Silia menghadap ke arah kerumunan, ternyata dugaannya benar, Snapp hadir bersama sekertaris Hana. Silia segera memalingkan wajah, sibuk mencari tempat yang sekiranya bisa di jadikan tempat untuk sembunyi.
Saat Nyonya Huan dan Ayah nya pergi menyambut pria itu, ini adalah kesempatan Silia untuk pergi menghindar.
"Tuan muda Snapp, sungguh suatu kehormatan kau mau menghadiri pesta wanita tua ini." Nyonya Huan mencoba berbasa-basi.
Snapp menundukkan sedikit kepalanya sebagai tanda hormat, "jangan bilang begitu nyonya, anda masih terlihat cantik meski di usia senja." Mendengar itu mereka pun tertawa.
Elena yang masih berdiri di belakan ibu dan ayah tirinya, menatap malu-malu ke arah Snapp, ibu nya yang menyadari hal itu, langsung menarik pundak nya dan di bawa ke hadapan pria itu, "ini putri ku, nama nya Elena."
"Halo... Presdir Snapp apa kabar?" Elena berkata dengan malu-malu dengan mata yang tak bisa lepas menatap pria tampan di hadapannya.
"Baik, nona Elena sendiri apa kabar?" Snapp membalas dengan datar, tapi sudah bisa membuat pipi gadis itu merona.
Sedangkan Silia terlihat sibuk mencari pintu keluar, bagaimanapun cara nya dia tidak ingin pria playboy yang merupakan atasannya itu menyadari keberadaanya.
"Silia, kau mau kemana?" Sebuah suara dari arah belakang nya membuat nya terhenyak, dia segera menoleh dan mendapati ayah nya yang sepertinya sudah memergokinya.
"Aku...." Silia tak bisa menemukan satu alasan pun di otak nya.
"Kau pasti ingin pulang kan?"
Silia pun akhirnya mengangguk pelan, mengakui perkataan ayah nya itu benar.
"Kau bilang tadi ingin makan dulu, bagaimana kalau makan bersama ayah?" Wajah pria itu terlihat mengiba, membuat Silia merasa sedikit tidak tega, tapi tidak... keadaan memaksanya harus pergi. "Tolong lah, ayah sudah lama tidak bertemu dengan mu, ayah ingin menatap mu lebih lama."
Lidah Silia tiba-tiba terasa kelu, seolah ia tak kuasa untuk menolak, namun sebelum ia sempat mengangguk mengiyakan, tiba-tiba Elena datang menghampiri nya.
"Silia, kau pikir kau itu siapa? Beraninya ingin pulang lebih dulu di ulang tahun ibu ku." Perkataan itu terlontar bersamaan dengan sebelah tangannya yang mendarat keras di pipi Silia.
Silia yang tak memasang sikap waspada sebelumnya, terhuyung kebelakang, kakinya seolah kehilangan keseimbangan, dan akhirnya jatuh ke anak tangga yang untungnya tak terlalu tinggi.
Tentu saja, keributan yang di timbulkan oleh Elena, kini malah menyita perhatian, semua tamu menoleh ke arah Silia yang kini terlihat meringis kesakitan memegangi sebelah kaki nya yang mungkin terkilir.
Snapp yamg juga ada di sana, segera menghampiri Silia, mengangkat tubuh mungil gadis itu dan mendudukkannya di sofa, Elena yang tak mengerti dengan situasi apa yang tengah terjadi, hanya bisa terbelalak tak percaya. Bisik-bisik para tamu pun mulai terdengar, bukan hanya Elena yang tampangnya terlihat kecewa, sekertaris Hana pun seakan menampilkan ekspresi yang sama.
Seolah tak ingin mempedulikan banyak nya pasangan mata yang menatap ke arah nya, Snapp dengan telaten memeriksa kaki Silia, "apa di sini sakit?" Snapp memijat bagian pergelangan kaki Silia, dan terdengar suara gadis itu yang sontak mengaduh kesakitan. "Sepertinya kau terkilir, harus di bawa ke rumah sakit."
Mendapati perhatian dari pria itu, Silia tidak tahu harus bersikap bagaimana, "aku tidak apa-apa, aku masih bisa jalan sendiri dan aku hanya ingin pulang." Silia segera beranjak dari duduk nya, dia tidak ingin mempedulikan apa yang di lakukan Snapp terhadapnya, yang pasti saat ini hati nya sedang terluka, tidak hanya sering merendahkan, tapi sodara tirinya itu tega mempermalukannya di depan umum.
Tanpa ingin mempedulikan siapapun, Silia mempercepat langkahnya yang tertatih menuju pintu keluar. Dia tidak tahan lagi dengan genangan kesedihan yang sejak tadi mendesak ingin keluar. Barulah saat memasuki taksi ia menangis sejadi-jadinya, dia memang selalu terlihat seperti gadis yang kuat di luar, tapi siapa yang tahu, hati nya tetap saja rapuh.
***
Tanpa terasa pagi sudah menjelang, dan Silia baru saja bangun dari tidurnya. Baru saja ia mencoba merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa letih, tiba-tiba ponsel di atas nakas berdering. Siapa yang tengah menelponnya sepagi ini?
Silia meraih ponselnya, dan mendapati sederet nomor tak di kenal sedang melakukan panggilan. "Halo..." Ujar Silia begitu ia menggeser tombol hijau di ponsel.
"Apa siang ini kau ada waktu? Jam 12 siang nanti, di restorant Green hold, kita bertemu dan kita bicarakan nanti." Suara pria di seberang sana kemudian menutup teleponnya tanpa harus menunggu persetujuan dari Silia.
"Apa-apaan pria ini, seenaknya saja memerintah, memangnya tidak bisa bicara lewat telepon saja, hah ..." Silia bergumam kesal sembari melempar handphone nya ke atas kasur.
Siang harinya, dengan sangat terpaksa Silia mendatangi tempat pria itu berada, Green hold resto. Dengan pakaian kasual, Silia mulai masuk ke dalam dan mengedarkan pandangannya, tak butuh waktu lama, matanya menangkap sosok yang akan di temuinya.
Dengan langkah cepat sambil menahan emosi ia melangkah ke arah pria itu, "cepat katakan ada apa?" Ucapnya tanpa basa-basi, di lipatnya kedua tangannya di depan dada, seolah sedang memasang benteng pertahanan yang kuat.
Pria itu berdiri dari duduknya, kemudian berdehem untuk menghilangkan rasa canggung nya, "kenapa tidak duduk dulu, baru kita bicara."
Silia sebenarnya enggan berlama-lama, di tatap nya pria itu dengan sinis, kemudian tangannya terulur Manarik kursi dan duduk. Pria itu pun turut duduk di posisinya semula. Dia tersenyum, tapi Silia malah membuang muka. "Cepat katakan ada apa? Aku masih ada urusan."
"Buru-buru sekali?"
Silia menautkan alis, bukankah itu bukan urusanmu?
"Ya... baiklah," melihat sikap Silia yang terlihat seperti selalu ingin memusuhinya, Stuart akhirnya mencoba untuk memaklumi. "Aku hanya ingin minta maaf, semalam sikap Elena sudah sangat keterlaluan padamu."
Mendengar itu, Silia mendengus, perut nya seakan di penuhi kupu-kupu yang berterbangan, dia sangat ingin sekali tertawa, "kalau hanya ingin membicarakan hal itu, anda tidak perlu repot-repot mengajak ku kemari. Iya kan?" Silia merasa muak dan segera beranjak dari duduknya.
Stuart turut beranjak, dan dia tidak tahan untuk mengatakan apa yang sebenarnya mengganjal di hatinya, "sebenar nya kalian ada hubungan apa?"
Langkah Silia seketika terhenti, mata nya terbelalak, sekarang dia tahu kemana arah pembicaraan pria itu. "Aku bekerja di Snappay group, aku asisten pribadinya."
"Hanya itu?"
Bagi Silia pria ini terdengar terlalu kepo. "Memangnya kau ingin dengar kenyataan apa lagi? Hah ... bukan kah aku juga punya hak untuk tidak menjawab nya?"
Stuart langsung terdiam, gadis itu terlihat lebih berani di bandingkan lima tahun yang lalu. "Jika tidak urusan lagi, aku pergi." Silia tak peduli, kali ini dia benar-benar melangkah pergi.
"Apa kau tidak memikirkan perasaan ayah mu jika mengetahui kebenaran hubungan kalian?"
Silia tahu, pria itu masih mencari cara untuk menghentikan kepergiannya, dan cara nya selalu saja sama, mengingat kan tentang ayah nya pada dirinya, sebagai sumber kelemahan nya.
Dia bukanlah gadis pengecut lagi, di menoleh ke arah Stuart dan menatap dengan berani, "orang yang tidak bersalah, tidak perlu merasa takut bukan?"
Stuart terpaku, dia bahkan tak sanggup menghentikan gadis itu dengan ancaman apapun sekarang.
Bersambung.