Chereads / Jangan Beritahu Alasannya / Chapter 9 - Gebetan?

Chapter 9 - Gebetan?

Double date, dua kata yang menggambarkan para remaja menuju dewasa itu. Ya, siapa lagi kalau bukan para remaja calon maba. Seperti halnya orang yang sedang berpacaran, begitu juga dengan mereka. Dua pasang anak muda itu saling berbagi cerita dan sesekali diselingi dengan candaan, membuat mereka terlihat begitu bahagia. Sampai tak sedikit pasang mata yang iri melihat dua perempuan cantik mungil itu tengah ditemani laki-laki tampan yang menyenangkan.

Mereka memutuskan untuk berkeliling mall, sembari menunggu film yang akan mereka tonton. Cukup lama berkeliling, perut para remaja itu sepertinya butuh makan. Pilihan mereka jatuh pada menu makanan berkuah dengan daging sapi berbentuk bulat besar yang beranak lima.

Makanan bulat tersebut merupakan salah satu makan siang yang menyenangkan bagi Rahel. Bagaimana tidak? sahabat kecilnya yang dulu selalu bersama-sama dengannya tiba-tiba pergi entah ke mana, tetapi kini telah kembali, dan sekarang tengah bersama dengan dirinya. Senang bisa makan bersama temannya yang lain, dengan dia yang duduk tepat di hadapan sang sahabat.

Laki-laki berkaos putih itu menebarkan tawa yang tak kunjung berhenti sedari tadi. Membuat siapa yang melihatnya ikut larut dalam tawanya. Meski di awal Rahel sempat kesal dan kecewa dengan Marcel, tapi ia tidak bisa berbohong jika dirinya memang bahagia setelah bertemu lagi dengan sahabatnya itu. Ia ingin Marcel tidak pergi lagi seperti dulu, dan tidak ada lagi perpisahan yang mengejutkan dirinya seperti beberapa tahun lalu.

Setengah jam mereka makan bersama. Rika yang takut jika filmnya sudah mulai sesegera mungkin menghabiskan makanan dalam mangkuk lalu bertanya,"Manteman, filmnya mulai jam berapa? Kira-kira udah mulai belum ya ...? Gue takut telat nonton, hehe." Dia bertanya karena yang beli tiket bukan dirinya.

Rahel yang ngeh dan memperhatikan sahabatnya itu langsung melihat jam yang terpampang di ponsel, "Gila...! Lima menit lagi nih. Buruan, yuk!"

Para lelaki hanya mengangkat alis. Tidak ambil pusing, biasa saja.

"Ayok-ayok! Sampai sana telat nggak, ya?" tanya Rika yang mulai resah. Menurutnya sayang kalau terlambat, belum lagi menahan malu.

"Halah, kayak apa aja, Rik. Telat juga nggak dimarahin," jawab Marcel menenangkan. Beranjak setelah ia mengelap tangan menggunakan tisu. "Bioskop bukan sekolah."

"Iya. Kalau telat dikit juga nggak masalah," sahut Andi menambahi.

"Ya udah, kalau gitu jalan sekarang, keburu telat banyak!"

Entah mengapa Andi spontan tertawa. "Lucu, lo," kata Andi sambil mengarahkan tangannya ke rambut Rika pelan, mengelus-elus dengan sendirinya.

Rahel yang melihat Andi sudah dekat dengan Rika hanya tersenyum. Kedua bola mata gadis itu melirik ke arah Marcel. Lelaki yang sadar dengan apa maksud lirikan Rahel ikut tersenyum. Marcel dengan iseng mengedipkan mata kirinya ke arah perempuan itu, berniat menggodanya.

Tanpa Marcel duga, Rahel membalas dengan mengeluarkan lidahnya yang kecil lalu mempercepat langkahnya menyamai Rika. Takut jika ia jatuh pada pesona Marcel. Bisa bahaya jika ia menaruh rasa pada Macel, tapi mungkinkah Rahel sanggup mencintai sahabatnya?

Benar saja, suasana sudah ramai. Film yang baru mulai itu di tonton oleh puluhan pengunjung bioskop. Jumlah penonton hampir memenuhi seisi ruangan gelap itu. Hanya beberapa kursi saja yang kosong, tak sampai sepuluh. "Untung baru mulai, belum telat," bisik Rika.

Gadis berpakaian biru muda itu menoleh. Membalas suara sahabat perempuannya, "Iya, mana rame banget. Nggak nyangka aja bakal serame ini. Perasaan tadi pas beli pada kosong semua tuh kursi."

"Haha, sama. Gue juga nggak nyangka."

Rika menengok kanan-kiri. Lalu tak lama dia berbisik, "Emang pada bucin ya, hehe."

"Ha? Maksud lo?"

"Penontonnya, Hel."

Rahel tersenyum, ia berbisik tepat di telinga Rika, "Emang yang ngomong enggak? Punya kaca nggak, Kak? Kalau nggak punya saya pinjemin. Di rumah saya ada kaca besar."

Rika melotot, menjawab, "Lah, kok jadi gue? Maksud lo apa?"

"Dih. Pura-pura nggak tahu lo?" Rahel tersenyum jahil.

"Apaan?"

"Lo ada something kan sama Andi? Ngaku aja."

"Sialan lo, nggak ada," balasnya sambil memalingkan muka, menghadap layar besar di depan sana yang menampilkan seseorang menjilat es krim. "Lo kali yang sama Marcel."

Menoel pipi kanan Rika, Rahel sengaja menggoda. Bukannya fokus pada film yang diputar, ia malah suka melihat Rika yang sok-sokan tak tahu apa-apa, padahal mulai tertarik pada Andi. "Halah, pake gaya nutup-nutupin segala. Pipi lo ni, merah," diakhiri dengan tawa yang membuat Rika mendelik.

"Ish, diem geblek! Ganggu yang lagi nonton, berisik amat mulut lo," ucapnya pelan setelah menarik rambut panjang Rahel pelan.

"Bilang aja takut kedengeran Andi, hahahaha."

Tanpa banyak omong, Rika yang salting tega menjitak kepala Rahel sampai berbunyi. "Aduh," keluh Rahel yang kesakitan, tapi masih merasa geli dengan Rika.

"Enak? Berisik mulu. Tonton tuh, depan lo."

"Kenapa?" Marcel angkat suara setelah merasa dua perempuan itu cukup nakal.

"Enggak," balas Rahel singkat sambil mengelus ubun-ubunnya yang sudah di nodai Rika dengan pukulan.

"Kok tadi nyebut-nyebut nama gue?" tanya Andi kemudian.

"Hah?!"

"Mampus! Denger juga kan laki-laki idaman lo? Biar orangnya peka sekalian, Rik," girang Rahel membatin.

Bibir Rika nyengir seadanya, dia tak tahu harus berkomentar apa. "Hehe, nggak ada, Ndi, lanjut nonton aja." Andi mengarahkan kepalanya kembali ke depan, fokus menonton film lagi.

"Awas, ya, Hel! Balik nanti, lo tidur di lantai kamar!" serunya tajam, masih dengan bisikan.

"Nggak mungkin dan nggak akan, wle!" ejek Rahel tak takut sama sekali dan ditutup dengan senyuman lebar. Mereka tidak sadar, sedari tadi dua pemuda diam-diam mendengarkan. Satunya di kanan Rahel, dan yang satu di kiri Rika. Laki-laki itu tersenyum geli sambil menggelengkan kepala.

***

Matahari telah terbit, menggantikan posisi malam yang memang harus menjauh pergi. Kini Rahel telah tertidur lelap di dalam kamar hangat kesayangannya. Tidak jadi tidur di lantai dingin kamar Rika.

Tadi malam, ia meminta tolong Marcel untuk mengantarkannya pulang kembali ke rumah. Rika yang memahami akan keperluan sahabatnya itu, dengan berat hati harus rela membiarkan Rahel pulang ke asal.

Lagi-lagi Rahel bersyukur karena sahabat masa kecilnya yang tinggi dan tampan itu telah kembali. Bersama dengan dia di kota kelahirannya. Meski sebentar lagi Rahel akan pergi ke luar kota untuk melanjutkan pendidikan, setidaknya Rahel dan Marcel tidak menjadi musuh yang menimbun dendam. Sebaliknya, mereka bisa bersama seperti dulu kala.

Membayangkan wajahnya saja bisa membuat gadis itu tersenyum lega. "Akhirnya, gue sama lo berakhir happy ending Cel, hehe. Semoga aja akan terus kayak gini." Rahel yang sudah bangun dari tidur lelapnya, bergegas untuk membersihkan seluruh tubuh, menghilangkan bau tak sedap yang menyengat tercium oleh hidung mancung nan mungil miliknya. Tak butuh waktu lama untuk ia menyelesaikan ritual mandi.

Rahel mengunci pintu, mulai mengerjakan aktivitas yang lain. Gadis cantik berambut panjang itu segera menata pakaian dan barang-barang yang akan dia bawa ke luar kota. Pikirnya, ingin menyiapkan semua barang yang dibutuhkan itu lebih awal, agar nanti tidak tergesa-gesa saat waktu masuk kuliah hampir tiba, pokoknya mengatur waktu dengan sebaik mungkin.

Baru saja selesai, tiba-tiba terdengar suara ponsel berbunyi. Rahel mengambil ponsel miliknya, melihat nama Rika yang muncul di layar ponsel. Segera ia menjawab, "Halo."

"..."

"Iya. Barusan selesai nyiapin barang."

"..."

"Kapan?"

"..."

"Oke. Gue tunggu."

"..."

"Iya."

Mendengar pintu kamarnya diketuk, Rahel berjalan cepat ke arah pintu, hendak membuka. Pintu kamar memang masih terkunci, karena sedari tadi belum ia buka. "Kenapa?" tanya Rahel setelah berhadapan dengan Nica.

"Lo di suruh sarapan. Dari tadi lo di kamar mulu, selesai mandi malah balik lagi ke kamar. Bikin orang capek aja naik-turun."

"Iya-iya."

"Buruan, udah ditunggu. Jangan cuma iya-iya aja lo ...!" bentak Nica sambil meninggalkan kamar kakaknya.

Memutar bola mata, malas, Rahel bergumam, "Heran, dateng-dateng langsung marah. " Sambil menutup pintu kamar, dia menyusul sang adik untuk ikut turun ke lantai bawah, lebih tepatnya dapur.

Rahel yang sudah tiba lantas menghampiri sang mama yang tengah berdiri di dapur, seperti mengambil minum. "Mah, Mamah masak apa?" tanya Rahel yang sudah berdiri di samping Ana.

Meneguk air di dalam gelas yang saat ini Ana pegang, lalu wanita itu menjawab, "Masak nasi goreng aja kok. Buruan dimakan, Sayang … nanti keburu dingin."

Rahel tersenyum lega, karena nyatanya beliau tidak mempermasalahkan dirinya telat turun untuk makan. "Iya." Satu piring nasi goreng sudah di tangan. Bibir tak tahan untuk tidak tersenyum kecil setelah mencium aroma sedap dari makanan itu. Kedua kakinya melangkah ke tempat yang paling nyaman digunakan untuk makan, ruang televisi.

"Mamah mau siap-siap dulu. Jangan lupa, nanti piringnya langsung dicuci."

Rahel menoleh ke Ana, balik lagi ke ibu-ibu beranak dua itu setelah kata-kata yang wanita itu lontarkan. "Iya, Mamah. Oh iya, Mah! Nanti kalau aku pergi jalan boleh, 'kan?" tanyanya mendekat dan segera mencium tangan Ana, berpamitan.

Ana menatap Rahel sekilas dengan tatapan serius, sebelum akhirnya tersenyum. "Iya, boleh. Pesannya Mamah, inget batasan aja," ucap Ana dengan langkah menjauhi dapur, kembali ke kamar, mengambil semua barang yang akan dia bawa untuk bekerja.

"Mamah berangkat sekarang?" tanya Nica yang melihat sang mama berjalan ke arah pintu, ingin keluar.

"Iya. Memang harus berangkat jam berapa? Lebih awal 'kan lebih baik," jawab Ana tersenyum. Kemudian melihat jam di ponsel yang ia genggam. "Mamah berangkat dulu ya ...," sambungnya.

"Oke," sahut adik Rahel itu dengan mencium punggung tangan, dilanjut ke kening Ana.

Nica menutup pagar setelah ibu tercinta keluar dari halaman rumah menggunakan sepeda motor. Ia juga menutup pintu depan rumah. Nica pun cepat-cepat masuk, lalu menghampiri Rahel yang masih sibuk menikmati sarapan lezat. Tadi sudah sempat ia cicipi, dan ternyata memang enak.

"Ngapain nih ...? Gue bingung kalau gini mulu. Nggak ada kerjaan," ucap Nica sambil melirik Rahel.

"Makan."

"Gue serius!"

"Gue mau pergi sama Rika," balas Rahel yang masih mengunyah makanannya.

"Serius lo?! Terus gue di rumah sendirian gitu?" tanya Nica tak terima.

"Iya, serius gue. Emang enggak ada yang ngajakin lo pergi?"

"Enggak," Nica sedikit kesal dengan pertanyaan Rahel yang sepertinya sedikit mengejeknya.

"Ya udah, gue siap-siap dulu."

Melihat sang kakak yang sudah berdiri, tentu membuat hatinya memanas. "Lo nggak ada niatan buat ngajak gue gitu?"

"Enggak."

"Tega lo, Kak."

"Emang," sahut Rahel yang tak ambil pusing dan berlalu dari ruang tv. Seperti apa yang diingatkan Ana, Rahel tak lupa mencuci piringnya sebelum bersiap untuk pergi.

Nica yang kesal dengan jawaban kakaknya itu, hanya bisa menatap layar televisi dengan muka datar. Ia memikirkan apa yang akan ia lakukan di rumah, sendiri.

Rahel yang sudah selesai mencuci alat makan, berjalan menuju kamar. Tak butuh waktu lama untuknya bergelut disana, ia sudah siap dengan penampilan seadanya. Sekarang hanya menunggu Rika menjemput saja. Rahel memilih ruang tamu untuk menunggu Rika. Merasa ponselnya bergetar, Rahel mengambilnya dari dalam saku celana yang ia pakai.

Membaca pesan yang di kirimkan sahabatnya, Rahel membalas pesan itu singkat. Ia memahami posisi sahabat terdekatnya itu. Rika mengatakan bahwa dirinya tak bisa menjemput Rahel karena harus menjemput orang tuanya. Beranjak dari tempat duduk ia berlari kecil, kembali ke kamar untuk mengambil kunci motor satu-satunya yang ia punya.

"Lo nggak jadi pergi?" tanya Nica saat melihat kakaknya yang kembali ke kamar, Nica menduga bahwa Rahel tidak jadi meninggalkannya sendiri.

"Jadi, kenapa?"

"Gue kira nggak jadi. Kenapa balik ke kamar?"

"Ambil kunci, Rika nggak jadi jemput gue."

"Berarti lo naik motor sendiri?"

"Iya!" teriak Rahel yang sudah sampai ke kamarnya, matanya mencari-cari dimana bendabenda itu berada. "Nah, itu dia!" serunya ketika mendapatkan kunci motor. Mengabaikan Nica, ia berlari dari kamar ke arah halaman rumahnya, untuk memanasi motor yang akan dia gunakan sehabis ini.

Beberapa detik kemudian dia dikejutkan oleh suara Nica yang tiba-tiba ada di belakangnya. "Gue ikut! Bosen di rumah!"

"Lah, emang udah siap lo?" tanpa menoleh sedikit pun ke arah adiknya.

"Udah. Ayok, berangkat sekarang!"

Rahel menoleh ke arah Nica dan benar saja, ia melihat adiknya sudah siap dengan penampilannya yang sudah tidak memakai baju rumahan. "Ya udah. Rumah udah lo kunci belum?"

"Apa?"

"Pintunya ogeb! Udah lo kunci?"

"Udah dong, huh!" sembur sang adik sambil memutar bola mata, karena mulut Rahel menghina otaknya sesuka hati. Keduanya pun berangkat, dengan Rahel yang mengendarai kendaraan roda dua tumpangan mereka.

Kakak beradik tersebut telah menginjakkan kaki di salah satu pusat perbelanjaan. Begitu tiba, sepasang mata Rahel melihat ke sekeliling, berharap menemukan Rika. Ia mengambil ponselnya, segera mengirimkan pesan kepada sahabatnya bahwa dirinya telah sampai di tempat tujuan.

"Gue beli minum dulu ya, haus gue."

Rahel mengiyakan dan berpesan jika sudah selesai, Nica harus segera kembali. Melihat Nica yang sudah mulai menjauh, ia mengalihkan pandangan pada benda hitam panjang tipis, yang berada di genggamannya. Menunggu balasan pesan dari Rika.

Namun, sudah lima menit Rahel menunggu, Rika tetap belum membalas. Ia yang sedikit kesal, mencoba menelepon sahabatnya itu. Sayang, hanya kata berdering yang saat ini muncul di layar. Masih tetap semangat, ia terus mencoba, dan tak terasa Nica sudah berjalan menuju ke arahnya.

Tatapannya berpusat pada seseorang yang berada cukup jauh di belakang Nica. Orang itu seperti melihat ke arahnya. Tunggu sebentar, atau itu cuma perasaan Rahel saja? Akan tetapi, bisa jadi kan kalau orang itu menatap Nica atau hanya tak sengaja melihat bagian punggung Nica? Dugaannya sungguh salah! Bukan ke arah Nica, tapi mata lelaki itu persis menatap Rahel, sangat dalam.

"Kenapa tuh orang? Apa gue aneh, ya? Atau ... penampilan gue kali, ya?" Masih memerhatikan pria aneh itu, Rahel mendadak merasakan dadanya berdebar-debar. "Dia siapa sih? Sayang, mukanya kehalang sama masker. Atau … jangan-jangan dia kenal gue?" Jantungnya benar-benar memompa lebih cepat, terlebih lagi cuma mata pria itu yang bisa ia lihat. "Gitu banget lihatnya! Atau jangan-jangan dia pengen--" pikiran Rahel terputus saat Rika tiba-tiba datang dan mengejutkannya dengan berteriak, "WOI!" tepat di belakang Rahel.

Rahel yang terkejut, kini merasa kesal dengan sikap Rika, "Ih! Lo apaan sih, Rik?!"

"Kenapa, Kak? Kok lo ngelihat gue kayak aneh gitu?" tanya Nica penasaran saat melihat mimik wajah kakaknya yang aneh ketika dirinya berjalan ke arah Rahel.

Rahel memastikan di mana pria itu berada, dan sekarang dia tak melihat siapa pun. "Enggak, nggak ada apa-apa kok," kata Rahel meyakinkan.

Rika yang bingung dengan apa yang dikatakan oleh keduanya, memilih diam, tak ingin berkomentar.

"Oke. Terus ini mau ke mana?" tanya Nica yang memandangi Rahel dan Rika bergantian.

"Nonton. Udah ditunggu kita, buruan...!" jawab Rika menatap si kakak beradik, dan berjalan mendahului.

"Siapa?" tanya Nica penasaran sambil menyamakan langkahnya dengan Rika. "Siapa yang nungguin?"

Rahel yang sudah tahu siapa yang menunggu, tak berniat memberitahu Nica. Sementara Rika langsung tersenyum. "Temennya gue sama kakak lo," ungkapnya.

"Cowok atau cewek?"

"Berisik. Lihat aja nanti, ntar juga tahu dia cowok atau cewek," sahut Rahel yang mulai jengah dengan Nica.

"Gue nggak ngomong sama lo. Gue tanya sama temen lo, kok lo yang sewot? Aneh lo!"

"Cowok," jawab Rika dan mulai enggan mendengar pertengkaran kecil yang mulai masuk di telinganya.

"Gebetan lo, Kak?"

Rahel yang benar-benar jengah, kembali memandang Nica dengan tajam. "Bisa diem nggak?!" Mendapat bentakan itu Nica mengalah, tidak ingin membuat dirinya malu jika sampai bertengkar dengan sang kakak hanya karena masalah sepele.