"Duh... Ini kenapa aku yang cuma di suruh bawa?" protes Nica karena hanya dia yang membawa barang-barang belanjaan mereka.
"Sabar sayang. Habis ini kita masih cari keperluan lainnya. Nanti kakakmu juga bakal Mamah suruh bawa," jawab Ana setelah menengok Nica yang berada tepat di belakangnya.
Rahel melirik Nica dengan dahi mengerut heran, "itu nggak banyak. Cuma satu kantong apa susahnya? Di situ yang paling banyak juga barang punya lo."
Meletakkan satu kantong belanjaan mereka di atas lantai. Nica membawa punyanya sendiri, "serah. Pokoknya gue nggak mau bawa barang lagi selain ini. Satu kantong tapi berat ya sama aja."
"Kalau berat ya dari tadi tuh kantong udah jebol. Nggak kuat nahan." Tak terima dengan alasan Nica.
"Udah. Ribut aja dari tadi. Banyak orang lewat di sini. Malu dong diliatin, udah pada besar juga," sela Ana melerai kedua putrinya.
Di tengah-tengah keributan, suara seseorang terdengar. "Hai Hel, Nic. Halo Tante, pada jalan-jalan nih?" suara Puspa mengagetkan mereka. Gadis itu lantas mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan Ana.
"Loh, Nak Puspa. Sama siapa kesini?"
Puspa tersenyum kecil, "sama Ibuk kok, Tante. Itu lagi di dalem," balasnya, menunjuk salon yang ada tepat di belakangnya.
Ana yang mengetahui teman dekatnya sedang berada di salon, memutuskan untuk ikut ke dalam. Berpamitan dengan ketiga remaja di hadapannya.
"Lo mau kemana? Malah di luar, bukannya nemenin Nyokap lo nyalon," tanya Rahel.
"Mau cari minum sekalian mau ke toilet," Rahel hanya membalasnya dengan anggukan kepala.
"Daripada kita berdiri di sini mending cari tempat aja buat ngobrol," usul Nica yang langsung diiyakan Puspa.
"Tapi kita masih cari peralatan mandi. Puspa juga belum ke toilet," cegah Rahel.
Mereka memutuskan untuk membeli keperluan setelah menemani Puspa ke toilet. Merasa barang yang mereka beli sudah cukup, mereka mencari tempat untuk beristirahat. Memesan minum seperti yang mereka inginkan.
Baru beberapa menit saja mereka duduk, ponsel Puspa bergetar. Ibunya mengatakan bahwa dirinya akan pulang bersama Ana.
"Mamah lo mau pulang nih sama nyokap gue. Kita mau di sini dulu apa gimana?"
"Disini aja dulu. Dari tadi belum istirahat. Dedek lelah kakak, bawaannya berat, pegal ini badan," kata Nica mendramatisir. Tak lupa tangannya ia angkat tinggi-tinggi dan menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri guna mengurangi rasa pegal yang di rasakannya.
Rahel yang melihat tingkah Nica, hanya bisa menggelengkan kepala. Masa bodoh dengan tingkah Nica yang Rahel sudah hafal.
"Oke. Tapi sorry , gue nggak bisa lama-lama. Mau jemput Bokap ke bandara," balas Puspa jujur.
"Iya kak. Sebentar aja kok. Numpang abisin minum aja."
"Santai... Kayak sama siapa aja lo," sahut Puspa tersenyum gemas.
Merasa lelahnya perlahan mulai hilang, Nica mengajak mereka pulang. Mengingat alasan Puspa adalah tugas penting, juga menjadi keinginannya untuk pulang. Bisa-bisa telat ngejemput nanti, pikir Nica. Bergidik ngeri kalau sampai kena omelan.
Puspa yang mendapat panggilan telepon dari sang ayah, memutuskan untuk berjalan lebih cepat. Ayahnya mengatakan bahwa, dirinya sudah menunggu Puspa. Puspa menengok ke arah sahabatnya lalu melambaikan tangan.
Rahel yang sedari tadi melihat Puspa, membalas lambaian tangan sahabatnya. Sudah paham dengan tingkah Puspa yang terburu-buru, apalagi kalau bukan melaksanakan tugas pentingnya. Menjemput Ayah ke bandara.
Belum lama berjalan, "gue ke toilet dulu, tiba-tiba kebelet," ucap Rahel.
"Yaudah sana. Gue tunggu di parkiran, mana kuncinya?" Rahel langsung memberikan kunci motornya ke Nica. Ia berlari untuk segera memasuki toilet yang kebetulan tidak jauh dari tempatnya berpisah dengan Puspa.
"Lega," bisiknya setelah keluar dari toilet. Mengaca sebentar untuk melihat penampilannya. Merasa sudah cukup, ia berlari kecil menyusul sang adik.
"Rahel."
Merasa ada yang memanggil namanya, ia lantas menoleh ke belakang. Mencari sumber suara, namun nihil. Orang yang berada di belakangnya kebanyakan sedang mengobrol bersama rekan atau bermain ponsel. Tidak ada yang melihat ke arahnya.
"Aneh. Apa gue aja yang ngerasa di panggil" pikirnya. Lalu hanya mengangkat bahu, membuang jauh-jauh hal itu.
Sampai di parkiran, Rahel mencari Nica. Nica yang melihat kakaknya sudah sampai langsung menjalankan motor, menghampiri Rahel. Keduanya naik motor dengan sedikit perbincangan guna mengisi keheningan dalam perjalanan.
Akhirnya, bisa tiba di rumah dengan selamat, tepatnya di depan pagar rumah. Nica meminta tolong Rahel agar menurunkan barang-barang yang mereka beli tadi. Sedang Nica, masih menjaga keseimbangan, tanpa turun dari motor sang kakak.
"Udah sana, parkirin ke dalem," suruh Rahel setelah menurunkan semua barang mereka.
Nica yang sadar akan perkataan Rahel segera menyalakan motor. Memarkirkan motor di halaman rumah lalu berniat untuk masuk.
"Eh-eh. Mau kemana? Bantuin gue lah. Lo pikir ini dikit?"
"Eh iya. Lupa, hehe..." Nica berbalik dan mengambil barang yang ada di luar rumahnya. Ia mengingatkan Rahel untuk menutup pagar rumah.
Sebelum menutup pagar, Rahel mencoba menengok ke kiri, dan tidak ada yang aneh. Namun, setelah menolehkan kepala ke kanan, ia melihat seseorang.
"Orang itu. Kayaknya lagi ngeliat ke arah ... rumah? Kemungkinan bisa aja ... gue?! Belum sempat meneliti wajahnya, orang tersebut lebih dulu memasuki mobil, tepat di samping laki-laki itu. Ah, sial. Mana pake kacamata lagi! aneh," batin anak pertama Ana itu.
Rahel segera berbalik ke arah rumah. Kedua tangan menutup pagar. Menyusul Nica yang sudah berada di dalam.
***
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, berputar terus tiada henti. Pagi mananti siang, siang menanti senja, senja menanti petang, tanpa lelah saling menunggu. Karena, dari mulanya memang sudah ditetapkan seperti itu.
Seiring berjalannya waktu yang tak terasa semakin cepat berlalu, Rahel menghela napas, lega. Ia mengucap syukur karena telah berhasil melaksanakan ujian dengan lancar, selancar-lancarnya jalanan ibu kota.
Senangnya oh senangnya, hari libur telah tiba. Senangnya ya- Jangan nyanyi! Hehe. Akhirnya gue udah liburrr! Asoy... Sudah tidak memikirkan buku-buku yang selalu menumpuk dimeja belajar, bung. Leganya! Gue juga berhasil masuk di salah satu universitas negeri. Tapi bukan di Jakarta. Yap! Gue berniat hidup mandiri. Pulang rumah mungkin enam bulan sekali. Entah lah, masih gue pikirin belakangan, puas-puasin libur panjang dulu. Pokoknya gue seneng banget karena bisa lolos tanpa tes, yuhuuu! Emang usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Gue harap cita-cita yang gue pengen segera kesampaian, AMIN! Jadi designer, nerusin usaha mamah kalau nggak ngembangin. Itu cita-cita gue. Tapi masih banyak selain itu, kalau gue jelasin nggak bakalan kelar.
Rahel.
"Rahel...! Turun...! Ini udah jam berapa?! Makanannya keburu dingin!"
Dilihatnya jam dinding di kamarnya, bulat, putih, berukuran sedang. "Apaan sih. Udah tau libur juga. Belum siang amat, masih jam setengah sepuluh." menyedot udara dalam-dalam. "Iya Mah. Sebentar...!" teriak Rahel setelah mematikan lagu yang baru saja ia dengar. Menutup teman mungil, buku harian. Ia segera menghampiri sang mama agar tidak terkena omelan. Apalagi kalau sampai dikutuk menjadi batu, sangat tidak mau.
"Sini, Sayang! Buruan ini dimakan sarapannya. Mamah nggak bisa lama-lama. Toko mamah bisa nggak ke urus kalau nggak diawasi," perintah Ana yang melihat Rahel mulai berjalan menghampiri.
"Iya. Emang karyawan Mamah belum bisa kalau Mamah nggak dampingin?"
"Bisa, Sayang, tapi Mamah harus liat kinerja mereka. Bukan masrahin semuanya ke tangan mereka. Tetep harus Mamah cek semua dong."
"Pasang cctv aja. Mamah kan bisa ngepantau dari sini. Gampang, 'kan?!" usulnya yang membuat Ana menggelengkan kepala.
Dia sudah paham dengan tingkah anaknya yang membuat dirinya geram. Bukan hanya putri sulungnya, si bungsu juga sama. Keduanya membuat dia heran. Ngidam apa dirinya dulu hingga kedua anaknya seperti itu? Mau heran, tapi ini anak sendiri.
"Kamu itu, dikasih tahu malah ngeyel."
Rahel mengambil sarapan lalu menunjukkan cengiran. "Maaf, Mah, bercanda."
"Iya. Udah biasa," sahut Ana yang dibalas Rahel dengan senyuman.
"Udah. Mamah berangkat dulu. Tolong cuciin ya. Takut macet," Rahel yang melihat sang mama berdiri, langsung mencium tangannya. Berpamitan dengan anggun dan sopan.
"Iya, berarti Rahel nyuci dulu apa makan dulu?" tanyanya bingung.
"Terserah!"
Rahel pun memutuskan untuk mencuci saja dulu. "Pagi-pagi harus olahraga," pikirnya.
"Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama aku asik sendiri, karna tak ada y-" Rahel menghentikan nyanyiannya. Ia mendengar pintu rumah diketuk.
"Iya, tunggu sebentar!" sahut Rahel dengan lantang.
Berjalan cepat menuju pintu lalu membukanya. Bola matanya membesar, terkejut karena tidak ada orang di depan rumahnya. Ia mencoba berlari ke arah pagar lalu menengokkan kepala ke kiri dan ke kanan. Nihil, tidak ada seorang pun yang terlihat dari pandangannya.
"Siapa, sih! Sumpah ya! Ganggu aja! Iseng nggak liat-liat dulu! Nggak ngerti orang lagi sibuk apa?!" Rahel kembali masuk dengan muka setengah kesal. Kala salah satu tangan hampir meraih gagang pintu, mendadak urung ia lakukan. Ada kantong plastik yang menggantung, berukuran cukup sedang. Kantong itu seperti bingkisan, indah.
"Jangan-jangan bom! Bom yang dirakit sekecil bingkisan. Di manipulasi biar orang terkecoh! Bisa jadi, 'kan? Ha … ha … ngaco lo, Hel! Mana ada orang yang isengnya begitu …."
Tanpa ragu dan berpikir panjang, Rahel meraihnya. Gadis berpakaian santai itu masuk lalu mengunci pintu. Berlari kecil ke ruang tv untuk melihat, benda macam apakah yang ada di dalamnya.
"Eh, apaan nih? Cuma kotak? Ish!" Rahel lantas membuka kertas yang membalut kotak tersebut. Dia juga merobek dan memasukkannya ke dalam kantong.
"Apa nih? Lah, gantungan kunci."
Rahel terheran-heran akan benda yang menyasar di rumahnya. Ditatapnya gantungan kunci yang tengah ia pegang. Berbentuk botol, terbuat dari kaca, ukurannya sangat mungil. Kira-kira panjangnya seukuran dengan jari telunjuk Rahel. Ada manik-manik di sekitar tutup birunya, terlihat seperti nuansa pantai, sejuk. Melihat botol ini, mendadak Rahel jadi ingin ke pantai.
Sedangkan di sekitar botolnya, ada beberapa mutiara. Amat kecil, putih bersih. Memberikan kesan yang mewah pada benda mungil itu.
"Unik sih, tapi siapa yang naruh ini di gagang pintu? Eh, tutupnya bisa dibuka nggak, ya?" Rahel yang masih penasaran dengan benda itu, mencoba membuka. Barangkali bisa dibuka.
"Wow!" serunya kegirangan.
"Apaan sih, ini?" tanyanya bingung setelah melihat gulungan kertas kecil yang baru diambil dari botol mungil itu. Rahel mendadak menganga lebar, dan kedua matanya membola. Terkejut dengan tulisan singkat di kertas itu.
'Hai Rahel. Aku tahu kamu yang membaca.'
Tubuhnya melemas. Semula ia mengira, hanya orang iseng yang menaruh kantong plastik di gagang pintunya. Ia heran, lebih tepatnya kagum akan isi didalam kantong itu. Sekarang, ia terkejut pada benda dalam genggaman.
"Siapa pengirim ini? Apa maksudnya?! Kenapa harus … ke-kenapa harus ngirim ke gue?" jerit Rahel meraup wajahnya kasar. Menghela napas, dia berusaha untuk tenang. "Huh. Tenangin pikiran lo sejenak, Hel! Jangan ke bawa emosi, selalu berpikir positif Rahel! Rileks, ikuti permainannya." Rahel menatap lurus ke depan dengan sorot mata tajam sesudah ia mengingat seseorang.
***
Selesai sarapan dan mandi, Rahel menonton acara televisi. Bersama makanan ringan yang menemani. Adik semata wayangnya belum juga datang. Suara dering ponsel yang berbunyi tiba-tiba mengagetkan Rahel. Tanpa pikir panjang ia mengambil benda pipih itu. Mengangkat panggilan si penelepon.
"Halo?"
"…."
"Iya, lagi sendirian kok."
"…."
"Kapan? Ini kan udah menjelang malam. Nggak baik orang baik keluyuran."
"…."
Pintu rumahnya terbuka. Nica masuk dengan muka lelah. Ia berniat untuk menghampiri kakak satu-satunya itu. Namun melihat sang kakak yang sedang sibuk dengan ponsel, ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Bersiap untuk mandi, belajar, makan, dan terakhir beristirahat.
"Oke," mengakhiri panggilannya.
Selang waktu sepuluh menit saja Rahel sudah siap dengan penampilan terbaik menurutnya. Ia yang sudah berpamitan dengan mama dan juga sang adik, segera mengeluarkan motor. "Loh, Mamah kok udah dateng? Perasaan tadi aku chat belum ada lima menit."
"Mamah udah di halaman, Sayang. Tadi pas ada tukang bajigur lewat Mamah kepengen beli. Ya udah Mamah panggil, terus beli deh."
"Mamah lagi hamil?!" tanyanya dengan tampang sok kaget dan mulut tanpa dosa.
"Hush! Ngawur aja kalau ngomong! Dah, sana berangkat, kemaleman kamu nanti! Hati-hati, jangan ngebut."
"Bercanda, Mamah. Ya udah aku berangkat. Eh, satu lagi, aku jarang ngebut," jawabanya jujur sebelum mencium tangan Ana.
Ana menutup pagar setelah Rahel keluar dari halaman rumah. Ia menatap Rahel hingga anak itu menghilang dari pandangannya. Cepat-cepat masuk rumah, karena ingin menikmati minuman yang barusan dibeli.
***
Plong, satu kata itulah yang dirasakan Rahel setelah lepas dari macet di jalan selama dua puluh menit. Sekarang dirinya sudah berada di depan rumah sahabatnya, Rika. Sudah lima menit dirinya didepan teras rumah gadis itu. Ia menunggu Rika membukakan pintu untuknya.
"Dari mana? Lama amat buka pintu?"
"Iya, maaf. Lo tau kan kalau gue sendirian di rumah. Rumah pasti berantakan. Sebelum selesai ngebersihin, lo ternyata udah di depan duluan."
Mendengar alasan Rika, Rahel tidak jadi protes akan penantiannya di teras tadi, "Hem. Santai aja."
"Yaudah, langsung ke kamar aja. Lo udah makan?"
"Belum, hehe."
"Ya udah lo naik duluan aja. Gue mau ambil makan, ntar lo makan di kamar gue."
"Oke. Maksih, ya."
"Iya, santai."
"Ikut-ikut," jawabnya sambil menaiki tangga, menuju kamar Rika. Sampai di kamar Rika, Rahel langsung merebahkan tubuh yang lelah di atas kasur.
Rika tak lama masuk sembari membawa barang di dua tangannya. "Nih, makan dulu," sambil menyodorkan nampan yang berisi makanan dan minuman.
"Iya," singkat Rahel masih dengan posisi tidurnya. Tanpa membuka mata sedikitpun.
"Heh! Bangun! Makan dulu! Gue nyuruh lo ke sini bukan buat tidur aja!"
"Bentar, masih capek."
"Ealah, Hel … capek kenapa? Dari tadi pagi nggak ke mana-mana juga ... bangun-bangun, ah ...! Alesan aja lo. Bangun nggak?! Buruan dimakan!" Sayangnya, Rahel tidak menggubris sama sekali. "Hish! Rahel ih, bangun ...!" teriak Rika dan menggoyang-goyangkan tubuh Rahel.
"Iya-iya!" Bangkit dari rebahannya, Rahel mengambil makanan yang dibawakan Rika. "Bawel amat!" Rika cuma tersenyum kecil. "Lo mau cerita sesuatu ke gue?" sambungnya, dan Rika menjawab dengan anggukan.
"Ya udah, tunggu gue makan dulu." Rahel tersenyum kaku. "Mau dengerin cerita gue di sini apa di balkon?"
"Hehe, tahu aja lo. Balkon aja. Suasananya lebih enak."
"Kebiasaan lo. Ya udah, buruan makannya ntar kemaleman. Angin malem nggak bagus."
"Sabar. Bawel amat sih!"
"Kayak lo nggak aja, Hel."
"Hem."
Rahel sudah kenyang. Ia mengelus-elus perutnya yang sudah terisi. Makanan yang Rika bawa cukup banyak. Hampir sepiring penuh. Melebihi porsi yang biasa ia makan. Tanpa butuh waktu lama, Rahel dan Rika menuju balkon.
"Ya udah cerita langsung aja. Jangan diem mulu. Lo ada masalah?" Rika menggeleng. Mencoba mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannnya perlahan. Melakukannya berulang-ulang agar berani bercerita pada sahabatnya. "Jadi cerita pa nggak sih? Malah ngatur napas mulu. Kalau memang lo belum sia-"
"Gue tadi liat orang keluar dari rumah lo. Siang tadi pas gue mau keluar dari mobil," ucap Rika dengan napas sedikit memburu.
"Serius? Kok lo nggak jadi ke rumah gue...?" tanya Rahel santai karena dia tahu yang di maksud Rika adalah pengirim gantungan kunci.
"Serius. Gue rencananya nganter nyokap ke bandara."
"Oh."
"Oh? Oh doang?" tanya Rika melongo.
"Emang harus jawab apa?"
Rika menggigit bibirnya cemas, "lo nggak penasaran sama orang itu?"
"Emang lo tau mukanya?" tanya Rahel menaikkan salah satu ujung alisnya.
"Enggak sih. Dia pake jaket, topi, sama kacamata."
"Ya udah. Percuma juga kalau gue tanya lo."
"Hehe. Iya juga, ya."
"Udah, masuk aja. Angin malem nggak bagus."
"Itu tadi kata gue, Hel."
"Emang lo doang yang tahu kalau angin malem itu nggak bagus? Gue juga tahu."
"Hem, iyain."
Mereka menghabiskan malam dengan membaca novel di atas kasur. Menanti kantuk yang pasti akan datang. Hingga akhirnya mimpi tiba tanpa permisi.