.

Lama memilah-milah pakaian di lemari putih punyanya, pilihan Rika jatuh pada dress dengan model lengan terbuka miliknya. Gaunnya terbilang pendek karena batasnya di atas lutut, berwarna biru muda. Beberapa hiasan manik-manik melingkar di bagian pinggang, selebihnya tidak ada. Sederhana, tetapi membuat dress itu sedikit tampak mewah.

Ia letakkan dress manis itu di atas ranjang. "Itu, pakai itu aja ya. Bingung cari yang cocok buat lo," kata Rika begitu melihat Rahel yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Keduanya pergi ke dapur begitu Rahel siap dengan gaun yang ia pilihkan. Dia sendiri memilih duduk anteng sembari menunggu Rahel sarapan. Namun, dari luar terdengar bel rumahnya berbunyi, Rika bangun dari kursi makan. Menghampiri pintu utama yang dekat dengan pusat suara bel.

Begitu pintu terbuka, Rika menyapa, "Hai. Masuk aja, Rahel masih sarapan."

"Hai, Rik. Oke deh, tapi gue ke sini sama temen gue. Dia boleh masuk nggak?" tanya Marcel dengan menunjukkan senyum jahilnya.

Rika celingak-celinguk, penasaran. "Mana temen lo?"

"Itu," jawab Marcel dengan mata melirik ke saamping. "Masih parkir mobil di depan pager lo. Sabar, ntar juga kelihatan wujudnya," sambungnya yang membuat Rika mengangguk paham.

"Jadi lo mau masuk dulu atau nunggu temen lo?"

"Gue masuk dulu deh, ha … ha …."

"Iya, Cel. Gue tahu, lo udah gak sabar ketemu Rahel, 'kan?" Belum sempat Marcel membenarkan, suara orang yang ditunggu mengganggu perbincangan.

"Tungguin gue dulu!"

"Loh, Andi? Andi ikut?"