Tadi siang, tepatnya saat mereka pergi bersama, ada yang mengganjal di benak Rahel hingga sekarang. Adiknya, Nica, sama sekali tidak mengenal Marcel. Rahel menatap langit-langit kamar dengan dahi berkerut, tentunya sesudah membersihkan tubuh dan menyelesaikan makan malam.
"Memang, dulu Marcel nggak pernah lihat Nica. Sekolah gue sama Nica beda, tapi, bukannya Marcel pernah ke sini, ya? Pas gue lihat kertas kecil yang di tinggal Marcel gitu aja, karena waktu itu dia nggak siap ketemu gue. Apa itu bukan Marcel?" gumamnya bingung dengan kejadian tadi saat Marcel dan Nica berjabat tangan untuk berkenalan.
"Bener-bener kayak orang yang baru pertama kali ketemu." Pikirannya mengngat kejadian tadi lagi. "Gue harus mastiin, apa emang Nica baru kenal atau sebenernya dia udah pernah lihat Marcel! Gue harus tanyain ke bocil itu."
Rahel berjalan cepat ke arah pintu kamarnya. Berniat untuk membuka karena mendengar ketukan pelan. "Gue mau masuk, ada yang mau gue omongin," ucap sang pengetuk pintu.
"Sama, gue juga. Lo soal apa?"
"Marcel."
Tersenyum dan mengangguk, Rahel berkata, "Pas banget."
"Apa bener ini anak mau ngomong kalau sebelumnya dia udah pernah ketemu sama Marcel? Dia mau jujur kalau udah kenal sama Marcel dari kemarin-kemarin? Dan bukan pas waktu tadi siang itu? Kenapa harus bohong di depan gue, seolah-olah kayak baru kenal? Aneh," batinnya seraya menatap sang adik hati-hati.
"Kenapa? Lo mau bilang 'kan kalau sebenarnya Lo itu udah pernah ketemu Marcel. Waktu dia ke sini itu, dan lo panggil gue, lo dateng ke kamar gue waktu itu buat turun ketemu dia di ruang tamu," sambung Rahel.
Nica menautkan alis, bingung. "Hah?! Ngomong apaan sih lo? Ngelantur ... gue nggak tau arah pembicaraan lo, bingung gue."
"Gini deh, gue mau tanya. Lo kenal kan sama Marcel? Masa lo lupa?"
"Lah, iya, tadi gue kenalan sama dia. Masa iya, baru tadi siang gue kenalan gue udah lupa? Ngantuk lo, Kak, tanya begitu? Aneh."
"Maksud lo apa? Lo beneran baru ketemu Marcel cuma waktu tadi siang ...?"
"Lah, menurut lo?"
"Udah lama kenal," jawab Rahel enteng sambil merebahkan dirinya di atas kasur.
"Lo aneh deh, kerasukan lo?"
"Gue lagi nggak bercanda, Nic."
"Lah, siapa yang bercanda? Gue pikir lo yang lagi bercanda. Ngomong segala kalau gue udah lama kenal sama Marcel. Ngantuk beneran lo ...?" menyusul Rahel yang tiduran di kasurnya.
"Lo beneran baru lihat dan kenal dia hari ini, Nic?" tanya Rahel yang mulai memikirkan sesuatu.
"Iyalah. Buktinya tadi, gue salaman sama dia. Ganteng juga gebetan lo, Kak."
"Dia sahabat gue dari kecil. Baru ketemu lagi ya sekitar beberapa hari yang lalu."
"Oh … gue baru tahu kalau lo punya sahabat laki, lo kan anti."
"Gue udah bilang, dia sahabat gue waktu kecil. Anti? Lo pikir gue apa? Gue normal."
"Ha … ha … siapa yang bilang lo nggak normal?"
"Serah. Terus, lo ke sini katanya mau ngomong soal Marcel? Tentang apa?"
"Dia suka sama lo."
Menelan ludah, Rahel mendelik sebelum menatap Nica. "Apa?! Ngarang lo!" Rahel sangat terkejut, tapi mencoba untuk tenang dan memikirkan hal lain yang jauh lebih penting dari ini.
"Iya. Gue tahu, dia ke sini karena pengen ketemu sama lo. Dari tadi waktu kita nonton, jalan-jalan sambil ngobrol, gue bisa lihat dia suka sama lo. Lo tahu siapa yang ngajak lo jalan hari ini?"
"Rika."
"Bukan ... tapi Marcel, dia nyuruh sahabat lo yang ngehubungin lo, karena dia takut kalau lo nolak ajakan dari dia. Gue tahu karena tadi kak Rika cerita sama gue."
"Oh ...."
"Oh doang? Lo kenapa sih?! Bukannya seneng atau bilang apa gitu? Malah ngejawab 'oh' doang."
"Iya."
"Percumalah gue ngomongin ini ke elo, lo nya malah cuek gitu aja. Lo nggak suka sama Marcel?"
"Entah."
"Bisu baru tahu rasa lo, Kak ...! Dikasih mulut buat ngomong, malah diirit-irit. Lagi cepirit lo?!"
"Kalau ngomong banyak lo ejekin, ngomong irit lo sumpahin. Mau lo apa ...?"
"Susah ngomong sama lo. Terserah, ah ...! Capek gue punya kakak kadang kayak kak Ros, kadang kayak robot yang didesain khusus buat ngomong sesuatu."
"Iyain. Kalau udah selesai, lo boleh keluar."
"Gue diusir? Secara perlahan?"
Mengangkat alis sebelah kanan, Rahel bertanya, "Menurut lo?"
Rika merenung sebelum menyahut, "Iya. Lo seneng karena sahabat lama lo kembali lagi. Bukan tuan putri yang menunggu sang pangeran datang menjemput, 'kan?"
"Dih! Gaya lo sok-sokan pakai drama dongeng kerajaan, alay lo ...!"
"Apa sih! Emang beneran, garis besarnya seperti itu. Iya, 'kan?"
"Terserah lo. Pokoknya cuma itu yang gue rasain waktu gue ketemu sama Marcel lagi," singkat Rahel dan dia sangat yakin dengan apa yang ia rasakan dan katakan barusan. Mengambil minum lagi dan meneguknya hingga setengah gelas.
Rika yang mendengar nada serius sahabatnya pun diam. Ia memilih untuk memakan beberapa camilan di depannya.
"Lo nyuruh gue buat nginep di rumah lo cuma mau ngomongin tentang ini aja? Kalau iya, gue bersyukur, untung gue nggak ikut saran lo buat ke sini tadi malem. Gue kira masalah penting apaan," tanya Rahel yang tiba-tiba saja dapat merubah raut wajah Rika.
Rika seperti ketakutan, ekspresinya tampak aneh di mata Rahel. Rahel yang merasa ada sesuatu dari Rika dan sepertinya mengganjal, hanya mencoba untuk tenang. "Gue hampir lupa, gue mau ngomong. Gue rasa ada yang mengamati lo deh, Hel," ucap Rika sedikit takut.
Rahel diam, mulutnya masih terkatup. Tidak ada raut keterkejutan di mukanya. Beberapa saat kemudian dia angkat bicara, "Bukannya lo udah tahu kalau emang ada yang merhatiin gue? Lo yang bilang sendiri, kalau lo pernah lihat orang yang ketutup mukanya waktu di rumah gue."
"Iya, sih. Tapi … gue kira itu Marcel. Postur tubuhnya memang hampir mirip kayak Marcel. Gue jadi bingung, itu Marcel atau bukan."
"Kenapa lo yang bingung? Gue aja nggak terlalu mikirin orang itu. Kalau memang dia nggak ganggu gue dan keluarga gue, gue santai aja."
"Bener juga kata lo, Hel."
"Iyalah. Emang lo? Salah mulu jadi orang!"
Rika memukul lengan Rahel pelan, "Sialan, lo." Rahel hanya tertawa, tak ingin membalas perlakuan sahabatnya.
"Siapa lo sebenarnya? Atau itu elo? Jangan buat gue takut. Dengan hadirnya lo di hadapan gue, secara tidak langsung lo ngebuka luka yang udah lama gue usahain buat sembuh, jadi muncul lagi. Gue nggak tau dengan obat apa luka itu bisa sembuh. Mati-matian gue berusaha tegar buat orang di sekitar gue. Jangan sampai lo ngehancurin usaha gue itu dengan kehadiran lo, yang sialnya malah ingin gue rasakan."
***
"Kak! Bangun, lo! Mau bangun jam berapa lagi sih? Udah jam sepuluh lebih! Lo mau gue guyur pakai air di closet, HAH?! Jangan buat gue emosi!"
Rahel menempelkan jari telunjuknya di depan bibir dengan mata tertutup. "Diem sebentar. Gue masih ngantuk! Kenapa lo yang jadi kayak kak Ros, sih? Lo jadi bocil aja, pantes kok. Nggak usah ganti peran lain ...."
Mengangkat kedua tangan, siap untuk menarik tubuh Rahel tapi ia urungkan. "Sialan. Gue lagi nggak bercanda! Bangun nggak?! Nyebelin amat jadi orang!"
Sesekali Rahel menguap. "Biarin. Sekali-sekali gue yang nyebelin. Bukan cuma lo yang jadi ratu nyebelin."
Menghentakkan kaki dan mendelik tepat ke mata Rahel yang sudah mulai terbuka, dan ternyata ikut menatapnya. "Terserahlah. Kalau lo tetep aja nggak mau bangun, itu juga nggak jadi masalah buat gue. Gue mau pergi! Males ngebangunin kebo kurus kayak, lo."
Kembali memejamkan matanya, lalu dengan tangan mengusir. Rahel merebahkan diri. "Ya udah sana, ngapain lo repot-repot bangunin gue? Hush! Eh, tunggu! Gue mau tanya, kalau gue kebo kurus terus, lo apa? Oh iya, gue kok lupa ya, lo kan tuyul bengkak," sambungnya dengan mata tidak tertutup.
"Sialan lo," berang Nica dan langsung mengambil bantal yang tidak di pakai kakaknya, dan kebetulan jatuh tepat mengenai kepala Rahel.
Rahel pun mengusap kepala. "Ish! Buruan pergi! Minggat aja lo sana! Malah ngelempar bantal segala! Awas lo ya, Nic!"
Nica menjulurkan lidahnya untuk mengejek Rahel. "Sukurin!" Lalu melangkah keluar dari kamar Rahel.
Semalam setelah dirinya dan Rika berbincang, Rahel segera beranjak untuk tidur. Paginya, tepat saat subuh tiba, ia berpamitan kepada sahabatnya untuk pulang karena sang mama kembali ke kampung halamannya. Ada beberapa hal yang harus diurus oleh kedua orang tuanya di sana.
Berjalan ke arah lemari, dengan mata merem-melek dan sesekali menguap, Rahel mengambil pakaian rumah dan handuk. Membawanya ke kamar mandi. Entah mengapa dia justru sedikit memikirkan alasan Nica yang membangunkan dirinya dari tidur nyenyaknya.
"Tuyul bengkak tadi bilang kalau gue nggak bangun, bukan masalah buat dia. Lah, kenapa dia ngebangunin gue? Tuh tuyul juga bilang kalau mau pergi? Terus ngapain gue repot-repot bangun subuh sama pulang ke rumah?! Kurang ajar bener dia lama-lama!"
Berlari menuruni anak tangga, hendak mencari adiknya, Nica. "Tuyul! Kampret emang. Sini!"
"Apa sih? Pakai teriak-teriak segala! Hobi banget. Berisik tau nggak mulut lo?! Diem!" jawab Nica dari arah dapur.
"Heh! Lo tadi bilang mau pergi, 'kan? Emang kurang ajar!" balasnya setelah berhadapan dengan Nica.
Nica menaruh gelasnya sambil menatap Rahel. "Iya. Kenapa? Lo takut kalau gue tinggal di sini sendiri? Idih, gitu aja takut. Bocah banget!"
"Lo aja kali yang takut! Kenapa lo telepon gue buat balik?! See? siapa yang kayak bocah? Sok-sokan ngejek lo." Mengulurkan tangannya, mengambil gelas yang baru saja diletakkan Nica di sebelahnya, dan segera meminum coklat hangat sang adik.
"ARGH! Enak aja! Buatin lagi! Nggak mau tahu!" kesal Nica yang melihat kelakuan saudarinya.
Rahel melangkah menjauhi dapur, meninggalkan Nica yang tengah cemberut. Masa bodoh dengan gelas yang tadinya berisi minuman coklat, kini sudah habis tak bersisa. "Gue mau mandi. Bye!"
"HUAAA …! Ngeselin amat sih lo!" Rahel menoleh dan melambaikan tangannya, tak lupa dengan lidah yang menjulur, mengejek Nica.
"Nica sabar kok, mah. Mamah pasti bangga kan punya anak kayak Nica? Penyabar ...," gumam Nica menghibur diri dengan mengelus dada. Menuju kompor untuk merebus air guna membuat minuman kesukaannya yang telah dihabiskan Rahel. Nica bersenandung sambil menuangkan air yang di dalam panci ke gelasnya. Menghirup aroma wangi dari minuman coklat itu sambil memamerkan senyumnya. Wanginya, pasti lezat seperti biasa. "Eumh, enak …."
"HEH! Ngapain lo merem-merem nggak jelas? Udah mulai gila lo?"